Kelompok wahabi menganggap, hukum musik ialah mutlak haram, tidak ada toleransi terhadapnya. Dalam pandangan mereka, orang-orang yang menghalalkan musik tergolong kepada fasik, berdosa, bodoh bahkan keluar islam. Ustadz-ustadz dadakan yang muncul di dunia digital serta jamaah wahabi yang lain pun tidak terima dengan ceramah Ustaz Adi Hidayat (UAH) lalu merendahkan, bahkan menghina UAH dan menuduh sebagai ahli syubhat.
Dalam salah satu kajian UAH menyampaikan hukum musik tidak mutlak haram. Hukum musik kembali kepada illatnya, dan hal itu ada 3 macam. Pertama, mengandung keutamaan hukumnya sunnah. Kedua, hanya sekedar main-main tidak mengandung apa-apa, hukumnya makruh. Ketiga, mengarah kepada kemaksiatan, hukumnya haram. Hal demikian membuat dai-dai wahabi menunjukkan wajah aslinya yang tidak menerima pendapat yang berbeda.
Wahabi itu Ancaman bagi Indonesia
Sebenarnya yang terjadi sekarang, bukanlah keanehan pertama kali yang dilakukan wahabi. Sebelumnya, kelompok wahabi juga menyerang Ustaz Abdul Somad (UAS) bahkan mencaci maki sebagai ustaz ahli syubhat karena memperbolehkan maulid nabi. Bahkan sekelas Syekh Yusuf al-Qardawi pun mereka hinakan. Kelompok wahabi mengancam kearifan lokal kebhinekaan Indonesia, merusak budaya lokalitas keislaman yang telah dibangun oleh ulama-ulama Nusantara.
Kelompok wahabi terlalu memaksakan, tidak menerima pluralitas pendapat dan menganggap sesat yang berbeda. Sangat disayangkan, masyarakat banyak terpedaya dengan legitimasi wahabi sebagai manhaj salaf, manhaj yang paling dekat dengan nabi. Wahabi semakin manjadi-jadi, dengan kejadian ini justru merusak dan memalukan citra islam itu sendiri. Budaya lokalitas keislaman mereka sesatkan, bid’ahkan, bahkan mengkafirkan. Wahabi benar-benar mengancam kebhinekaan Indonesia.
Wahabi itu Bukan Identitas Islam Indonesia
Masyarakat islam Indonesia harus tau, wahabi bukanlah identitas yang mencerminkan ciri khas keislaman di Indonesia. Mereka selalu menggaungkan manhaj salaf, untuk mengikat hati jamaahnya. Dalam buku Metode dan Alternatif Neomodernisme, Fazlurrahman menyebutkan salah satu ciri gerakan wahabi ialah dengan kekerasan. Padahal, ulama salaf tidak mengajari menyebarkan dakwah islam dengan kekerasan. Terlebih islam masuk di Indonesia tanpa kekerasan sama sekali.
Contoh kekerasan yang dilakukan wahabi ialah menyerang makam cucu nabi Muhammad, Husein di Karbala pada 1803 karena menganggap makam tersebut dijadikan berhala dan penuh takhayul. Menurut cendikiawan muslim, Azyumardi Azra mengemukakan wahabisasi di Indonesia terjadi ditahun yang sama masuk lewat kepulangan ibadah haji di Sumatra Barat. Karena pada saat yang bersamaan, Mekkah saat itu dikuasai oleh kelompok wahabi.
Wahabisasi mulai terlihat dengan membid’ahkan tradisi lokal seperti pemakaian baju sutra di Minangkabau saat itu. Hingga saat ini, gerakan wahabisme terus berjalan menganggap bid’ah tradisi, banyak lulusan Arab Saudi yang tidak sependapat dan mengkategorikan ulama Nusantara sebagai ahli syubhat. Bahkan disebutkan salah satu kajiannya, mereka mendapat dukungan pendanaan untuk dakwah dari Timur Tengah. Wahabisasi ini nyata, sebuah proyek dengan ambisi yang kuat me-wahabi-kan umat.
Proyek gerakan wahabisme tersebut terus berjalan dengan samar namun terstruktur. Pada tahun 2017, karena kepandaiannya, UAH pernah di undang secara tertutup untuk mengikuti dauroh agar membawa wahabisasi bersama-sama. Namun, UAH dengan cerdas menolak hal demikian, justru UAH mengajak bersama untuk diskusi diruang terbuka, namun kelompok wahabi menolak. Gerakan wahabi inilah yang tidak mencerminkan islam Indonesia, karena tidak menerima keterbukaan.
Jangan Biarkan Wahabi
Umat islam Indonesia harus sadar, mereka pelan-pelan berusaha menggeser islam menjadi agama yang tertutup. Para kiai lokal terlihat sedang diredupkan oleh mereka, karena wahabisasi seperti ini pun disambut baik di Indonesia. Buktinya, kajian-kajian mereka dihadirkan dimasjid-masjid yang latar belakang bukan masjid mereka, bahkan dibeberapa tempat mereka mengakuisisi masjid tersebut. Jangan sampai negara ini menjadi tempat wahabi untuk “berkembangbiak”.
Jika membuka kembali sejarah, sebelum wahabi ada. Ulama-ulama Nusantara sudah memberikan kontribusi dan pengaruh besar terhadap islam dunia, terlebih di Arab Saudi, seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan masih banyak lagi ulama Nusantara yang mendunia dan tetap menjaga kearifan lokalitas keislaman indonesia.
Namun melihat kondisi realitas yang ada sekarang, umat islam Indonesia tidak boleh berdiam diri. Wahabisasi harus dicegah, kelompok wahabi tidak boleh terus dibiarkan, karena mengancam kebhinekaan, meruntuhkan martabat bangsa. Jangan sampai ulama-ulama Nusantara seperti UAH, UAS, Quraish Shihab, dan lainnya berdiam diri dan dihinakan oleh para dai wahabi yang tidak menerima pendapat lain.
Sudah cukuplah dakwah islam yang dibangun oleh 2 organisasi besar islam Indonesia yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Jika perkara musik saja, mereka tidak menerima pendapat yang berbeda dan membuat umat terpecah. Jika dibiarkan, kelak mereka akan menghancurkan kebhinekaan bangsa. Wallahu a’lam.
Editor: An-Najmi
Leave a Reply