Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 106: Tentang Nasikh dan Mansukh

Mansukh
Sumber: unsplash.com

Kemudian daripada itu Tuhan memperingatkan kepada orang-orang yang beriman bahwasanya Rasul-rasul diutus Tuhan ganti-berganti, dan wahyu atau Kitab Suci diturunkan berturut-turut. Semuanya itu memakai ayat-ayat, atau tanda. Ayat diartikan juga mu’jizat. Ayat diartikan juga, syariat atau perintah Nabi berganti datang. Kitab berturut turun, zaman pun berganti. Tetapi pokok hukum, yaitu percaya kepada Allah Yang Maha Esa, dan percaya akan Hari Akhirat tetap berjalan, tidak berganti. Sebab itu Tuhan bersabda:

“Tidaklah Kami mansukhkan dari suatu ayat atau Kami jadikan dia terlupa, (niscaya) Kami datangkan yang lebih baik daripadanya, atau yang seumpamanya.” (pangkal ayat 106).

Arti yang asal dari nasikh ialah dua. Pertama menghapus atau menghilangkan. Kedua menyalin. Misalnya ada satu tulisan dalam secarik kertas, lalu kita rendamkan kertas itu ke dalam air, sehingga hapuslah tulisan itu kena air; disini mansukhnya berarti dihapuskan. Dan satu waktu ada sebuah buku berisi tulisan, lalu disalin isi tulisan itu ke buku lain yang masih kosong. Maka buku yang disalin ke buku lain itu dinamai mansukh, dengan arti disalin. Kadang kadang bertemulah yang disalin atau yang dihapus itu, lalu diadakan gantinya. Maka yang disalin atau dihapus dinamai mansukh dan pengganti atau salinan dinamai nasikh. Orang yang menyalin atau menghapusnya dinamai nasikh; ism-fa’il.

Oleh sebab itu senantiasa kita mendengar bahwa kitab-kitab atau surat yang disalin disebut naskhah. Setelah diambil menjadi bahasa Indonesia kita pakai menjadi naskah. Pengertian naskah berdekat dengan aslinya. Misalnya karangan yang masih ditulis tangan, belum dicetak (manuskrip).

Di dalam Surat 45, al-Jatsiyah ayat 29 bertemu perkataan nastansikhu, yang berarti kami tuliskan.

Di dalam Surat 7, al-Araf ayat 154 bertemu kata-kata naskhah; “Setelah tenang Musa dari kemarahan, diambilnyalah alwah itu; dan di dalam naskhah adalah petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang ada rasa takut kepada Tuhan mereka.”

Baca Juga  Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 61: Kaum Nabi Musa Tidak Bersyukur

Maka di dalam kedua ayat ini, yang berisi nastansikhu dan naskhah terdapatlah arti penulisan dan penyalinan. Kitab Taurat mempunyai naskhah, dan amal manusia hidup ini ada naskhahnya dalam catatan tulisan Malaikat-malaikat yang akan dibuka di akhirat.

Tentang nasakh dengan arti hapus, ada pula bertemu di dalam Surat 22, al-Haj ayat 52, bertemu lagi nasakh dengan arti penghapusan. Di ayat itu dikatakan bahwa tiap-tiap syaitan mencoba hendak memasukkan bisikan pengaruhnya kepada seorang Rasul, selalu Tuhan menghapuskan pengaruh syaitan itu dari hati mereka Fayansakhullahu ma yulqisy syaithanu: Di sini teranglah arti nasakh ialah penghapusan.

Maka di dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini, arti mansukh ialah dihapuskan, bukan disalinkan atau dituliskan. Dan ayat yang dimaksud di sini, bukanlah ayat al-Quran ada yang mansukh atau yang lupa, sehingga tidak teringat lagi oleh Nabi, lalu ayat itu diganti Tuhan dengan ayat yang lain, dengan yang lebih baik atau yang sama. Atau yang mansukh seperti itu atau yang lupa oleh Nabi, tidak ada.

Yang dimaksud dengan ayat disini ialah arti tanda, dan yang sebenarnya dituju ialah mu’jizat. Nabi-nabi yang terdahulu telah diberi Allah berbagai macam mu’jizat sebagai tanda bukti mereka telah diutus Tuhan, sesuai pula dengan kecerdasan ummat pada waktu itu. Berbagai mujizat yang telah terdahulu itu ada juga disebutkan di dalam al-Quran.

Nabi Musa misalnya, telah datang membawa ayat mu’jizat yaitu dia mempunyai tongkat yang demikian ganjil, Nabi Isa Almasih, telah diberi ayat mu’jizat menyembuhkan orang sakit balak dan menyalangkan orang buta. Ayat itu telah mansukh, atau telah diganti dengan yang lebih baik dengan kedatangan Muhammad s.a.w. yaitu al-Quran sebagai mu’jizat terbesar.

