Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Maqasid Al-Qur’an Perspektif Fakhr Al-Din Al-Razi

Maqashid Al-Qur'an
Sumber: https://arabicradio.net

Maqasid al-Qur’an merupakan kajian lama yang hingga kini masih menjadi perhatian penting bagi ulama kontemporer. Banyak ulama yang menjadikan maqasid al-Qur’an sebagai kajian yang tidak terpisahkan dari maqasid al-shari’ah. Tentunya, kajian maqasid shari’ah dan maqasid al-Qur’an memiliki konsep yang berbeda.

Definisi maqasid al-Qur’an adalah tujuan-tujuan yang ingin diwujudkan dengan diturunkannya al-Qur’an untuk mencapai kemaslahatan dan menolak kerusakan. Sedangkan maqasid al-shari’ah adalah tujuan-tujuan yang ingin diwujudkan dari ditetapkannya syariat untuk kemaslahatan manusia. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa maqasid al-shari’ah merupakan kajian tentang hukum yang sumber utamanya adalah al-Qur’an. Sedangkan maqasid al-Qur’an merupakan kajian yang lebih umum dari maqasid al-shari’ah yang membahas tentang tempat kembalinya hukum Islam. Sehingga, dapat dikatakan bahwa maqasid al-Qur’an merupakan dasar dari maqasid al-shari’ah, dan semua maqasid al-shari’ah kembalinya pada maqasid al-Qur’an.

Dua kajian ini kemudian memunculkan tren baru dalam studi al-Qur’an yang disebut dengan tafsir maqasidi. Pada umumnya, tafsir ini berusaha membaca isu-isu yang terjadi di era kontemporer dan memposisikan al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam; yang salih li kulli zaman wa makan. Sehingga, umat Islam dituntut untuk senantiasa mengembangkan pikirannya; agar dapat memahami dan menafsirkan ayat al-Qur’an secara kreatif dengan menyesuaikan konteks yang terjadi sekarang.

Para ulama telah berusaha merumuskan definisi dan pembagian dari maqasid al-Qur’an yang tertulis dalam karya-karyanya. Tentu, terdapat perbedaan pendapat dalam perumusan tersebut. Namun dari perbedaan itu, definisi yang ditawarkan oleh ulama tetap bermuara pada satu hal yang sama yakni maqasid al-Qur’an merupakan inti atau pokok dari ajaran al-Qur’an yang abadi. (Ulya Fikriyati, Maqāsid Al-Qur’ān: Genealogi dan Peta Perkembangannya Dalam Khazanah Keislaman, ‘Anil Islam: Jurnal Kebudayaan dan Ilmu Keislaman, Vol. 12 No. 2, 2019, 211)

Baca Juga  Makna Puasa Menurut Jalaluddin Rumi

Biografi Fakhr Al-Din Al-Razi

Nama lengkap Fakhr al-Din al-Razi ialah Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Husain bin al-Hasan bin Ali al-Tamimi al-Bakri al-Thabaristani al-Razi. Beliau lahir di Kota Ray (Thabaristan yang sekarang berada di wilayah negara Iran); di penghujung pemerintahan Khalifah Abbasiyah pada tanggal 25 Ramadhan 544 H /26 Januari 1150 M. Al-Razi meninggal di kota Al-Hirah, Afganistan, pada usia 60 tahun. Tepatnya pada hari senin tanggal 1 syawal 606 H/1209 M. Fakhr al-Din al-Razi merupakan salah satu mufassir yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan memperhatikan maqasid al-Qur’an dan maqasid al-shariah dalam. Salah satu kitab karanganya yang sangat fenomenal yaitu Mafatih al-Ghoib kitab ini juga mashur disebut sebagai kitab al-Kabir.

Ibnu  Khalkan  berkomentar  tentang  Fakhruddin  ar-Razi. Beliau merupakan tokoh yang tak  tertandingi  di  zamannya.  Satu-satunya  orang  yang  ahli  di  bidang  ilmu  kalam, ilmu rasional, ilmu sejarah, serta memiliki banyak karangan yang bermanfaat di berbagai bidang ilmu. Dengan  multi-telenta  yang  dimilikinya,  beliau  mampu  menguasai  berbagai bidang ilmu, seperti filsafat, sejarah, matematika, astronomi, kedokteran, teologi dan tafsir. Bahkan  di  setiap  bidangnya, al-Razi mampu  mengungguli  pakar-pakar  di zamannya. Karena kepakarannya beliau memperoleh menyandang gelar Syeikh al-Islam. Karya-karya magnum-opusnya antara lain: At-Tafsir al-Kabir, al-Muhashashal, dan Lubab al-Isyarat. (Ulil Azmi, Studi Kitab Tafsir Mafatih Al Ghaib Karya Ar-Razi, Bashair: Jurnal Studi Alquran dan Tafsir 2 No 2 (2022): 119, accessed May 12, 2022.)

