Banyaknya konsep Islam yang terakumulasi dalam tatanan kebaruan, menjadi tanda bahwa diskursus keislaman dan kemodernan semakin terbuka. Salah satu idenya adalah munculnya hermeneutika yang terus berkembang hingga sekarang. Sebagian intelektual Islam menyamakannya dengan tafsir, dan sebagiannya yang lain menyatakan berbeda. Sama halnya dengan gagasan-gagasan kebaruan yang lain, hermeneutika juga menuai pro dan kontra. Hassan Hanafi, salah seorang cendekiawan muslim kontemporer, mencoba menawarkan konsep rekonstruksi penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan hermeneutika. Harapan Hanafi, makna teks al-Qur’an dapat bertransformasi dalam kelangsungan hidup manusia.
Biografi Hassan Hanafi
Nama lengkapnya adalah Hassan Hanafi Hassanaein. Beliau lahir di Kairo tanggal 13 Febuari 1935 (85 tahun). Sejak kecil, Hassan Hanafi sudah terlihat bakatnya untuk menjadi intelektual hebat. Ditulis dalam beberapa sumber, pada umur 5 tahun Hassan Hanafi sudah mulai menghafal al-Qur’an dan dibimbing dalam mempelajari al-Qur’an oleh gurunya, Syaikh Sayyid. Lahir dari keluarga dengan background musisi, ternyata tidak lantas membuatnya menggeluti hal yang serupa. Beliau lebih menyukai bidang filsafat untuk ditekuni. Hal ini dibuktikan dengan gelar sarjananya pada jurusan filsafat di Universitas Kairo, Mesir.
Lulus dari Universitas Kairo, Hanafi memperdalam studi filsafatnya ke Universitas Sorbonne, Prancis. Di Universitas Sorbonne ini, Hanafi mendapat gelar magister dan doktornya. Karena banyak menyerap pengetahuan Barat, Hanafi sering diidentikkan sebagai intelektual modernis. Namun, Hanafi tetap menunjukkan karakteristiknya tersendiri. Hanafi tak mempersoalkan dari mana pengetahuan itu didapat, melainkan bagaimana pengetahuan itu kemudian bisa ditransformasikan ke dalam realitas sosial kemanusiaan.
Landasan Pemikiran
Terdapat dua faktor yang melandasi pemikiran Hassan Hanafi mengenai fenomena al-Qur’an, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang datang dari dalam islam sendiri, di antaranya: 1) Adanya metode interpretasi tafsir yang kebanyakan bersifat tekstual dan kaku, sehingga tidak terjadi dialog antara teks dan realitas. 2) Adanya pemikiran bahwa rasionalitas tidak ditempatkan pada posisi netral, kritis, dan digunakan sebagai sarana dialog. Melainkan ditempatkan pada posisi kontradiktif, sehingga tidak memberikan kemajuan dan penemuan baru dalam Islam. 3) Sosial budaya masyarakat Islam yang terbelakang, miskin, dan tertindas.
Adapun faktor eksternal yang datang dari luar Islam ialah berupa ancaman imperialisme, zionisme, kolonialisme, dan kapitalisme dari Barat. Ancaman ini bukan hanya dari sisi ekonomi dan politik saja, namun juga menyerang sisi kultural yang akan membasmi kebudayaan Islam sehingga Islam kehilangan jati dirinya. Berangkat dari kedua faktor diatas, Hanafi mengusulkan adanya gerakan revolusioner “Islam Kiri”, yang bertopang pada tiga pilar: merevitalisasi khazanah Islam klasik, menantang peradaban Barat dengan teori oksidentalismenya (sebagai jawaban atas orientalisme), dan menganalisa kembali realitas dunia Islam dari sisi pemikiran, ekonomi, sosial, maupun politik. Dalam kaitannya dengan tafsir al-Qur’an, Hanafi mengkritik metode penafsiran tradisional yang terlalu kaku. Kemudian menawarkan metode baru yang bersifat progresif, yang nantinya dikenal sebagai hermeneutika aksioma.