Baca Juga  Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 171: Hakikat Kebajikan (1)

Tongkat Musa entah di mana sekarang, sudah hilang karena sudah lama masanya. Tetapi al-Quran masih tetap sebagai sediakala ketika dia diturunkan. Sehuruf pun tidak berubah. Nabi lsa Almasih di kala hidupnya telah menyembuhkan orang sakit balak dan menyalangkan orang buta dengan izin Allah, maka al-Quran yang dibawa Muhammad s.a.w. pun telah menghidupkan orang yang mati hatinya dan buta fikirannya buat segala zaman.

Maka ayat al-Quran sebagai mu’jizat jauhlah lebih baik daripada ayat terdahulu yang telah mansukh itu. Kitab-kitab Suci sendiripun telah banyak terlupa; itupun diakui oleh setiap penyelidik yang insaf. Taurat yang asli tidak ada lagi, orang Yahudi telah banyak melupakannya, sehingga catatan yang tinggal sudah banyak campur aduk. Injil Isa Almasih yang sejati entah di mana tak diketahui, sebab lnjil baru dicatat berpuluh tahun sesudah beliau meninggalkan dunia ini. Berpuluh-puluh Injil itu diputuskan oleh pendeta-pendeta gereja tidak boleh dipakai, hanya empat yang disahkan. Apakah sudah nyata bahwa yang tidak disahkan itu salah semua?

Sekarang datanglah al-Quran. Betapapun haruslah diakui bahwa dialah ayat yang lebih baik dan lebih terjaga.

Dahulu ada ayat lagi, yaitu hari istirahat orang Yahudi ialah hari sabtu, menurut syariat Musa. Sekarang diganti Tuhan dengan ayat perintah baru yaitu berjum’at bersama-sama pada hari Jum’at.

Dan banyak lagi Nabi-nabi dan Rasul-rasul yang lain, mungkin telah ditakdirkan Tuhan bahwa orang lupa apakah ayat-ayat dibawa oleh Rasul-rasul dan Nabi-nabi itu. Kalau benarlah bahwa Nabi-nabi ada 124.000 dan Rasul lebih dari 300 orang, niscaya tidak semua akan dapat diingat orang lagi ayat-ayat yang diturunkan kepada mereka semuanya sudah mansukh. Dan sekarang datang yang lebih baik dan ada juga yang sama baiknya.

“Tidakkah engkau ketahui, wahai utusan Kami “bahwasanya Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Maha Kuasa.” (ujung ayat 106).

Bukanlah karena RasulNya tidak tahu atau lupa, sehingga diberi peringatan bahwa Tuhan Allah Maha Kuasa berbuat sekehendakNya. Melainkan yang dimaksud ialah bahwa Tuhan memansukhkan satu ayat, menjadikan terlupanya satu ayat difikirkan manusia dan menggantinya dengan yang lebih baik, artinya yang lebih sesuai dengan zaman atau yang sama. Tuhan mengadakan pertanyaan demikian adalah untuk menguatkan ingatan beliau, bagi menghadapi orang-orang yang masih ragu. Terutama Ahlul-Kitab yang banyak pertanyaannya, banyak sudi-siasatnya, mengapa ini dimansukhkan, mengapa ini dihilangkan dan tidak dipakai lagi.

Baca Juga  Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 40: Da'wah Kepada Bani Israil

Tafsir beginilah jalan yang kita pilih terhadap ayat ini. Dan ada juga penafsiran daripada Ulama-ulama ikutan kita bahwa ada ayat al-Quran sendiri yang dimansukhkan. Ada yang dihilangkan lafaznya tetapi tetap hukumnya dan ada yang lafaznya masih ada tetapi hukumnya tidak berlaku lagi, karena dinasikhkan oleh ayat yang lain. Tidak kita kemukakan penafsiran menurut itu, karena itu telah mengenai Khilafiyah. Sebab ada pula segolongan Ulama yang tidak mengakui adanya nasikh mansukh.*

[Untuk itu silahkan membaca kitab Tarikhul Tasyri’il Islamy karangan Syaikh Muhammad al-Khudhari (1922). Dan Ulama lndonesia yang berperdirian demikian pula, yaitu almarhum guru hamba syaikh Abdul Hamid bin Abdul Hakim (Tuanku Mudo) di Padang Panjang. Silahkah membaca buku karangan beliau tentang ushul Fiqhi yang bernama al-Bayan (Bahasa Arab)]

Sumber: Tafsir Al-Azhar Prof. HAMKA. Pustaka Nasional PTE LTD Singapura