Konsep dan Metode Maqasid al-Qur’an Menurut Fakhr Al-Din Al-Razi

Dalam kitabnya al-Razi menyebutkan penafsiran mengunakan masalah-masalah dan tanya jawab. Al-Razi juga sering mencantumkan judul pada pembahasan-pembahasan yang dianggap penting dan luas cakupannya. Seperti ketika membahas cerita nabi-nabi, cerita umat terdahulu, masalah kalam, hukum, kealaman, dan lain-lain. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa penafsiran mengedepankan hasil pemikiran dari pada riwayat. Meski riwayat merupakan legitimasi untuk mendukung penafsiran yang diberikan, dan al-Razi menyajikan pendapatnya secara panjang lebar dalam tafsirnya ini meskipun terkadang; al-Razi juga menukil pendapat orang lain, tetapi al-Razi sangat tegas dalam menukil pendapat selain pendapatnya. Tujuan al-Razi, tidak lain adalah untuk memperjelas posisi atau kesahihan pendapat yang dinukil. Selain itu tafsir al-Razi sangat banyak membahas masalah kalam atau teologi. Karena al-Razi adalah seorang sunni Ash’ariyah, maka tidak mengherankan kalau dia sangat membela golongannya; yang kebetulan juga bahwa para penguasa disana adalah seorang Sunni juga, dan al-Razi sangat dekat dengan mereka.

Baca Juga  Mengenal Nafisah Binti Hasan: Wanita Agung dan Bijaksana

Teori dan metode yang dilakukan oleh al-Razi untuk mendapatkan maqasid al-Qur’an adalah menafsirkan kitab dengan metode tahlili; sehingga dapat mengidentifikasi, maksud ayat al-Qur’an tersebut. Dengan kemampuan yang dimiliki al-Razi, seperti dalam aspek kebahasaan, munasabah ayat, dan al-Asbab al-Nuzul, beliau juga menafsirkan ayatnya dengan metode bi al-Ra’yi.

Contoh Penafsiran

﴿ وَاِذَا بُشِّرَ اَحَدُهُمْ بِالْاُنْثٰى ظَلَّ وَجْهُهٗ مُسْوَدًّا وَّهُوَ كَظِيْمٌۚ ٥٨ ﴾

Artinya: “(Padahal,) apabila salah seorang dari mereka diberi kabar tentang (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam) dan dia sangat marah (sedih dan malu).

Imam al-Razi menjelaskan bawasanya ayat ini adalah ayat tentang kabar, dan kabar di dalam al-Qur’an itu memiliki dua tipe; yaitu kabar gembira atau kabar sedih. Kabar gembira akan memberikan efek pada raut wajah seseorang menjadi berseri-seri dan begitu pula sebaliknya. Jika datang suatu kabar buruk pada seseorang maka raut wajah orang tersebut akan beruabah menjadi muram dan pucat. Menurut al-Razi> kalimatظَلَّ وَجْهُهٗ  (hitam wajahnya); merupakan majaz (ungkapan yang disamarkan atau sindiran) dari bentuk kekesalan hati seseorang yang diungkapkan ke bentuk ekspresi wajah orang tersebut.

Al-Razi> lalu menambahi keteranganya bahwasanya tidak semua kabar buruk akan membuat orang tersebut muram atau marah yang berelebihan; adakalanya orang yang mendapatkan kabar tersebut ikhlas dan berlapang dada sehingga menerimanya tanpa ada rasa beban ataupun kekesalan yang berlebih hingga menimbulkan kerusakan. Dan kata “hitam wajahnya ataupun memutih wajahnya” adalah ungkapan al-Qur’an akan keadaan hati dan ekspresi seseorang yang diceritakan dalam ayat tersebut. Adapun maqasid dari surat di atas adalah kisah orang jahiliyah yang begitu bersedih hati bahkan sangat marah Ketika mendapatkan anak perempuan. Karena bagi mereka anak perempuan tak lain hanyalah aib keluarga yang tidak berguna. (Khairunnas Jamal, Warna Dalam Al-Qur’an Perspektif Fakhr Al-Din Al-Razi, Jurnal Aqlam 2 no 2 (2020): 160–162.)

Baca Juga  Perbedaan Praktik Resepsi dalam Alquran