Al-Qur’an sebagai teks yang terbatas, harus bisa berdialog dengan kehidupan sosial manusia yang tidak terbatas, karena Al-Qur’an bersifat, salih likulli zaman wa makan. Bagi seorang mukmin, Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan Tuhan untuk umat manusia. Karenanya, nilai-nilai universal Al-Qur’an senantiasa relevan disetiap zaman.
Salah satu cendekiawan muslim yang mencoba mendialogkan teks Al-Qur’an yang terbatas dengan problem kehidupan yang terus berkembang adalah Muhammad Syahrur. Tulisan ini berisi tentang garis besar pemikiran Muhammad Syahrur tentang tafsir Al-Qur’an. Namun, penulis tidak memaparkan secara detail pemikiran Syahrur dalam tulisan ini, dikarenakan keterbatasan ruang.
Biografi Muhammad Syahrur
Nama lengkapnya, Muhammad Syahrur bin Daid. Ia dilahirkan di Shalihiyyah Damaskus, Syria, pada 11 April 1938. Muhammad Syahrur menempuh pendidikan dasar dan menengahnya di sekolah negeri. Ia terlahir dari lingkungan keluarga yang “liberal”, di dalam tradisi keluarganya kesalehan ritual dipandang tidak lebih penting dibanding ajaran etika Islam.
Meski demikian, ini tidak berarti mereka meninggalkan kewajiban-kewajiban ritual keagamaan. Seperti yang diakui oleh Syahrur, ayahnya mengajarkan padanya bahwa beribadah pada Tuhan sama pentingnya dengan kejujuran, kerja, dan mengikuti hukum alam, yang diilustrasikan dengan perkataan ayahnya “Jika kamu ingin menghangatkan tubuh, jangan membaca Alquran, tapi nyalakan api di tungku” (Yusuf, Jurnal Diskursus Islam Volume 2 Nomor 1, April 2014).
Diusianya yang ke-19 tahun, Syahrur berangkat ke Uni Soviet untuk belajar teknik sipil. Saat itu ia tinggal di Saratow dekat Moskow. Ia mendapatkan gelar diploma di bidang teknik sipil, setelah belajar selama enam tahun. Pada 1965, ia diterima sebagai pengajar di Universitas Damakus dengan berbekal ijaza diplomaya.
Pada 1969, pihak Universitas tempat Syahrur mengajar mengirimnya belajar ke National University of Irland, University collage Dublin di Republik Irlandia untuk mengambil program Magister dan Doktor dalam bidang teknik sipil dengan spesialisasi mekanika tanah dan teknik bangunan. Setelah menyelesaikan studinya di Irlandia, pada tahun itu juga Syahrur kembali kefakultas teknik Sipil Universitas Damaskus (Eickelman:2016).
Jika dilacak dari sejarah pendidikannya, Syahrur tidak pernah belajar ilmu keislaman secara intensif di sebuah lembaga yang resmi. Inilah celah yang sering dimanfaatkan oleh para pengkritik Syahrur untuk menyerangnya. Terlepas dari pro dan kontra tentang ide dan gagasan Syahrur, bagi saya ia adalah tokoh yang fenomenal. Dirinya adalah tokoh cendekiawan yang patut diperhitungkan di dunia muslim kontemporer.
Karya-Karya Muhammad Syahrur
Sekurang-kurangnya ada sekitar lima buku yang sudah ditulis oleh Syahrur dalam diskursus Studi Islam. Berikut ini buku-buku yang telah ditulisnya : 1. Al-Kitab wa al-Qur’an Qira’ah Mu’asirah (1990) diterbitkan oleh penerbit al-Ahali di Damaskus. Buku ini berisi tawaran metodologis Syahrur untuk memahami Al-Qur’an.
2. Dirasah Islamiyyah Mu’asirah fi al-Daulah wa al-Mujtama’ (1994) diterbitkan oleh penerbit yang sama. Dalam buku ini, Syahrur mrnguraikan tentang tema-tema sosial politik yang terkait dengan persoalan kemasyarakatan dan negara. Dengan tetap berpijak pada tawaran metodologisnya dalam memahami al-Quran sebagaimana tertuang dalam buku pertamanya.
