Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Nasionalisme Indonesia: Cinta Tanah Air Perspektif Kiai Shaleh Darat

Sumber: istockphoto.com

Wawasan kebangsaan bagi masyarakat Indonesia, spesifiknya umat Muslim, menjadi fondasi sentral sekaligus memiliki peranan penting dalam menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa dalam bingkai NKRI. Bangsa Indonesia mengalami alur kesejarahannya yang terbilang cukup positif dalam membangun jiwa kebangsaannya. Spirit nasionalisme kaum nasionalis dan religius di masa pra-kemerdekaan inilah yang selanjutnya menjadi sebuah gagasan Nasionalisme cinta tanah air Indonesia.

Nasionalisme sendiri berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Kata padanan bangsa dalam terminologisnya memuat dua pengertian, sosiologis dan politis. Dalam terminologi sosiologis, bangsa diartikan sebagai suatu masyarakat yang merupakan persekutuan hidup yang berdiri sendiri; dan masing-masing anggota masyarakat tersebut merasa satu kesatuan suku, bahasa, agama, sejarah, dan adat istiadat (Amirudin, 1967: 87).

Dalam pengertian politisnya, bangsa adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi. Bangsa dalam makna inilah yang menjadi pokok pembahasan nasionalisme (Badri, 2001: 58). Istilah ini, jika diserap ke dalam bahasa Indonesia memiliki dua pengertian; sebagai suatu paham untuk mencintai tanah air dan bentuk kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa.

Transformasi Nasionalisme Ke Indonesia

Indonesia adalah suatu negara yang heterogen, baik dari suku, budaya, agama, bahasa, dan lain-lain. Di sisi lain, sebagai negara yang sebagian besar masyarakatnya beragama Islam, diskursus perihal relasi antara Islam dan nasionalisme sama tuanya dengan usia kemerdekaan itu sendiri (baca: 78 tahun). Di Indonesia, nasionalisme melahirkan pancasila sebagai sebuah ideologi negara yang vital dan final.

Nasionalisme Indonesia yang berbentuk negara-bangsa dan menganut azas demokrasi sebagai sebuah sistem politik, tidak bertentangan dengan Islam sepanjang tidak melanggar batasan-batasan yang telah ditetapkan dalam agama. Abu A’la Al-Maududi misalnya, pernah menyatakan bahwa setiap individu dalam masyarakat Islam memiliki hak dan kekuasaan sebagai khalifah-Nya. Dalam hal ini setiap individu adalah sama (Al-Maududi, 2004: 54). 

Baca Juga  Belajar kepada Nabi Ibrahim Tentang Memperbaiki Ibadah Shalat

Bahwa kemudian, Indonesia merupakan negara pancasila dimana semua agama dan setiap pemeluknya diperlakukan sama sebagai warga negara Indonesia. Di sisi lain, Indonesia bukanlah negara agama, yang sepenuhnya mendasarkan kepada agama tertentu, sehingga menjadi negara teokrasi. Faktanya, tidak ada agama ekslusif yang harus lebih dominan di antara agama-agama lainnya (Musa, 2014: 96).

Kiai Shaleh Darat dan Tafsir Faidh al-Rahmân

Nama kiai Shaleh Darat (w. 1903 M) sudah tidak asing lagi didengar di khalayak masyarakat luas. Nama lengkapnya, Muhammad Shaleh bin Umar al-Samâranî. Seorang mufasir nusantara abad ke-19 yang hidup pada masa penjajahan Belanda. Salah satu warisan intelektual Islam di Jawa pra-modernisme yang perlu mendapat apresiasi adalah karyanya yang monumental; Faidh al-Rahmân fî Tarjamah Tafsîr Kalâm Mâlik al-Dayyân.

