Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Sejarah Pengumpulan Al-Qur’an Menurut Richard Bell

RIchard Bell
Gambar: Dok. Penulis

Kajian dan pemikiran atas Al-Qur’an dari masa ke masa tentunya mengalami peningkatan dalam perkembangannya. Para pengkaji Al-Qur’an pun tidak hanya muncul dari internal kaum muslim saja, melainkan juga banyak dari kalangan non-muslim.

Masyarakat Barat mulai berbondong-bondong tertarik untuk mengkaji segala hal yang berkaitan dengan dunia ketimuran. Terlebih jika menjadikan Al-Qur’an sebagai objek kajian yang sentral. Dikarenakan kitab suci umat Islam yang merupakan agama terbesar di belahan Timur. Salah satunya seperti orientalis dari Britania Raya Richard Bell dengan fokus kajian sejarah pengumpulan Al-Qur’an.

Biografi Richard Bell

Richard bell merupakan orientalis yang hidup pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Menurut beberapa sumber, Bell lahir pada tahun 1876 dan meninggal pada tahun 1952 di Edinburgh, Britania Raya. Bell merupakan seorang guru besar dalam bahasa Arab di Universitas Edinburg. Beliau mengawali karirnya sebagai sarjana al-Qur’an lewat publikasi bahan-bahan kuliah yang diberikannya di Edinburg University, The Origins of Islam in its Crhistian Environment (1926).

Selain itu, Richard bell juga dikenal sebagai salah satu sarjana al-Qur’an yang berpengaruh dan memiliki murid-murid yang hebat. Di antaranya W. Montgomery Watt yang merevisi buku “Introduction to The Quran” meskipun demikian, Watt tidak melakukan perubahan sedikitpun dari pemikiran Richard Bell yang ada pada buku aslinya, namun hanya menambahkan bibliografi yang lebih luas isinya secara lebih logis.

Richard Bell merupakan salah satu orientalis yang mempunyai pandangan yang baik kepada Muhammmad SAW. Ia berbicara mengenai karakter praktis dan faktual dari kegiatan Nabi Muhammad SAW sebagai pribadi dan bahkan seorang Nabi.

Pemikiran Richard Bell atas Al-Qur’an dan Sejarah Pengumpulannya

Dimulai dengan sejarah kepenulisan al-Qur’an pada masa Rasulullah, Bell membahas dengan sangat teliti tentang sejarah pengumpulan al-Qur’an dari mulai pra Islam sampai al-Qur’an selesai ditulis secara keseluruhan. Mengenai Arab pra Islam, Bell berpendapat bahwa meskipun orang-orang awam Makkah pada saat itu masih buta akan kegiatan tulis menulis, namun banyak bukti-bukti arkeologis yang menunjukkan bahwa suatu bentuk tulisan telah dikenal di Arab selama berabad-abad.

Baca Juga  Mengenal Muhammad Syahrur dan Teori Hermeneutikanya

Sehingga secara umum, penulisan ayat-ayat Qur’an sudah mulai dilakukan pada zaman nabi, walaupun dengan media yang sederhana seperti kertas kulit, lempengan batu, tulang belikat, dsb.

Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kepemimpinan dilanjutkan oleh Khulafaur Rosyidin. Di masa khalifah Abu Bakar, tulisan-tulisan Al-Qur’an yang berada di beberapa media tulis pada saat itu mulai dikumpulkan. Hal ini dijelaskan dalam hadis Sahih Bukhari bahwa awal pengumpulan Al-Qur’an dilakukan pada masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq.

Hadis inilah yang kemudian dijadikan landasan oleh Richard Bell untuk mengkritik terhadap pengumpulan al-Qur’an. Richard Bell memiliki 4 pemikiran tentang pengumpulan al-Qur’an ini, yaitu:

  • Terdapat beberapa hadis yang menjelaskan bahwa penggagas utama penyusunan al-Qur’an bukanlah Umar melainkan Abu Bakar ash-Shiddiq.
  • Menurut Richard, para sahabat penghafal al-Qur’an yang disebutkan dalam hadis banyak yang gugur dalam perang itu aslinya hanya sebagian kecil saja yang menjadi penghafal. Sementara sebagian besar yang lain adalah sahabat yang baru masuk Islam.
  • Belum ada bukti resmi dikumpulkannya al-Qur’an sebagai bukti keabsahan al-Qur’an. Hal itu karena pada masa Khalifah Utsman bin Affan terjadi pertikaian karena adanya resensi al-Qur’an.
  • Richard berpendapat bahwa suhuf al-Qur’an yang telah dikumpulkan oleh Zaid bin Tsabit tidak mungkin diserahkan kepada Hafsah binti Umar sepeninggal Abu Bakar as, karena shuhuf itu adalah dokumen resmi negara yang tidak sembarang orang bisa menyimpannya. Dia berpendapat bahwa shuhuf yang disimpan Hafsah bukanlah salinan resmi ayat-ayat al-Qur’an.