3. Al-Islam wa al-Imat al-Qiyam, (1996) diterbitkan oleh al-Ahali, Damaskus. Dalam buku ini, Syahrur mencoba melakukan pengkajian ulang bahkan mencoba merekonstruksi beberapa hal mendasar dan penting dalam sistem akidah Islam 4. Nahwa Usul Jadidah li al-Fiqh al-Islami, (2000) diterbitkan oleh al-Ahali di Damaskus. Buku ini adalah penyempurna terhadap kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam buku-buku Syahrur sebelumnya.
5. Tajfif Manabi’ al-Irhab (2008) diterbitkan oleh al-Ahali di Damaskus. Selain berkarya dalam bentuk buku sebagaimana telah diuraikan di atas Syahrur juga produktif menulis artikel keislaman yang dimuat di beberapa media cetak
Anti Sinonimitas
Syahrur adalah cendekiawan muslim yang menolak konsep sinonimitas dalam Al-Qur’an. Sehingga setiap ada perbedaan istilah atau kata pasti juga terdapat perbedaan makna. Misalnya, Syahrur membedakan istilah al-qur’an dan al-kitab.
Menurut Syahrur, kata al-kitab (menggunakan al), berarti ia merujuk pada pengertian sekumpulan tema-tema yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad berupa teks dan kandungannya, yang kesemuanya terkumpul dalam mushhaf, mulai dari surat al-Fatihah sampai surat an-Nas. Sementara jika kitab ditulis tanpa menggunakan al, maka ia hanya mencakup satu tema bukan seluruh ayat Al-Qur’an.
Sedangkan istilah al-qur’an menurut Syahrur hanya merujuk pada pengertian sebagian dari isi Al-Kitab, berupa ayat-ayat mutasyabihat, yaitu ayat-ayat yang berisi tentang hakikat kebenaran objektif di luar kesadaran manusia.
Setelah membedakan al-kitab dan al-qur’an (tidak ditulis dengan huruf Kapital, karena mengandung makna khusus), Syahrur kemudian membedakan Kitab ar-Risalah dan Kitab an-Nubuwwah. Pembedaan seperti ini dimaksudkan oleh Syahrur untuk membedakan metode yang harus digunakan dalam menafsirkan Tanzîl al-Hakîm (Al-Qur’an) (Mustaqim:2010).
Pengertian Kitab An-Nubuwwah
Menurut Syahrur, Kitab an-Nubuwwah berisi informasi tentang sekumpulan pengetahuan (ilmu alam, sejarah, isyarat-isyarat tentang teori ilmu pengetahuan dll). Kitab an-Nubuwwah bisa diidentikan dengan pengetahuan (‘ulum), didalamnya tidak ada perintah maupun larangan, hanya ada informasi.
Fungsi dari Kitab an-Nubuwwah adalah untuk membedakan yang haq dan bathil. Selain itu, juga berfungsi sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia. Menurut Syahrur, metode untuk menafsirkan Kitab an-Nubuwwah adalah dengan mengharmoniskan sifat absolute A-Qur’an dengan pemahaman relative para pembacanya.
Pengertian Kitab ar-Risalah
Kitab ar-Risalah, menurut Syahrur berisi tentang aturan berbagai perilaku manusia dan terkait dengan halal dan haram. Kitab ar-Risalah, bisa diidentikan dengan hokum-hukum (ahkam), didalamnya berisi tentang perintah dan larangan.
Fungsi Kitab ar-Risalah, adalah untuk membedakan antara yang halal dan yang haram, juga sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Metode untuk menafsirkan Kitab ar-Risalah menurut Syahrur, adalah menggunakan metode ijtihad, dengan mengaplikasikan teori hudud sesuai dengan problem dan tuntutan perkembangan zaman. Menurut Syahrur metode penafsiran semacam ini mampu mendialogkan teks yang terbatas dan konteks yang tidak terbatas.
Penyunting: M. Bukhari Muslim
Leave a Reply