Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Ayat Perang dalam Tafsir Hidayatul Quran Menurut Fathul Wahab

hidayatul quran
Sumber: https://pesantren.id

Islam menurut sebagian orang kerap dinarasikan sebagai agama perang. Hal ini tidak lepas dari banyaknya sejarah nabi yang menitik beratkan pada aspek perang. Dikutip dari laman bbc.com, hasil kajian dari Badan Penelitian Pengembangan dan Pendidikan pelatihan Kementerian memaparkan, belum banyak literatur sejarah Nabi yang menonjolkan aspek sifat terpuji (jujur, amanah, cerdas dan terpercaya). Sebaliknya, sejarah masih didominasi oleh perang-perang. Tulisan ini akan mengulas tafsir Hidayatul Quran.

Terlepas dari sejarah tersebut, Alquran, sebagai tonggak dasar beragama umat Islam, seringkai disalah tafsirkan secara radikal yang mendukung kekerasan sebagai sarana jihad. Salah satu penyebabnya ialah pembacaan ayat Alquran secara parsial dan terlepas dari ayat lainnya, sehingga memunculkan penafsiran yang tidak holistis, sebagaimana dikatakan  Prof. Chirzin Muhammad dalam laman artikula.id

Berdasarkan dua faktor di atas, muncul sebuah pertanyaan, benarkah Islam agama perang? Guna menjawab pertanyaan di atas, baik kiranya tulisan ini memberikan sedikit gambaran tulisan M. Royyan Nafis Fathul Wahab terkait penafsiran ayat-ayat perang dalam tafsir Hidayatul Quran dalam buku yang berjudul Daras Tafsir Hidayatul Quran: Ragam Pendekatan dan Cakrawala Pembacaan.

Sebagai informasi singkat, buku ini berisi kompilasi artikel yang mengulas kitab tafsir karya Dr. Muhammad Afifudin Dimyati. Tafsir ini berjudul Hidayatul Quran fi Tafsiri al-Quran bi al-Quran atau umum disebut tafsir Hidayatul Quran .

. Berikut ulasannya:

Term Perang dalam Alquran

Terdapat dua istilah yang digunakan Alquran untuk menyebut kata perang. Pertama,  kata ghazza yang berarti perang. Dikutip dari laman quranqudsiyah.org, kata ghazza hanya disebutkan sekali dalam Alquran, pada surah Al-Baqarah [2] ayat 156. Kata ghazza dalam ayat ini ditulis dalam bentuk kata kerja, ghazzan yang artinya peperangan.

Baca Juga  Menjadi Mukmin Sejati Sesuai QS. Al-Anfal Ayat 2-4

Kedua, kata qatala yang artinya membunuh. Peperangan identik dengan penyerangan dan pembunuhan satu kelompok tertentu yang disebabkan oleh permasalahan tertentu. Masih dalam laman yang sama, quranqudsiyah.org, terdapat 163 lafal qatala dan turunannya baik dalam bentuk kata kerja maupun kata benda.

Berdasarkan dua penggunaan kata perang di atas, Wahab memilih menggunakan term qatala. Tidak ada alasan spesifik tentang alasan dipakainya kata ini, namun bila dilihat dari kuantitas ayat, kata qatala dan derivasinya lebih unggul dan menyeluruh dalam menggambarkan ayat-ayat perang di dalam Alquran. 

Selain itu, Wahab juga membatasi penelusurannya terhadap ayat-ayat perang hanya dalam lima ayat saja: Al-Baqarah, Al-Imran, At-Taubah, Al-Mumtahanah, dan Al-Anfal. Berdasarkan lima alasan yang dikemukakan Wahab, penulis menangkap dua poin utama yang menjadi sebab lima ayat ini dipilih.

Pertama, mayoritas surah yang dipilih memiliki kategori madaniyah. Hal ini sesuai awal mula diperintahkannya berperang, yaitu pasca Nabi berhijrah ke kota Madinah. Kedua, tafsir Hida>yatul Qura>n dalam penafsirannya menggunakan pendekatan tafsir Alquran bil Quran, terlebih lima surah di atas memiliki jumlah ayat yang banyak, sehingga dinilai cukup mewakili topik ini.

