Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Buya Hamka dan Proyek Di Balik Penyusunan Tafsir Al-Azhar

Sebagian orang pasti sudah pernah mendengar namanya. Beliau merupakan seorang tokoh ulama yang terkenal dan sekaligus mufassir Indonesia. Beliau adalah Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah yang masyhur dengan nama Buya Hamka. Nama kecil Buya Hamka yaitu Abdul Malik, lahir pada 17 Februari 1908. Lahir di Tanah Sirah, kini masuk wilayah Nagari Sungai Batang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Dan meninggal pada 24 Juli 1981 di Jakarta.

Kilas Perjalanan Hidup Hamka

Dibayangi nama besar ayahnya Abdul Karim Amrullah, Hamka saat remaja sering melakukan perjalanan jauh sendirian. Ia meninggalkan pendidikannya di Thawalib, melalukan perjalanan ke Jawa ketika berusia 16 tahun. Setelah setahun melewatkan perantauannya, Hamka kembali ke Padang Panjang membesarkan nama Muhammadiyah. Pengalamannya ditolak sebagai guru di sekolah milik Muhammadiyah karena tak memiliki diploma dan kritik atas kemampuannya berbahasa arab, membuat Hamka ingin pergi ke Mekkah.

Dengan bahasa arab yang dipelajarinya, Hamka mendalami sejarah Islam dan sastra secara otodidak. Buya Hamka menjalani masa pendidikan sekitar tujuh tahun lebih antara 1916 hingga 1924. Memasuki usia 29 tahun, Buya Hamka memulai kegiatan kerjanya dengan menjadi guru agama di perkebunan Tebing Tinggi. Buya Hamka meneruskan karirnya sebagai pengajar di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Padang Panjang dari tahun 1957 sampai 1958. Setelah itu, dia dilantik sebagai Rektor Perguruan Tinggi Islam Jakarta dan menjabat sebagai Guru Besar di Universitas Moestopo, Jakarta. Di samping itu, ia sebagai pegawai tinggi agama yang dilantik oleh Menteri Agama Republik Indonesia sejak 1951 sampai 1960.

Buya Hamka dan tafsir Al-Azhar

Dinamakan Al-Azhar karena sama dengan nama masjid yang didirikan olehnya di Kebayoran Baru. Nama yang ditunjuk dari Syekh Mahmud Syalthuth dengan harapan agar benih keilmuan dan pengaruh intelektual tumbuh di Indonesia. Buya Hamka awalnya mengenalkan tafsirnya tersebut melalui kuliah subuh pada jama’ah masjid Al-Azhar Kebayoran Baru, Jakarta. Penafsirannya dari surah al-kahf, juz XV. Catatan yang ditulis sejak 1959 tersebut telah dipublikasikan dalam majalah “Gema Islam” yang terbit pertama pada 15 Januari 1962 sebagai pengganti majalah “Panji Masyarakat” yang dibredel oleh Presiden Soekarno tahun 1960.

Baca Juga  Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 41-43: Beberapa Peringatan

Proses penulisan tafsir Al-Azhar

Ketika Buya Hamka ditangkap oleh penguasa Orde Lama dengan tuduhan berkhianat pada negara dan dipenjara selama 2 tahun 7 bulan, ia pun memanfaatkan waktunya untuk menulis dan menyempurnakan tafsirnya. Ia mengutarakan rasa syukur kepada para ulama, para utusan dari Aceh, Sumatera Timur, Palembang, ulama dari Mesir, ulama di Al-Azhar, Syekh Muhammad Al-Ghazali, Syekh Ahmad Sharbasi, dari Makassar, Banjarmasin, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan lain-lain. Pada 1967, Tafsir Al-Azhar pertama kali diterbitkan. Tafsir tersebut menjelaskan latar hidup penafsirnya secara sederhana. Ia menggambarkan karakter masyarakat dan sosio-budaya yang terjadi saat itu. Selama 20 tahun, tulisannya mampu merekam kehidupan dan sejarah sosio-politik umat yang berat dan menampakkan cita-citanya untuk mengangkat pentingnya dakwah di Nusantara. 

Tafsir Al-Azhar ditulis berasaskan pandangan dan kerangka manhaj yang jelas dengan merujuk pada kaedah bahasa arab, tafsiran salaf, asbab an-nuzul, nasikh-mansukh, ilmu hadis, ilmu fiqih, dan sosial-budaya masyarakat Indonesia. Dari sini, penafsiran Buya Hamka disamping menggunakan metode tahlili secara umum juga melakukan perbandingan-perbandingan (muqaran) terhadap realitas sosialnya. Tahlili adalah metode yang mufassirnya berupaya untuk menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai sisi dengan memperhatikan urutan ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana yang termaktub dalam mushaf.

Penyusunan Al-Azhar

Corak yang mendominasi penafsiran Hamka adalah al-adab al-ijtima’i, dimana ia senantiasa merespons kondisi sosial masyarakat dan mengatasi problem yang timbul di dalamnya. Maka jelas dia memakai corak adab ijtima’i (sosial kemasyarkatan). Yaitu penafsiran yang menerangkan petunjuk-petunjuk ayat Al-Qur’an yang berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat dan berupaya untuk menanggulangi masalah-masalah mereka dengan mengedepankan petunjuk-petunjuknya.

Hamka dalam menyusun tafsir Al-Azhar menggunakan tartib utsmani, yaitu menafsirkan ayat berdasarkan penyusunan mushaf utsmani. Keistimewaan yang didapatkan dari tafsir ini karena mengawali dengan pendahuluan yang berbicara banyak tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an, seperti definisi Al-Qur’an, makkiyah dan madaniyah, nuzul Al-Qur’an, pembukuan mushaf, i’jaz dan banyak lagi. Dalam perkembangannya, Hamka banyak merujuk pada tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh, juga mengakui dirinya bahwa Sayyid Qutub dalam tafsirnya Fi Zhilal Al-Qur’an sangat banyak mempengaruhi Hamka dalam menulis tafsir yang notabene bercorak al-adab al-ijtima’i dan haraki.

Baca Juga  Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 106: Tentang Nasikh dan Mansukh

Editor: An-Najmi

Wahyu Nur Fatimah
Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam