Seseorang pasti memiliki perasaan yang hendak diungkapkan, baik perasaan cinta, rindu, marah, maupun bentuk emosi lainnya. Dalam mengungkapkannya, seseorang membutuhkan media, salah satunya melalui lagu. Sekalipun lagu bersifat abstrak karena tidak dapat divisualkan, namun nyatanya lagu bisa menyampaikan perasaan pendengar. Meskipun melalui video klip, sebenarnya esensi lagu itu sendiri tidak dapat divisualkan. Lagu hanya bisa didengar dan dirasakan melalui perpaduan lirik dan musik yang menjadi satu.
Di Indonesia sendiri, banyak sekali genre lagu-lagu yang digemari, di antaranya dangdut, pop, indie, dan masih banyak lagi. Selain itu, ada juga lagu yang merupakan adopsi dari sebuah puisi yang kemudian dimusikalisasi, seperti lagu berjudul “Kepada Noor”. Belakangan, lagu yang dibawakan musisi bernama Panji Sakti ini banyak digunakan generasi milenial untuk melengkapi kontennya di platform-platform digital. Foto maupun video yang memvisualkan perasaan cinta dan rindu terasa lebih sempurna jika ditambahkan lagu ini, selaras dengan lirik-liriknya yang mendayu-dayu.
Lagu Kepada Noor
Diketahui, sebenarnya lagu ini merupakan hasil konversi dari sebuah puisi karangan Moch. Syarip Hidayat berjudul “Kepada Noor” menjadi sebuah lagu dengan judul yang sama. Puisi tersebut ditujukan kepada istrinya, Siti Nurbaya. Namun, sebetulnya ada tiga seri puisi ini, yakni “Kepada Noor 1”, “Kepada Noor 2”, dan “Kepada Noor 3”. Nah, “Kepada Noor 3” inilah yang kemudian dimusikalisasi menjadi lagu “Kepada Noor”.
Tapi jika diperhatikan lebih detail, terdapat lirik-lirik yang menggunakan diksi “Mu”. Sebuah pemilihan diksi yang rumit dibanding menggunakan “mu” bukan? Sebab jika menggunakan “mu”, tak perlu menambahkan tanda hubung “-“ sebelumnya. Pun, penggunaan diksi “Mu” umumnya ditujukan pada Dzat yang Agung, Tuhan Yang Maha Esa. Hal inilah yang membuat kita bertanya-tanya. Singkatnya, lagu ini sebenarnya ditujukan untuk siapa?
Tulisan ini mencoba mendekontruksi makna dalam lirik-lirik yang ada, namun dengan orientasi jika lagu ini ditujukan pada Allah Swt., Tuhan Yang Maha Esa. Namun, alangkah afdhol-nya jika pembaca mereview tulisan ini dengan mendengarkan lagunya, supaya lebih dapat merasakan maknanya.
Sebenarnya persoalan ini telah selesai saat pemilik channel youtube “Presenta Edu” menjelaskan bahwa lagu ini merupakan lagu yang diperuntukkan bagi istri sang penulis puisi. Namun karena subjektifitas pendengar yang bervariasi, juga memunculkan beragam makna dalam lagu ini. Pendek kata, sah-sah saja jika pendengar memaknai baitnya ini dengan penafsirannya sendiri sekalipun menyimpang dari konteks sang penulis. Kita saja sering kan mengungkapkan cinta tapi hanya dianggap bercanda? Mari kita coba tafsirkan lagu ini!
***
Seperti burung yang sedang membuat sarang
Dari rumput dan ilalang
Kususuri setiap keindahan
Di wajah-Mu kusematkan
Kita (baca: manusia) diibaratkan sebagai burung yang sedang membuat sarang. Lihat al-Baqarah: 30, bahwa manusia adalah khalifah yang memimpin bumi (baca: rumah). Kita berlalu-lalang menyusuri keindahan bumi yang merupakan pancaran kebesaran Allah Swt. Lihat Nuh: 19-20, bumi ini terhampar luas untuk kita, sehingga kita bebas meniti jalan yang terbentang di bumi. Bukan tanpa sebab, kita sebagai pemimpin berlalu-lalang menyusuri keindahan bumi untuk menjaganya dari kerusakan sebagai langkah membuat rumah kita tetap dalam kondisi baik.
Rindu adalah perjalanan mengurai waktu
Menjelma pertemuan demi pertemuan
Catatannya tertulis di langit malam
Di telaga dan di ujung daun itu
***
Pada bait ini, mengungkapkan kerinduan manusia kepada Allah Swt. Namun, kita justru mendapati pertanyaan, apakah kita sudah bertemu Allah? Karena kerinduan identik dengan sebuah perpisahan setelah pertemuan. Lihat al-Hadid: 8, bahwa kita telah terikat perjanjian dengan Allah sebelum kita terlahir. Sehingga kerinduan itu nyata adanya. Kita meniti waktu demi waktu dengan perjumpaan dengan-Nya melalui pancaran sinarnya, yakni alam semesta yang dalam bait ini tergambar dengan, telaga, dan ujung daun sekalipun.
Hal ini tersurat dalam konsep Wahdat al-wujud Ibn Arabi, bahwa alam semesta ini diibaratkan sebagai cermin yang di dalamnya terdapat bayangan Allah. Alam semesta ada karena adanya Allah, sehingga adanya alam semesta dapat dipahami sebagai pancaran sinar Allah, seperti adanya siang karena adanya pancaran sinar matahari.
Rindu mengekal menyebut nama-Mu berulang-ulang
Rindu mengekal menyebut nama-Mu berulang-ulang
Kerinduan-kerinduan itu tidak akan bermakna jika tidak ada yang kita lakukan. Kita saja jika rindu kepada seseorang tidak akan terobati jika tidak ada tindakan untuk bertemu bukan? Butuh tindakan praksis untuk mengobati kerinduan tersebut. Dalam bait ini, mengisyaratkan bahwa kita harus mengobati kerinduan kepada Allah dengan berdzikir berulang-ulang. Lihat salah satu hadits qudsi, yang diriwayatkan al-Baihaqi, bahwa Allah akan bersama hamba-Nya yang selalu mengingat-Nya dan kedua bibirnya bergerak karena-Nya. Kita bisa memaknai Noor (Nur) dalam lagu ini sebagai Nur (Cahaya) yang paling Nur, yang Hakiki, yang memiliki Nur itu sendiri, yang tak pernah terjamah oleh manusia, yakni Allah Swt.
Editor: An-Najmi
Leave a Reply