Hanafi berpendapat bahwa hermeneutika bukan hanya ilmu interpretasi atau teori pemahaman, melainkan juga ilmu yang menjelaskan proses penerimaan wahyu sejak pada tingkat perkataan sampai tingkat realitas. Hermeneutika ialah ilmu mengenai proses turunnya wahyu dari pikiran Tuhan sampai kenyataan, dari logos sampai praksis, dan juga perubahan dari wahyu Tuhan kepada kehidupan manusia. Teori hermeneutika Hanafi berangkat dari tiga konsep besar berikut:
Konsep Hermeneutika Hassan Hanafi
Pertama, kritik historis untuk menjamin orisinalitas teks suci. Menurut Hanafi, kesadaran ini harus terbebas dari hal-hal yang berbau teologis, mistik, spiritual, filosofis, dan fenomenologis. Sehingga teks bisa dijamin keasliannya melalui kritik historisnya. Pinsip Hanafi dalam kritik ini, di antaranya: a) teks ditulis secara in verbatim (kata-katanya sama persis seperti yang diucapkan pertama kali). b) teks utuh, tidak kurang dan tidak lebih. c) dalam penyampaiannya, Nabi atau malaikat haruslah bersifat netral, hanya sekedar sebagai sarana komunikasi murni dari Tuhan secara in verbatim kepada manusia. Jika sebuah teks memenuhi persyaratan di atas, maka teks dinilai asli dan sempurna.
Kedua, kritik eidetik sebagai proses pemahaman terhadap teks. Hanafi menyebutkan fungsi dari kesadaran ini adalah untuk memahami dan menginterpretasi teks setelah validitasnya dikukuhkan melalui kritik historis. Pada kritik ini, Hanafi membagi menjadi tiga tahap analisis: a) analisa bahasa. Analisa ini merupakan alat sederhana untuk mufassir dalam memahami makna teks yang sesungguhnya. Karenanya, teks harus dilihat dalam bahasa aslinya, bukan terjemahan. Hanafi juga menyatakan pentingnya menggunakan fonologi, leksikologi, morfologi, dan sintaksis dalam analisa ini.
b) analisa konteks sejarah (asbabun nuzul). Hanafi membagi konteks sejarah ke dalam dua macam, yaitu situasi pada saat turunnya teks, dan situasi yang menyebabkan turunnya teks. Pembedaan ini bertujuan untuk tetap memberikan ruang pada teks-teks yang dianggap tidak memiliki asbabun nuzul. c) generalisasi. Generalisasi berfungsi untuk membawa situasi saat dan situasi sejarah agar bisa mendatangkan situasi lain, sehingga teks tetap tampak segar, baru, dan modern dalam menyikapi kasus sosial. Namun, generalisasi juga harus dalam batas aturan linguistik, agar tidak terjadi generalisasi yang liar dan ekstrim.
Dari Interpretasi ke Aksi
Ketiga, kritik praksis sebagai penyempurnaan kalam Tuhan. Menurut Hanafi, tidak ada kebenaran teoritis dari sebuah dogma yang datang begitu saja, melainkan dogma adalah sebagai motivasi yang ditujukan untuk praktis. Karena wahyu Tuhan sebagai dasar dogma merupakan motivasi bagi tindakan. Sebuah dogma, akan dinilai ideal jika tampak dalam tindakan manusia. Karenanya, pada proses akhir hermeneutika ini yang terpenting ialah bagaimana hasil interpretasi bisa diaplikasikan dalam kehidupan manusia. Tanpa keberhasilan tahap ketiga ini, bagaimanapun hebatnya suatu interpretasi tidak ada nilainya. Karena memang itulah tujuan akhir diturunkannya teks suci.
Dari pemaparan di atas, bisa disimpulkan bahwa Hassan Hanafi adalah sosok agen perubahan yang ideal. Hanafi sangat mengupayakan perubahan umat muslim, khususnya yang tertindas, ke arah yang lebih baik. Hal inilah yang menurut penulis sangat menarik. Selain itu, bagaimana Hassan Hanafi berusaha untuk merekonstruksi penafsiran al-Qur’an agar tidak hanya sampai pada tingkat interpretasi, namun juga sampai pada tingkat transformasi ke kehidupan sosial juga patut diapresiasi. Selaras dengan perkataan Hassan Hanafi, “I wish humans could live twice: Once to write scholarly works, the second to dedicate to the public”.
Editor: Bukhari
Leave a Reply