Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Karakter Identitas Islam Rahmatan Lil ‘Alamin dalam Al-Qur’an

Sumber: istockphoto.com

Tutut Chusniyah seorang pakar sosial psikologi dalam bukunya “Pengaruh Identitas Etnis dan Golongan” beliau mengatakan ‘identitas agama merupakan hal yang sangat sentral bagi seluruh masyarakat Indonesia, dibandingkan identitas ras, suku, dan Nasionalisme karena identitas agama mampu memenuhi kebutuhan psikologi individu.

Terkait identitas diri, harga diri maupun aktualisasi diri. Di satu sisi lain hadirin, kita patut berbangga karena identitas agama menjadi identitas utama sebagai warga Negara Indonesia. Namun di sisi lain, identitas agama juga dapat terpecah belah persatuan terbukti oleh intoleransi dalam umat beragama sampai pelanggaran tempat-tempat umat beribadah beragama.

Peristiwa pembakaran masjid di kabupaten Tolikara papua, pembubaran jamaah gereja di saat sedang beribadah di rumah, pembacokan imam masjid saat sedang shalat berjamaah. Vandalisme yang terjadi di mushala bahkan konflik antar agama yang membuat negri ini tepecah belah. Inikah yang dinamakan Negara toleran? Yang katanya mengutamakan keberagaman? Tapi nyatanya mencuri persatuan.

Lalu bagaimana konsep al-Qur’an menghadapi hal tersebut?

Karakteristik Islam Rahmatal Lil ‘Alamiin sebagai Landasan Moderasi Beragama

Dengan landasan al-Qur’an surah al-Anbiya ayat 107 yang berbunyi:

وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين

“Kami tidak mengutus engkau wahai (Nabi Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam”

Syaikh Abul Fida’ ‘Imaddudin Isma’il bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Bushrawi dalam tafsirnya Ibnu Katsir jilid VII halaman 94 menjelaskan bahwa, Allah menjadikan Muhammad sebagai rahmat bagi alam semesta, yakni dengan mengutusnya ke bumi ini sebagai bentuk rahmat bagi seluruh alam semesta. Maka barangsiapa yang menerima rahmat ini dan mensyukuri nikmatnya dia akan bahagia di dunia dan di akhirat, begitupun sebaliknya.

Hal ini sejalan dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 143 yang berbunyi:

Baca Juga  Apa yang Harus Diperhatikan dalam Menjelaskan Fikih?

وَكَذٰلِكَ جَعَلنٰكُم اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَکُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيكُم شَهِيدًا 

               “Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu (Umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu”

Allah menyebutkan satu terminologi yang berkaitan dengan moderasi beragama yakni kalimat “ummatan wasathan

***

Prof. Dr. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata “wasathan” pada ayat ini bermula pada sesuatu yang baik sesuai objeknya. Sesuatu yang baik di antara kedua kutub ekstrim yang berbeda. Dari akar kata inilah, kata “wasathan” berkembang menjadi adil dan seimbang. Allah juga mempertegas posisi umat Islam sebagai umat yang moderat atau dikenal dengan Istilah ummatan wasathan. Umat yang berada di tengah-tengah. Tidak menjunjung dalam rohani, tidak hanyut dalam materi, tapi memadukan aspek rohani dan jasmani sehingga terjadilah Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Namun sayang beribu sayang, fenomena yang muncul sepanjang peradaban dan terus berulang adalah keadilan pemimpin dan aliran radikal yang sering menjurus pada tindakan aksi saling gorok, saling tabok, saling tonjok, bahkan saling bacok. Parahnya hadirin, marak terjadi pertikaian, perseteruan, permusuhan, peperangan yang terjadi antar kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Agama yang satu dengan agama yang lain. Suku yang satu dengan suku yang lain, bahkan sampai terjadi pertumpahan darah hingga berlanjut pada pembunuhan satu sama lain.

Timbul pertanyaan? Mengapa Islam yang penuh dengan nilai kenyamanan justru lekat dengan label teroris dan ekstrimis?. Jawabannya adalah karena sebagian umat muslim ada yang berlebih-lebihan atau dalam istilah agama disebut ghulwun yakni berlebih-lebihan dalam beragama.

Baca Juga  Ungkapan Cinta Allah: "Like and Dislike" Dalam Al-Qur'an

Oleh karena itu, moderasi beragama harus kita lakukan untuk mengubah wajah Islam, yang sebelumnya sering disebut Islam yang fanatik, Islam yang teroris, Islam yang ekstrimis menjadi Islam yang damai, Islam yang nyaman, Islam yang tenang, serta menjadi rahmatan lil ‘alamin.

***

Menurut Prof. dr. Quraish Shihab ada tiga cara agar moderasi beragama terlaksana:

  1. Adanya pengetahuan dalam diri kita
  2. Kemampuan dalam mengendalikan emosi dan nafsu belaka
  3. Memiliki kehati-hatian dalam beragama

Jadi bukan ajaran agama yang didemokrasi, tapi cara beragama kita yang harus mendapatkan sentuhan modersi sehingga Islam menjadi Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Dengan demikian dapat kita ambil kesimpulan bahwa keberagaman sunnatullah yang Allah tetapkan kepada kita. Oleh karena itu, hal yang harus kita lakukan adalah saling menghargai, saling menghormati, bahkan saling mencintai, untuk sampailah pada semboyan kita “Bhineka Tunggal Ika” berbeda tetap satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, tanah air Indonesia. Bersatu kita teguh, bercerai, kita runtuh.

Editor: An-Najmi