Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Minoritas Vs Mayoritas: Belajar Dari Perang Badar

Minoritas
Gambar: MUI

Selain Nuzulul Qur’an, ada satu peristiwa besar dan juga penting yang terjadi tepat pada tanggal 17 Ramadhan. Peristiwa penting dan paling bersejarah tersebut adalah perang Badar. Perang Badar adalah peperangan antara kaum Muslim dengan kaum Kafir Quraisy. Terjadi pada tanggal 17 Ramadhan 2 H atau bertepatan dengan tanggal 13 Maret 624 M. Perang Badar adalah pertempuran besar pertama antara umat Islam melawan kaum penyembah berhala Quraisy dari Makkah. Disebut dengan Perang Badar karena merujuk pada lokasi pertempuran tersebut yang terjadi di Kota Badar. Kota Badar adalah suatu kota yang terletak di provinsi Madinah, Arab Saudi bagian barat. 

Penyebab Peperangan

Ada beberapa penyebab utama terjadinya perang Badar: pertama, kebencian Abu Jahal kepada Nabi Muhammad saw. Abu Jahal sebagai penguasa Makkah pada saat itu merasa bahwa kemunculan Nabi Muhammad SAW dengan kegiatan dakwah Islamnya telah mengancam posisinya. Kaum Musmlim dinggap dapat mengancam kewibawaan kaum Kafir Quraisy; Kedua, perampasan harta benda dan pengusiran kaum Muslim.

Sejak Nabi SAW gencar dalam menyebarkan dakwahnya di Makkah, orang-orang musyrik Makkah selalu menghalang-halanginya. Mereka sudah sering melancarkan peperangan kecil kepada kaum Muslim. Bahkan, kaum musyrik Makkah menghalalkan darah kaum Muslim dan juga merebut paksa harta mereka;

Ketiga, penindasan kaum Kafir kepada kaum Muslim. Kaum Muslim di Makkah selalu mendapatkan perlakuan buruk dari kaum Kafir. Bahkan perlakuan buruk ini bukan hanya berlangsung di Makkah namun kaum Kafir menekan kaum Muslim sampai ke Madinah. Kaum Kafir melakukan teror dengan menyerang dan merampas harta kaum Muslim. Sehingga kaum Muslim di Makkah pada saat itu tertindas dan terancam nyawanya hingga kemudian hijrah ke Madinah.

Keempat, untuk memberi pelajaran kepada kaum Kafir Quraisy. Kemenangan kaum Muslim dalam perang Badar sangat penting. Karena selain memberikan pelajaran kepada kaum Kafir Quraisy agar tidak sewenang-wenang, juga untuk mengembalikan harta milik kaum Muslim yang dirampas kaum Kafir.

Pasukan Muslim 313 vs Pasukan Kafir 1000

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa peperangan ini dimenangkan oleh kaum Muslim. Padahal jumlah pasukan kaum Muslim hanya 313. Sebagian sumber ada yang menyebutnya 314 dan ada juga yang menyebut 319 pasukan, dengan 83 diantarnya dari kaum Muhajirin (kaum Muslim yang hijrah dari Makkah ke Madinah). Sedangkan musuh yang harus dihadapi kaum Muslim jumlahnya jauh lebih besar, yaitu 1000 orang.

Baca Juga  Menyayangi Semut: Kisah, Hukum, dan Hikmahnya dalam Al-Qur'an

Sebagian sumber ada yang menyebut jumlah pasukan Kafir Quraisy sebanyak 1300 pasukan. 600 diantaranya pasukan berbaju besi dan 100 diantaranya pasukan penunggang kuda. Bisa dibayangkan, lebih tiga kali lipat jumlah kekuatan kaum Kafir Quraisy jika dibandingkan dengan kekuatan kaum Muslim. Namun atas izin Allah, kemenangan didapat kaum Muslim.

