Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Bincang Buku Tafsir Cahaya Perspektif Filosofis

Tanwirid—Eksistensi cahaya yang kita lihat sehari-hari ternyata memiliki beragam makna yang belum kita ketahui. Cahaya yang ada tidaklah sekedar cahaya yang menyinari kehidupan di bumi, lebih luas dari itu.

Pada kesempatan kali ini, series bincang buku Tafsir Ayat Cahaya berlanjut dengan tema perspektif filosofis. Alamsyah Kaharuddin Manu selaku penulis salah satu tema dari buku ini menyampaikan penafsiran ayat cahaya melalui kitab Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Mulla Sadra.

Mulla Sadra dan Pendekatannya Terhadap al-Qur’an

Mula-mula, ia mengenalkan kepada kita sosok Mulla Sadra. “Dengan mengutip Sayyid Hussein Nasr, Mulla Sadra adalah salah satu filsuf yang sangat perhatian pada kajian al-Qur’an dibanding filsuf lain”, ujarnya.

Lebih lanjut, pendekatan penafsiran yang digunakannya adalah pendekatan filosofis dan irfani.

Sebelumnya, Alamsyah menjelaskan bahwa secara epistemologis Mulla Sadra mencoba menyatukan dua corak pemahaman yang ada yaitu paripatetik yang cenderung menggunakan rasio dan iluminasi yang cenderung menggunakan batin.

“Bahwa akal memang merupakan sumber pengetahuan, tapi ada sumber lain yang tidak boleh ditinggalkan yaitu dengan menggunakan batin. Misalnya seseorang akan terasa sulit memahami al-Qur’an jika tidak mampu bersyukur”, ungkapnya.

Adapun secara ontologis, Mulla Sadra memiliki satu pemahaman dengan Ibnu ‘Arabi terkait konsep kesatuan wujud.

“Bahwa eksistensi bukanlah tentang keberadaan. Tuhan itu ada. Namun ada bukanlah wujud hakiki karena seakan-akan ada perbedaan. Padahal tidak ada perbedaannya dengan wujud”, jelasnya.

Penafsiran Filosofis Mulla Sadra

Dalam menafsirkan QS. an-Nur ayat 35, Mulla Sadra mengungkapkan makna cahaya itu dengan memberikan analogi.

“Allah adalah pemberi cahaya langit dan bumi. Sesuatu yang jelas bagi dirinya dan menyinari bagi yang lain. Jadi, Allah adalah wujud itu sendiri dan pemberi wujud bagi orang lain”, ungkapnya.

Baca Juga  Ko dan Usaha dalam Al-Quran: Persektif Tafsir dan Pre-Assumpion

Mulla Sadra menjelaskan penafsirannya itu bahwa hakikat alam itu yang benar-benar cahaya adalah Allah, selain itu hanyalah manifestasi atau penampakan.

Secara filosofis, hal itu terjadi karena hubungan sebab akibat. Sebab itu adalah sang pencipta yaitu Tuhan. Selain Tuhan adalah akibat yang tidak lain hanyalah ketergantungan.

Sederhananya, Alamsyah memberikan permisalan akan hal itu. “Kita ini bukanlah sesuatu yang diciptakan Tuhan. Kita adalah penciptaan Tuhan itu sendiri”, ujarnya.

Lebih lanjut, Alamsyah menjelaskan bahwa penciptaan itu suatu relasi. Sebagaimana kata ‘adalah’ tidak akan bisa dipahami jika tidak ada subyek dan predikatnya. Jadi, apapun selain Tuhan harus menempel kepada Tuhan. Menurut Mulla Sadra bahwa penciptaan itu setiap masa.

Tingkatan Cahaya dalam Potret Wahdatul Wujud

Dalam mencoba menjelaskan tingkatkan cahaya, Mulla Sadra mengungkapkan lebih dulu tentang konsep wahdatul wujud yang terbagi menjadi dua, yaitu wahdatul wujud syahsiyah dan wahdatul wujud tasqiqi.

Wahdatul wujud syahsiyah itu yang individual, yang terbatas pada zatnya Allah. Sedangkan wahdatul wujud tasqiqi itu bersifat gradasi atau bertingkat-tingkat seperti konsep bhineka tunggal ika. Jadi, ada banyak wujud cahaya, tapi yang paling wujud cahayanya adalah Allah.

Adapun dalam tingkatan-tingkatannya, ada insan kamil yang ada pada Nabi Muhammad sebagai manifestasi yang paling sempurna dari Allah yang mampu ditangkap oleh makhluq.

Alamsyah terheran-heran dengan orang-orang yang menganggap dirinya sudah pada tingkatan sufi tapi susah melaksanakan sholat.

“Tanpa kita patuh pada syari’at Nabi, mustahil sampai ke Allah (mendapat cahayanya Allah) bahkan sampai kepada yang bernuansa profan sekalipun. Jadi, tidak mungkin sampai kepada batin tanpa melalui dhohirnya.”, ujarnya.

Perumpamaan Yang Hakiki

Terkait perumpamaan-perumpamaan yang ada pada penggalan ayat 35 surat an-Nur, Mulla Sadra menganggapnya tidak sekedar perumpamaan tapi hakikat yang nyata meski tidak memiliki bentuk.

Baca Juga  Mentadaburi Al-Qur'an Sebagai Kitab Dialog (1)

Alamsyah mengungkapkan bahwa dalam memahami itu perlu memahami konsep kosmologi dalam filsafat, bahwa ada tiga alam dalam hal ini yaitu, alam akal, alam nafs dan alam materi.

“Alam akal itu tidak ada bentuk, hanya makna dan sudah mulai ada bentuk seperti Nabi Muhammad sebagai manusia. Alam materi itu Nabi Muhammad sebagai wujud materi”, ungkapnya.

Hal ini juga digunakan dalam memahami penggalan ayat, lā syarqiyah wa lā gharbiyyah bahwa pohon (zaitun) itu tidak tumbuh di Timur dan di Barat. Maksudnya meliputi alam akal dan materi.

Di Timur mengibaratkan matahari terbit dan dekat dengan Tuhan. Sedangkan di Barat mengibaratkan matahari terbenam dan jauh dari Tuhan. Hakikat semua ini real (nyata) meski ada tingkatan-tingkatannya.

Akhirnya, sebagai penutup bahwa penafsiran yang terbaik adalah penafsiran yang mampu masuk ke batiniyyah tanpa meninggalkan dhahiriyyahnya.

Editor: An-Najmi

Muhammad Afiruddin
Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur'an dan Sains Sendangagung Paciran Lamongan