Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Wajah Spiritualitas Masyarakat Modern

Wajah spiritualitas masyarakat modern
Sumber: https://elearning.alberts.edu.in/

Dimensi spiritualitas saat ini sedang digandrungi oleh masyarakat secara luas. Ketertarikan terhadap spiritualitas ini ditandai dengan tingginya minat masyarakat, khususnya masyarakat modern perkotaan. Mereka berbondong mengikuti berbagai kegiatan yang berhubungan dengan spiritualitas.

Menurut August Comte, semakin modern sebuah masyarakat maka agama seharusnya semakin ditinggalkan. Namun realitas justru sebaliknya, dalam kompleksitas kehidupan modern, masyarakat justru semakin haus terhadap nilai-nilai spiritualitas.

Fenomena semacam ini oleh Harvey Cox disebut sebagai turning east. Sebuah telaah kritis tentang dinamika kebangkitan spiritualitas yang sedemikian pesat. Spiritualitas ternyata tidak harus selalu berkaitan dengan Tuhan. Pada spiritualitas model ini, spiritualitas hanya berfungsi sebagai pelarian psikologis, obsesi, dan kebutuhan ruhaniah sesaat.

Maka yang muncul adalah usaha untuk menjadikan spiritualitas bukan sebagai bagian integral dari kehidupan, tetapi sekedar pemuasan rasa ingin tahu. Dan sebagai terapi atas beragam persoalan hidup yang kian rumit. Pada kondisi semacam ini, esensi dan hakekat spiritualitas bukan lagi menjadi persoalan yang penting.

Bagi para konsumen spiritualitas ini, hal yang penting adalah tujuan mereka tercapai. Mereka tidak memperdulikan akan kemana orientasi spiritualitas yang digelutinya, apa rujukan agamanya, dan seperti apa relasinya dengan Tuhan. Bahkan, Tuhan pun bukan lagi hal yang penting bagi mereka.

Spiritualitas: Dimensi yang Terdistorsi

Pada hakekatnya, spiritualitas agama dan kemanusiaan universal bermula dari akar yang sama. Yaitu kesetiaan pada hati nurani sendiri sebagai penjelmaan dari pimpinan Tuhan yang ada dalam dirinya sendiri dan sebagai cerminan dari fitrah. Sebagaimana ditegaskan Daniel Bell, problem mendasar di era modern adalah problem keyakinan, atau spiritualitas.

Krisis ini bermuara pada epistemologi modernitas yang menggeser, bahkan mencabut realitas Ilahi sebagai fokus bagi kesatuan dan arti kehidupan. Dalam kemodernan, realitas Ilahi tidak lagi dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan tentang koherensi dan arti dunia.

Baca Juga  Memuhammadiyahkan Rizieq Shihab

Modernitas menempatkan ruh dalam kondisi yang buruk. Sebab yang lebih diutamakan adalah tubuh dan materi. Kondisi ruh yang buruk ini disebabkan oleh tiga faktor mendasar.

Tiga Faktor Modernitas Bagi Ruh

Pertama, modernitas yang diawali dengan prinsip “saya berpikir maka saya ada” (Descartes) akhirnya berubah menjadi “saya berproduksi maka saya ada”. Yang di akhir abad ke dua puluh bermetamorfosis menjadi “saya berbelanja maka saya ada”. Hal yang diutamakan adalah bagaimana saya “memiliki” lebih banyak (to have), bukan bagaimana saya “menjadi” orang yang lebih berkualitas dan lebih bermakna (to be). Sehingga, ruh tidak mendapat perhatian.

Kedua, kehidupan modern menekankan aktivisme berlebihan. Orang harus bekerja secara efektif dan eflsien. Ukurannya adalah menghasilkan uang berapa. Tidak boleh ada waktu senggang yang percuma dan tidak produktif. Etos ini mengakibatkan ruh jarang mendapatkan kesempatan tampil. Orang tidak punya waktu untuk merenung dan berkontemplasi. Bahkan yang lebih ironis, orang mungkin takut untuk memasuki kesendirian dan kesunyian.

Ketiga, dulu ruh ditampung dan disalurkan oleh agama. Di zaman modern, banyak orang yang kehilangan kepercayaan kepada agama dan kecewa dengan gambaran tentang Allah yang tradisional. Maka, ruh manusia mengembara dan pada umumnya mereka menemukan rumah baru dalam fenomena “seni”. Museum dan galeri menjadi semacam tempat sakral. Di mana orang bisa berdialog dengan pencapaian ruhani yang bermutu dalam karya para seniman besar. Seni menjadi wilayah kuasi religius. Seni adalah inner-perception of reality atau dematerialization of reality.

Prostitusi Spiritualitas

Kuatnya arus kapitalisme menjadikan segala sisi kehidupan manusia sekarang ini berada dalam kendali imaginasi konsumtif. Segala hal berada dalam konstruksi orientasi kepuasan. Berbagai ragam paket komersial terus hadir setiap saat, dalam segala formula, lewat beragam media, tanpa mampu untuk dihindari.

Baca Juga  Sukses Tapi Tidak Bahagia, Bagaimana Pandangan Al-Quran?

Nafsu mengonsumsi terus menerus “dipupuk” dan ditawari tanpa pernah ada jeda. Maka, batas konvensional konsumtif akan terus menerus terdesak. Mengonsumsi bukan lagi karena kebutuhan, tetapi sudah melangkah lebih jauh melampaui hal-hal yang bersifat fisik-material.

Pada titik inilah, fenomena merebaknya aneka ragam olah dan formula spiritualitas menemukan penjelasannya. Fenomena maraknya spiritualitas yang sekarang ini sangat marak, ternyata tidak hanya merupakan fenomena kebutuhan esensial kemanusiaan. Tetapi bisa juga merupakan bagian dari the dream world of consumer.

Kondisi ini mencuatkan keinginan untuk mengonsumsi pengalaman-pengalaman pribadi yang baru. Termasuk pertemuan-pertemuan benuansa spiritual yang belum pernah dialami. Padahal, spiritualitas dalam formula semacam ini telah menjadi komoditas yang sewaktu-waktu dibutuhkan, tapi bisa jadi di lain waktu ditinggalkan.

Dalam kondisi semacam ini, sangat mungkin spiritualias akan mengalami “prostitusi”. Tatkala terjadi komersialisasi karena visi religius yang paling esensial telah digadaikan. Padahal, visi ini sesungguhnya mengandaikan kesatuan transenden dari segala hal yang memerlukan pengorbanan ego manusia.

Dalam konsepsi ajaran agama Islam misalnya, dimensi spiritualitas adalah dimensi yang sangat penting. Menelusuri dan menjalani kehidupan spiritual Islami dilakukan dalam kerangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Usaha ini tidak mungkin ditempuh secara instan, tetapi harus terus menerus dilakukan sepanjang hidup. Selain itu, para penempuh jalan spiritual ini juga harus membersihkan jiwanya dari segenap orientasi keduniaan.

Penyunting: Ahmed Zaranggi Ar Ridho