Sejarah mencatat peperangan yang hanya berlangsung selama dua jam ini mampu membuat pasukan Kafir Quraisy kocar-kacir. Dengan jumlah pasukan yang terbatas, pasukan kaum Muslim mampu menghancurkan barisan pertahanan pasukan Kafir Quraisy yang dipimpin oleh Amr bin Hiyam alias Abu Jahal hingga mundur dalam kekacauan. Korban jiwa dari pasukan Muslim dalam peperangan ini sebanyak 14 syahid, dengan rincian 6 pasukan dari kaum Muhajirin dan 8 pasukan dari kaum Anshar (Muslim Madinah). Sedangkan dari pihak pasukan Kafir Quraisy yang tewas sebanyak 70 orang.

Mengapa Umat Islam Menang Walaupun Minoritas?

Jika dihitung secara matematis, sepertinya sulit pasukan Muslim bisa menang melawan pasukan Kafir yang jumlahnya jauh lebih banyak. Namun kemenangan dapat direngkuh kaum Muslim. Mengapa pasukan Muslim bisa memenangkan peperangan ini? Di luar jawaban teologis, yaitu jawaban “atas izin Allah”, ada analisis lain yang menarik untuk dikemukakan.

Pertama, pasukan Kafir Quraisy sejak awal sudah menganggap remeh kekuatan pasukan kaum Muslim. Pasukan Kafir Quraisy sejak awal sudah terlalu percaya diri dapat dengan mudah mengalahkan “segelintir” pasukan kaum Muslim. Karena selain pasukan Kafir Quraisy yang jumlahnya jauh lebih banyak, perlengkapan perang yang dimiliki juga memadai. Sehingga sikap pasukan Kafir Quraisy ini cenderung “meremehkan” pasukan kaum Muslim.

Kedua, pasukan Kafir Quraisy terburu-buru dan kurang matang dalam mempersiapkan peperangan. Sikap terburu-buru dan kurangnya persiapan pasukan Kafir Quraisy ini digambarkan dalam buku Karen Armstrong yang berjudul Muhammad: Prophet for Our Time (2006) ketika Abu Jahal dan kaum Kafir Quraisy mendengar bahwa kaum Muslim akan menyerbu rombongan kaum Kafir yang baru pulang dari Syam.

Segera malam itu juga Abu Jahal dan pasukannya berangkat dari Makkah menuju Kota Badar tempat peperangan itu berlangsung untuk bergabung dengan pasukan Kafir yang dari Syam. Sikap buru-buru ini menggambarkan bahwa pasukan Abu Jahal Kurang persiapan. Sehingga Ketika sampai di Kota Badar aset-aset penting dalam medan perang, seperti posisi strategis dan sumber air sudah dikuasai oleh pasukan kaum Muslim.

Baca Juga  Kisah Sapi Betina dalam Al-Qur'an: Hikmah dan Pelajaran

Ketiga, pasukan kaum Muslim memiliki persiapan dan strategi yang matang dalam perang Badar. Dalam bukunya yang berjudul Sejarah Perjalanan Hidup Muhammad (2003), Muhammad Al-Ghazali menggambarkan bahwa Ketika pasukan Kafir Quraisy dari Makkah tiba di Kota Badar, Nabi SAW dan pasukannya sudah lebih dulu tiba di sana. Sehingga Nabi dan pasukannya memiliki cukup waktu untuk mengatur posisi yang strategis dan menguntungkan dengan menduduki medan yang tinggi dan menguasai sumber air.

***

Pasukan kaum Muslim juga memblokir sumur dan waduk yang terdekat dengan pasukan Kafir Quraisy sehingga mereka kesulitan untuk mendapatkan air. Dalam peperangan air adalah aset penting dalam memenangkan peperangan. Karena dengan mengendalikan akses sumber air, kaum Muslim dapat dengan mudah mengendalikan seluruh medan peperangan.

