Pengkajian dan penelitian Alquran di Indonesia dilakukan baik secara perorangan maupun terorganisir. Organisasi-organisasi masyarakat berbasis agama Islam berlomba menafsirkan Alquran yang tentunya merupakan kitab pedoman utama organisasi. Karya dari organisasi tersebut bisa pula digarap oleh beberapa orang ataupun seorang diri. Pada tahun 1989 M, kita dapat melihat organisasi Nahdhatul Ulama sebagai salah satu organisasi yang menerbitkan karya tafsir.
Nahdhatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di dunia bertanggung jawab atas pemahaman Islam jutaan umatnya. Berdasarkan beberapa survei dan pernyataan warga Nahdhatul Ulama sendiri, terdapat sekitar 60 sampai 143 juta jiwa yang berafiliasi dengan organisasi Nahdhatul Ulama. Angka tersebut setara dengan sekitar 50% populasi Muslim Indonesia dan 5% Muslim dunia.
Dengan jumlah tersebut, organisasi Nahdhatul Ulama bertanggung jawab atas pemahaman umatnya terhadap Alquran, baik dari segi akidah, syariat, dan akhlak. Pengurus Besar Nahdhatul Ulama atau yang biasa dikenal PBNU lantas menerbitkan juz pertama kerya tafsir karangan Kiai Ahmad Hamid Wijaya yang berjudul Al-Mahmudy atau yang juga dikenal tafsir Nahdhatul Ulama.
Lika-liku Penerbitan Kitab Tafsir Al-Mahmudy
Tashih kitab tafsir Al-Mahmudy pernah dilakukan oleh Prof. Said Aqil Husein al-Munawwar. Penamaan kitab ini pun merupakan hasil koreksian Prof. Said Aqil al-Munawwar. Kiai Ahmad Hamid Wijaya pada awalnya menamai kitab ini dengan nama kitab tafsir Ahmadi. Kemudian pada Muktamar Nahdhatul Ulama ke-28 di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta tahun 1989 M, Nahdhatul Ulama menerbitkan tafsir ini.
Penerbitannya lengkap dengan kata pengantar dari PBNU dan beberapa pengurusnya. Bukan tanpa alasan, hal itu hanya dikarenakan Kiai Ahmad Hamid Wijaya selaku pengarang kitab merupakan Katib ‘Amm Syuriah PBNU yang menjabat selama dua periode. Penerbitan kitab ini terkesan terpaksa karena isinya yang dianggap melenceng dari tradisi intelektual Nahdhatul Ulama saat itu.
Pihak Kiai Ahmad Hamid Wijaya yang menyadari hal tersebut pun tidak memaksakan penerbitan kelanjutan kitab tersebut. Prof. Said Aqil Husein al-Munawwar sempat meminta kelanjutan kitab ini untuk diterbitkan. Namun respon keluarga yang terkesan menunda-nunda menjadikan kelanjutan kitab ini hilang bak ditelan bumi. Faktor inilah yang menjadikam karya tafsir ini tak terdengar dalam perjalanan khazanah tafsir Indonesia.
Metode Penyajian Kitab Tafsir Al-Mahmudy
Kitab tafsir Al -Mahmudy disajikan dengan menggunakan aksara latin. Kala itu, penggunaan aksara latin merupakan hal tabu dalam dunia intelektual Nahdhatul Ulama. Kitab yang telah menafsirkan tuntas 30 juz ini pun ikut terdampak. Penerbitannya hanya sekali dan juz pertama saja yang diterbitkan. Penerbitannya yang sekaligus memperingati haul pertama pengarangnya, Kiai Ahmad Hamid Wijaya pun terlihat tidak serius. Kitab ini hanya dijajakan di atas meja tanpa seremonial pengenalan kepada khalayak yang hadir kala itu.
Diantaranya rujukan kitab ini adalah tafsir Al-Ibriz, tafsir Fi Zilal al-Qur’an, tafsir Al-Baidawi, Futuḥat al-Ilahiyah, tafsir Al-Maraghi, tafsir Ibnu Katsir, tafsir Al-Khazin, dan tafsir Al-Jawahir. Kitab tafsir ini juga merujuk hadis-hadis nabi pendapat tokoh lainnya. Sebagai rujukan utamanya, nampaknya tafsir Al-Maraghi menjadi rujukan pokok.