Munculnya kitab tafsir Shaleh Darat ditengarai oleh kegelisahan intelektual, secara khusus, dan kondisi umat Islam Jawa yang masih awam terhadap ajaran kitab suci al-Qur’an. Perhatiannya terhadap masyarakat Muslim awam Jawa telah menumbuhkan keberaniannya dalam mendobrak kelaziman. Yakni dengan vernakulasi serta menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an agar senantiasa membumikan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk.

Selain sebagai seorang mufasir, kiai Shaleh juga merupakan ‘Kiai Bangsa’ yang secara konkret memberikan pelajaran pada masyarakat Muslim Jawa; untuk melawan para kolonial Belanda melalui gerakan kultural dan intelektual. Inspirasi kiai Shaleh ini pada gilirannya menjadi teladan bagi umat Islam dalam mempertahankan NKRI yang tercermin dalam Resolusi Jihad NU pada 22 Oktober 1945 dengan slogan “hubbul wathan minal îmân”.

Cinta Tanah Air Perspektif Kiai Shaleh Darat                     

Secara eksplisit, term nasionalisme tidak begitu disinggung oleh al-Qur’an dengan jelas. Namun secara implisit, kita dapat melacaknya dengan mengkaji berbagai term yang menjadi nilai-nilai daripada nasionalisme itu sendiri, salah satunya ialah nilai cinta tanah air (QS. al-Baqarah [2]: 126). Di sisi lain, kisah-kisah para nabi terdahulu juga menjadi salah satu bukti bahwa istilah nasionalisme ini berkaitan erat dengan ajaran Islam (Wahid, 2015: 20).

Baca Juga  HUT TNI: Melihat Makna Nasionalisme Perspektif Al-Ghalayini

Selanjutnya bisa ditelisik bagaimana terjemahan dan tafsiran cinta tanah air dalam perspektif kiai Shaleh Darat. Kaitannya pada ayat (QS. al-Baqarah [2]: 126), ia menjelaskan; “Nuturno siro ya Muhammad nalikane dungo sopo Nabi Ibrahim, ya Rabbi mugi-mugi Tuan dadosaken niki negoro Mekkah dados negoro kang aman saking poncoboyo, qokht, jadm, baros, lan aman sangking paten pinaten lan maleh mugi Tuan paring rizki ahlu Mekkah sedoyo sangking pepanen buah-buahan, lan paring rizki teng ingkang sampun iman billahi lan iman bil yaumil akhir.”

Terjemahannya, “Katakanlah wahai Muhammad ketika Nabi Ibrahim berdoa, wahai Tuhanku semoga Engkau jadikan negeri Mekkah menjadi negeri yang aman dari pancabaya, qoht, jadm, baros, dan aman dari saling membunuh. Dan semoga Engkau berikan rezeki kepada penduduk Mekkah dari panen buah-buahan; dan berikan kepada orang yang telah beriman kepada Allah dan hari akhir.”

***

Selanjutnya, kata “âminân” dimaknai oleh kiai Shaleh Darat sebagai aman dari lima bencana alam yaitu banjir, gunung meletus, angin badai, gempa bumi, dan tanah gersang. Selain itu, kata “poncoboyo” dalam terjemahan (QS. al-Baqarah [2]: 126) juga kerap ditafsirkan sebagai aman dari penyakit lepra dan saling membunuh (Shaleh, 1893: 252-253).

Dari terjemahan serta tafsiran kiai Shaleh di atas, dapat disimpulkan bahwa terpotret dalam dirinya spirit nasionalisme dalam perwujudan nilai cinta tanah air; dengan mendoakan bangsa Indonesia sebagaimana yang diteladani dari doa-doa Nabi Ibrahim terhadap negeri Mekkah. Tafsirannya yang menggunakan Arab pegon adalah menjadi strategi jitu dalam mengelabuhi para kolonial Belanda pada saat itu. Demikianlah kiai Shaleh dalam mengajarkan prinsip nasionalisme dengan cara memadukan nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan.

Wallahu A’lam.

Editor: An-Najmi 

Baca Juga  Meninjau Kembali Jalan Menuju Sakinah dalam Keluarga