Keempat, bersatu, kompak dan rapatnya barisan pasukan kaum Muslim adalah salah satu kunci kemenangan dalam Perang Badar. Menurut Tariq Ramadan dalam bukunya In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad (2007) pasukan kaum Muslim menerapkan strategi tetap bersatu, merapat dan tidak terpisah satu sama lain. Ini adalah salah satu kunci kemenangan pasukan kaum Muslim: kompak dan bersatu.

Sedangkan pasukan Kafir Quraisy bertempur sebagai unit-unit yang terpisah sesuai dengan kabilah-kabilahnya dan tidak ada kesatuan komando alias carut marut dan tercerai berai. Tidak kompak dan tidak rapatnya barisan pasukan Kafir Quraisy adalah kunci kekalahan pasukan Kafir Quraisy. Sehingga pasukan kaum Muslim dengan mudah memukul mundur pasukan Kafir Quraisy.

Kelima, doa yang menggetarkan. Dalam peperangan dahsyat ini, Rasulullah SAW tidak lupa memanjatkan doa kepada Allah SWT. Sebelum peperangan dimulai, seraya mengangkat kedua tangannya lalu berdoa “Ya Allah! Kaum Quraisy telah datang dengan pasukan dan segala kecongkakannya. Mereka datang untuk memerangi-Mu dan mendustakan Rasul-Mu.

Ya Allah, jika golongan ini (kaum Muslim) binasa. Maka Engkau tidak akan disembah lagi di muka bumi ini. Ya Allah, laksanakanlah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, kami mohon pertolongan-Mu”[dalam Sirah Nabawiyah karya Abdul Hasan ‘Ali al Hasani an-Nadwi]. Hal ini menunjukkan bahwa dalam setiap usaha penting ada doa. Setelah maksimal ikhtiar langkah selanjutnya yang tidak kalah penting adalah tawakal. Karena usaha tanpa doa sombong, sedangkan doa tanpa usaha bohong.

Baca Juga  Rahasia Huruf "Nun" di Dalam Surah Al-Qalam

Minoritas yang Berkualitas adalah Penentu

Pelajaran penting apa yang dapat kita petik dari peristiwa perang Badar ini? Pelajaran yang dapat kita petik dari perang Badar adalah bahwa mayoritas belum tentu dapat mengalahkan minoritas. Namun dengan catatan bahwa minoritas yang dimaksud adalah minoritas yang berkualitas. Minoritas yang berkualitas inilah yang tergambar pada pasukan kaum Muslim dalam perang Badar. Walaupun jumlahnya jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan pasukan Kafir Quraisy, namun pasukan kaum Muslim tetap bisa memenangkan peperangan. Jumlah pasukan Kafir Quraisy memang mayoritas, namun mayoritas yang tidak berkualitas. Berbeda dengan minoritas muslim yang berkualitas.

Allah SWT berfirman:

كَمْ مِّنْ فِئَةٍ قَلِيْلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيْرَةً ۢبِاِذْنِ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ

Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS Al-Baqarah ayat 249)

Namun umat Islam hendaknya jangan tertipu dengan jumlahnya yang mayoritas. Karena mayoritas yang tidak berkualitas tidak ada gunanya. Tidak heran jika Bung Karno pernah berkata “Beri aku 1000 orang tua niscaya akan aku cabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan aku guncang dunia”. Mengapa hanya dengan 10 pemuda bisa mengguncang dunia? Karena pemuda menggambarkan tenaga yang masih prima.

Pemuda menggambarkan semangat yang masih membara. Berbeda dengan orang yang sudah tua, walaupun jumlahnya banyak orang tua menggambarkan kemampuan yang sudah melemah. Buya Syafii Maarif pernah berkata di hadapan santri-santri Muallimin saat Baitul Arqam Purna pada tahun 2016: “Di semua unit peradaban, minoritas yang berkualitas adalah penentu”. Saatnya umat Islam meperhatikan aspek kualitas, jangan sampai umat Islam terjebak pada aspek kuantitas.

Penyunting: Bukhari