Meskipun begitu, Ahmad Rully Kurniawan dalam skripsinya mengemukakan bahwa metode pengambilan sumber kitab ini menggunakan metode bi al-ra’yi. Metode tersebut menekankan aspek rasionalitas sebagai sumber rujukan utama. Bertolak belakang dengan penjelasannya sendiri, Rully mengaku kesulitan mencari pemikiran murni pengarang dalam kitab hasil karangannya ini. Pendapat ini pun mendapat afirmasi dari Prof. Said Aqil Husein al-Munawwar.
Penyajian kitab ini dimulai dengan disajikannya kelompok-kelompok ayat yang akan dibahas. Mayoritas dari pengelompokkan ayat amat persis dengan pengelompokkan ayat dalam kitab tafsir Al-Maraghi. Ayat-ayat yang sudah terkelompok tersebut kemudian diberi terjemahan, pengertian bahasa, dan ungkapan.
Rully berpendapat bahwa karakteristik dari kitab tafsir ini adalah menggunakannya analisis bahasa. Dari segi ruang lingkup penjelasannya, kitab ini bermetode tahlili (metode menjelaskan secara terperinci). Corak tafsir kitab ini cenderung bercorak sosial budaya. Meskipun pengarang merupakan mantan Katib ‘Amm Syuriah PBNU dua periode, ternyata tak nampak pemikiran ke-NU-an beliau dalam kitab karangannya ini.
Al-Mahmudy Mengutip Kitab Terdahulu
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, tafsir Al-Mahmudy menjadikan kitab-kitab terdahulu sebagai rujukan. Contoh pertama dapat kita perhatikan pada penafsiran Kiai Ahmad Hamid Wijaya terhadap surat Al-Baqarah ayat 49, surat Al-Baqarah ayat 54-57, dan surat Al-Baqarah ayat 63-64. Berikut tiga penafsiran dari ayat-ayat tersebut:
“Dalam Tafsir Ibnu Katsir (I/91) disebutkan bahwa pada suatu hari Fir’aun bermimpi yang sangat mengerikan. Ia bermimpi melihat api besar yang keluar dari Baitil Maqdis lalu masuk dan membakar rumah-rumah orang Egypt di Mesir, namun tidak satupun rumah orang Bani Israil terjilat. Dari mimpi ini ditarik isyarat bahwa …(Wijaya, 1989, 63).
“Dalam kitab al-Futuhatul Ilahiyah (I/54) disebutkan bahwa kaum yahudi itu. Maka atas kemurahan Tuhan kepada mereka diberikan sumber pangan baru 3 berupa “mannu” sebangsa madu yang terdapat di batu-batu dan daun-daun seperti embun yang kemudian mengalir ke tanah mengeras dan mongering terdapat setiap hari dari waktu fajar hingga matahari terbit dalam jumlah yang sangat besar hingga …(Wijaya, 1989, 70)
“Dalam Tafsir Khazin (I/61) disebutkan bahwa sujud separo muka ini kemudian menjadi tradisi di kalangan bangsa Yahudi. (Wijaya, 1989, 82).
Rasionalitas Kiai Ahmad Hamid Wijaya kala itu berusaha menemukan penafsiran-penafsiran terdahulu yang sesuai untuk dikutip dalam karyanya. Kurangnya sumber yang menjadikan penulis tidak mengetahui latar belakang dan tujuan sebenarnya pengarangan kitab Al-Mahmudy ini amat disayangkan. Alasan pemilihan aksara latin yang kala itu masih tabu di kalangan nahdhiyyin pun tidak diketahui.
Penggunaan aksara latin dimungkinkan supaya karya ini dapat menjadi terobosan inteletual. Karangan ini kemungkinan diharapkan menjadi bahan bacaan khalayak umum, terkhusus nahdhiyyin yang tak pandai membaca aksara pegon atau Arab. Wallahu A’lam.
Leave a Reply