Polemik Pengumpulan Al-Qur’an di Masa Utsman

Pengumpulan al-Qur’an selanjutnya dilaksanakan pada masa khalifah Utsman bin Affan. Hal ini dilakukan karena adanya perbedaan dalam membaca al-Qur’an yang terjadi di beberapa wilayah. Kemudian di tahun yang sama, yakni tahun 25 H khalifah Utsman membentuk panitia pengkodifikasian al-Qur’an dan langsung diawasi oleh beliau. Dengan menjadikan suhuf yang dibawa oleh Hafshah binti Umar sebagai patokannya. Kemudian shuhuf lain yang disimpan oleh sahabat lain resmi dibakar.

Baca Juga  Geneologi Tafsir Al-Quran Al-Karim Mahmud Yunus

Dari hal ini Richard kembali mengkritik bahwa shuhuf yang dibawa Hafsah tidak memiliki peranan penting dalam pembukuan al-Qur’an. Hal ini dibuktikan ketika khalifah Marwan menjadi gubernur Madinah beliau menginginkan shuhuf yang ada ditangan Hafsah untuk dimusnahkan. Menurut Richard hal ini tidak mungkin direkayasa adanya, karena secara tidak langsung hal ini membuktikan bahwa sguhuf yang dipegang oleh Hafsah binti Umar tidak memadai sebagai patokan untuk teks resmi al-Qur’an.

Selain tentang suhuf yang ada ditangan Hafsah, Richard juga mengkritik mengenai pernyataan bahwa khalifah Utsman membakar seluruh mushaf selain mushaf resmi Utsmani. Ia berpendapat sama seperti pendapat Arthur Jeffery yang ia kutip yaitu selain mushaf resmi Utsmani. Terdapat 15 mushaf lain yang mempunyai beberapa bacaan yang berbeda. Richard mengatakan bahwa mushaf non-muslim masih mendapatkan tempat di antara umat muslim pada masa itu. Ia juga berpendapat bahwa naskah non-resmi ini digunakan acuan oleh sebagian besar tafsir al-Qur’an seperti tafsir al-Thabari dan tafsir al-Zamakhsyari.

Dengan ini, maka Richard berpendapat bahwa tidak ada perbedaan al-Qur’an dari sebelum Nabi wafat sampai pada saat al-Qur’an dibukukan secara resmi pada masa Khalifah Utsman, selain perbedaan dalam hal cara membacanya saja. Ia juga menyimpulkan bagaimana pun bentuk al-Qur’an sebelumnya, sudah jelas bahwa al-Quur’an yang berada ditangan umat Islam saat ini merupakan mushaf Utsmani.

Kesimpulan

Pendapat Richard Bell mengenai sejarah pengumpulan al-Qur’an dalam karyanya tersebut, mencoba mencari hubungan antara makna ayat-ayat al-Qur’an dengan kehidupan Nabi Muhammad SAW sebagai suatu prinsip sejarah dan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Hal inilah yang kemudian dijadikan Richard Bell sebagai landasan dasar untuk menyusun kronologi al-Qur’an dalam karyanya.

Baca Juga  Hermeneutika Hassan Hanafi: Dari Teks ke Aksi Sosial

Dalam karyanya tersebut, Richard Bell menjadikan susunan terjemahannya untuk menata ulang secara kritis pembahasan-pembahasan al-Qur’an ke dalam berbagai masa pewahyuan. Richard memilah bagian-bagian ayat al-Qur’an menjadi potongan-potongan ayat yang kecil dalam usaha memberikan penanggalan atasnya. Ia membagi ayat-ayat al-Qur’an dan memecah-mecahnya sehingga tidak menjadi satu kesatuan per surah. Dalam satu surah bisa berisi sebagian kecil Makkiyah dan sebagian kecil yang lain lagi berisi Madaniyah, dan yang lain lagi berisi hasil sensor dan edit yang dilakukan oleh Nabi sendiri.

Pemikiran Richard Bell ini sangat berbeda dengan sebagian orientalis lain yang menerima begitu saja al-Qur’an dibagi menjadi 30 juz, 114 surah, 6.236 ayat, dan dibagi menjadi Surah Makkiyah (untuk surah yang pendek) dan Surah Madaniyah (untuk surah yang panjang). Menurut Richard Bell, dalam penyusunan al-Qur’an tidak hanya didasarkan pada dokumen tertulis saja, melainkan juga dengan keistimewaan penggalan ayat-ayat al-Qur’an.

Penyunting: Bukhari