Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Kontekstualisasi Syariat sebagai Solusi Permasalahan Umat

syariat
sumber: unsplash.com

Beberapa tokoh muslim mengkategorikan Islam menjadi tiga bagian. Yaitu aqidah, akhlaq, dan syariat atau fiqh. Aqidah adalah keyakinan dalam hati atas konsep-konsep ketuhanan, akhlaq adalah muamalah kepada makhluq lain, dan syariat adalah hukum-hukum kehidupan.

Syariat, dalam pandangan masyarakat, sering dimaknai secara hitam-putih, halal-haram, surga-neraka, dosa-pahala, hukum potong tangan, dan hal-hal parsial lain. Hal ini telah dikritik oleh Ziauddin Sardar, seorang sarjana muslim kontemporer yang hidup di London, sejak tahun 1980 an.

Menurut Sardar, batasan-batasan syariat lebih luas daripada hukum Islam yang terbatas. Syariat juga merupakan sistem etika dan nilai, suatu metodologi praktis yang dikembangkan untuk memecahkan masalah-masalah masa kini dan masa depan. Sardar adalah salah satu tokoh muslim yang memberikan perhatian terhadap konsep syariat. Menurutnya, syariat bisa menjadi solusi dari ketertinggalan umat Islam.

Menurut Quraish Shihab, syariat adalah ketentuan ilahi yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya dalam konteks kegiatan manusia. Kegiatan yang dimaksud bisa dalam hal ibadah murni seperti shalat, maupun non ibadah murni seperti berbuat kebaikan.

Sardar mengatakan bahwa sepanjang sejarah Islam, syariat belum pernah diabaikan, disalahpahami, dan disalahtafsirkan sebanyak yang terjadi pada masa sekarang. Kalimat ini ditulis oleh Sardar pada sekitar tahun 1985. Syariat sekarang banyak digunakan untuk membenarkan penindasan dan kelaliman, ketidakadilan, dan penggulingan kekuasaan.

Kontekstualisasi Syariat

Sehingga harus ada kontekstualisasi syariat agar mampu menjadi pemecah masalah bagi kemunduran umat Islam. Para ulama klasik telahh membuat fatwa dan alat untuk mengambil fatwa secara praktis dalam merespon permasalahan yang timbul di masa mereka.

Begitupun dengan ulama hari ini, seharusnya melakukan hal yang serupa. Misalnya, syariat harus menjawab tantangan populasi penduduk yang membludak. Kasus ini tidak terjadi di masa klasik, melainkan terjadi di era modern ketika jumlah manusia yang tinggal di muka bumi semakin banyak.

Baca Juga  Manusia yang Dikhususkan dengan Kata An-Nas dalam Al-Qur’an

Contoh lainnya, syariat juga harus menjawab tantangan nuklir, perubahan iklim, kecerdasan buatan, industrialisasi, dan lain-lain. Dalam hal ini, Buya Syafii menyindir dengan sindiran yang sangat keras. Buya menulis:

“Para ulama pun sibuk dengan ajaran-ajaran normatif yang tergantung tinggi di langit, sedangkan massa muslim yang berserakan terkapar di muka bumi. Mereka kehilangan kompas dan sebagian besar hidup dalam lautan kemiskinan dan kesengsaraan. Pesan-pesan Alquran sudah dianggap sebagai angin lalu saja oleh bangsa-bangsa kaya di kalangan umat Islam yang suka sekali bersengketa.”

Di zaman sekarang, penelitian konsep istislah dapat menuntut syariat pada perundang-undangan tentang pelestarian lingkungan, perlindungan kekayaan budaya, peraturan kesehatan dalam industri, peranan media, persoalan buruh, perlindungan data pribadi, dan lain-lain.

Mengingat luasnya aspek syariat ini, ia tidak boleh direduksi menjadi persoalan jenggot dan cadar semata. Ia harus berdimensi luas dan memberikan dampak secara riil. Bahwa persoalan keumatan seperti kemiskinan dan kebodohan adalah lebih penting daripada perdebatan mengenai isbal dan batasan jilbab.

Menyikapi Tradisi Klasik

Agar syariat bisa berfungsi dengan baik, maka ia harus dilepaskan dari kacamata tekstual dan literal yang selalu merujuk ke tradisi klasik. Benar bahwa tradisi klasik harus dirawat, namun itu saja tidak cukup. Di sisi lain, ia juga harus dilepaskan dari pandangan yang inferior terhadap Barat. Mengukur kemajuan dan kebaikan dengan ukuran Barat.

Para imam mazhab menggunakan aturan-aturan hukum untuk memecahkan masalah yang ada. Mereka memberikan pandangan tanpa rasa takut dan hanya mementingkan kebenaran sebagaimana yang mereka lihat. Inilah sebabnya mengapa sebagian pandangan mereka bertentangan dengan penguasa. Hal tersebut membuat mereka harus mendapatkan siksaan yang begitu berat.

Baca Juga  Islam dan Tradisi dalam Surah Al-A’raf Ayat 199

Namun, fatwa-fatwa mereka tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi ketentuan yang tidak dapat berubah, atau satu-satunya pandangan resmi agama. Para imam besar itu tidak pernah meniatkan pandangan mereka sebagai hukum yang kekal. Karena hal tersebut sama saja dengan menyatakan diri memiliki kekuasaan ilahiah.

Ulama-ulama sekarang yang memberi legalitas abadi pada pandangan mereka, dan mencari jawaban-jawaban bagi permasalahan modern melalui pemikiran mereka, dan tidak mencari dari sumber syariat, merupakan tanda kemunduran intelektual. Bahkan, dengan sangat keras Sardar mengatakan bahwa meskipun itu seolah-olah adalah penghargaan terhadap tradisi klasik, namun sejatinya hal tersebut adalah penghinaan terhadap prestasi ulama terdahulu.

Dalam beberapa hal, penggunaan syariat sebagai pemecah masalah di era modern ini sudah berjalan, terutama dilakukan oleh umat Islam moderat. Namun, tentu masih banyak umat Islam yang, misalnya, menganggap syariat hanya berbicara tentang hukum Islam, menganggap bahwa perjuangan memajukan peradaban tidaklah penting, mengutamakan akhirat dan meninggalkan dunia sepenuhnya, dan lain-lain.

Maka, agar umat Islam bisa menjadi khoiru ummah sebagaimana nubuat dalam Alquran, umat Islam harus merespon kemajuan, bergumul dalam perjalanan sejarah, dan secara aktif melakukan penguatan dalam tradisi keilmuan yang salah satunya berupa ijtihad.