Catatan Wahab Terhadap Tafsir Hidayatul Quran  terhadap Ayat Perang

Islam hanya menghendaki peperangan dalam rangka mempertahankan diri (defensif), bukan menyerang (ofensif). Wahab mengawali tulisannya dengan memaparkan surah Al-Baqarah [2]: 190:

وَقَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوْا ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ

Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu dan jangan melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al-Baqarah[2]:190).

Wahab memberi catatan, ayat ini di dalam tafsir Hida>yatul Qura>n ditafsirkan dengan tiga ayat: Al-Baqarah [2]: 193-194 dan An-Nahl[16]:126. Berdasarkan pembacaan terhadap tiga ayat ini, ketiganya saling terkait dan menafsirkan, ia menemukan tiga poin penting.

Baca Juga  Toleransi Beragama Sesama Muslim dan Non Muslim

Pertama, Islam tidak membenarkan mendahului peperangan (konflik). Sebaliknya, mengangkat senjata diharuskan dalam rangka melindungi diri, baik itu untuk keselamatan diri (hifz}u nafs), agama, (hifz}u di>n), maupun negara (hifz}ud daulah). Wahab juga mengkontekstualisasikan penafsiran ayar ini dengan konteks bernegara. Berperang dalam rangka bela negara dan tanah air menjadi sebuah keharusan bila. Adapun di dalam situasi normal, perintah memerangi non muslim tidak berlaku.

Kedua, Islam memiliki banyak batasan dan aturan dalam berperang. Orang yang boleh dilawan dalam situasi perang hanyalah yang terlibat seperti tentara atau pasukan. Sebaliknya, orang yang tidak berkepentingan, tidak bisa menjadi sasaran perang. Termasuk dalam kategori ini seperti: anak-anak, perempuan, difabel, orang gila, dan lain sebagainya.

Sebagai konsekuensi poin kedua, poin ketiga ialah larangan untuk berperang yang melampaui batas. Perang usai bila musuh telah menyatakan kekalahannya.

Status Hubungan dengan Non-Muslim

Pada ayat yang lain, Wahab juga menuliskan tentang tidak seluruhnya orang kafir boleh diperangi. Sebagaimana ia temukan di tafsir Hida>yatul Qura>n, termasuk golongan ini ialah orang yang tidak secara nyata menyatakan permusuhan atau sekedar mengolok-olok.

Terkait golongan ini, ia mengutip surah Al-Imran [3]:111  yang dalam tafsirHida>yatul Qura>n ditafsirkan dengan surah A-Hajj [22]:40.

Berkaitan dengan ketentuan di atas, muslim juga diperbolehkan menjalin hubungan dengan non-muslim selagi mereka tidak membuat permusuhan. Terkait hal ini, Wahib mengutip ayat yang lain dalam tafsir Hidayatul Quran , tepatnya pada surah Mumtahanah [60] ayat 18.

Ayat ini dalam catatannya, ditafsirkan oleh mualif tafsir Hidayatul Quran dengan surah Al-Imran [3]: 118 yang merupakan penjelas bahwa yang dilarang kepada umat Islam ialah menjalin dengan non-muslim yang menyatakan kebenciannya.

Baca Juga  Kontekstualisasi Syariat sebagai Solusi Permasalahan Umat

Kesimpulan

Wahab cukup komplit dalam melakukan telaah terhadap ayat-ayat perang di tafsir Hidayatul Quran. Tulisannya tersaji dengan alur topik yang terstruktur dan menyeluruh. Topik ini ia buka dengan pemaparan ayat perintah perang terhadap orang-orang kafir, dilanjutkan dengan pembahasan batasan perang, kelompok yang tidak boleh diperangi, serta non-muslim yang boleh dijadikan rekan dalam hubungan sosial.

Berdasarkan tulisannya, tafsir Hidayatul Quran merupakan tafsir yang ditulis dengan pendekatan Tafsir al-Quran bi al-Quran (menafsirkan Alquran dengan Alquran). Pembacaan secara menyeluruh terhadap penafsiran ayat-ayat Alquran terkait topik perang, menjadi bukti Islam bukanlah agama yang cinta perang. Namun demikian, Islam juga tidak mengajarkan diam bila mendapat ancaman yang membahayakan diri, agama, maupun bangsa.