Hukuman mati bagi pelaku murtad (keluar dari agama) adalah salah satu isu yang kontroversial dalam konteks hukum Islam. Berkisar tahun 1970-an, muncul trend baru di kalangan pemuda Kristen Mesir, yaitu masuk Islam dengan melakukan perkawinan dengan wanita Muslimah. Tetapi jika perkawinan tersebut gagal, maka mereka kembali pada agama mereka semula, yang berarti murtad dari agama Islam. Hal ini memicu pro-kontra di kalangan tokoh tokoh Islam Mesir. Karena kitab-kitab fiqih menyatakan hukuman bagi orang murtad adalah hukuman mati.
Peristiwa murtad juga muncul pada tahun 1989 ketika Salman Rusdi menerbitkan bukunya, The Satanic Verse. Tak lama setelah itu, Iran mengumumkan pemberian hadiah bagi siapa saja yang dapat menangkapnya hidup ataupun mati. Karena bukunya itu merupakan pernyataan kemurtadannya. Sementara pada tahun 2006, di Afghanistan muncul pula seseorang yang mengaku murtad dari Islam. Jika tidak karena presiden saat itu langsung turun tangan membelanya atas nama kebebasan beragama, hukuman mati sudah dijatuhkan.
Seseorang dikatakan murtad karena telah keluar dari agama yang sebelumnya ia peluk. Istilah ini digunakan untuk menjelaskan bahwa muslim yang beriman sejatinya sedang menghadap Allah, berjalan untuk mendekatkan diri pada-Nya. Ketika ia riddah atau murtad, maka ia berputar balik dan membelakangi jalan yang ia tempuh untuk mencapai Allah itu. Orang itu disebut murtad dan perbuatannya disebut riddah. Di kalangan Islam, munculnya persoalan murtad ini telah menggerakkan kembali perdebatan-perdebatan yang ramai di seputar hukuman bagi pelaku murtad.
Pandangan Ulama Klasik
Adapun salah satu pandangan dari ulama klasik terkait hukuman mati bagi pelaku murtad adalah pandangan yang disampaikan Imam Malik ibn Anas. Imam Malik berpendapat bahwa pelaku murtad harus diberikan hukuman mati. Sebagai bentuk penghukuman atas pengkhianatan terhadap agama Islam dan komunitas Muslim. Imam Malik berargumentasi bahwa pelaku murtad telah dengan sengaja meninggalkan ajaran Islam setelah sebelumnya memeluknya. Menurutnya, ini adalah tindakan serius yang mengganggu stabilitas masyarakat muslim dan melanggar perjanjian yang dimiliki setiap Muslim dengan Allah SWT.
Dalam pandangan Imam Malik, hukuman mati bagi pelaku murtad adalah upaya untuk mempertahankan integritas agama. Serta melindungi komunitas muslim dari pengaruh yang merusak.
Sementara menurut Imam Abu Hanifah sanksi bagi perempuan yang murtad adalah dipenjara bukan dibunuh. Sedangkan jumhur fuqaha menolak pendapat Abu Hanifah. Mereka sepakat bahwa hukuman mati terhadap orang murtad berlaku bagi pria dan wanita. Konsekuensi hukum secara moral terhadap orang murtad sama dengan orang kafir harbi. Yaitu putus hubungan kemasyarakatan secara totalitas, termasuk hubungan suami istri, pertalian darah, dan pembagian harta warisan. Tidak boleh saling mewarisi antara anak dengan ayah, ibu, suami dengan istri karena ada perbedaan agama.
Hadis tentang Murtad
Salah satu hadis yang sering dijadikan acuan dan dasar oleh ulama fikih klasik terkait hukuman mati bagi pelaku murtad adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari melalui Abdullah ibn Abbas:
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ مُحَمَّدُ بْنُ الْفَضْلِ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عِكْرِمَةَ قَالَ أُتِيَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِزَنَادِقَةٍ فَأَحْرَقَهُمْ فَبَلَغَ ذَلِكَ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ لَوْ كُنْتُ أَنَا لَمْ أُحْرِقْهُمْ لِنَهْيِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُعَذِّبُوا بِعَذَابِ اللَّهِ وَلَقَتَلْتُهُمْ لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’man Muhammad bin Fadhl telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Ikrimah mengatakan, beberapa orang Zindiq diringkus dan dihadapkan kepada Ali radliallahu ‘anhu, lalu Ali membakar mereka. Kasus ini terdengar oleh Ibnu Abbas, sehingga ia berujar; ‘Kalau aku, aku tak akan membakar mereka karena ada larangan Rasulullah SAW yang bersabda: “Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah,” dan aku tetap akan membunuh mereka sesuai sabda Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam: “Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah!”
Berdasarkan bunyi hadis di atas kalau dimaknai secara tekstual maka akan memberikan kesan bahwa agama Islam tidak memberi toleransi terhadap pelaku murtad. Hadis ini juga masih menjadi pertanyaan bagi sebagian kalangan. Benarkah hukum Islam seperti itu? Apakah hadis di atas tidak bertentangan dengan maqasid asy-syariah (tujuan-tujuan syariah)? Yakni mencegah kerusakan dan menciptakan kemaslahatan bagi umat manusia.
Namun berbeda dalam fikih kontemporer. Terdapat variasi pandangan yang lebih luas mengenai hukuman mati bagi pelaku murtad. Beberapa ulama dan pemikir fikih kontemporer mengkritik dan mengajukan argumen baru terkait dengan hukuman ini. Mereka berpendapat bahwa seseorang harus memiliki kebebasan untuk memilih agama mereka sendiri. Sejalan dengan prinsip-prinsip kebebasan beragama yang dijamin oleh hukum internasional. Mereka berargumen bahwa sanksi sosial dan pendekatan pendidikan lebih tepat dalam menangani masalah murtad. Daripada hukuman mati yang dianggap melanggar hak asasi manusia.
Penolakan Syekh Yusuf Qardhawi pada Hukuman Mati Pelaku Murtad
Pandangan dari salah satu tokoh fikih kontemporer terkait hukuman mati bagi pelaku murtad adalah pandangan yang diungkapkan Syeikh Yusuf al-Qardhawi. Ia menolak hukuman mati bagi pelaku murtad. Ia berpendapat bahwa Islam menegakkan kebebasan beragama dan menghormati pilihan individu dalam menjalankan agama mereka. Menurutnya, hukuman mati bagi pelaku murtad bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama yang dijamin oleh Islam.
Syeikh al-Qardhawi berargumen bahwa hukuman mati tidak efektif dalam mengatasi fenomena murtad. Sebaliknya ia lebih memperomosikan dialog, pendidikan dan pemahaman yang lebih baik terhadap ajaran Islam. Sebagai cara untuk mencegah murtad dan memperkuat iman individu. Syeikh al-Qardhawi juga menekankan pentingnya perlindungan terhadap hak asasi manusia dan menghormati pilihan individu dalam menjalani keyakinan agama mereka.
Pandangan Syeikh Yusuf al-Qardhawi mencerminkan pandangan beberapa ulama dan pemikir Islam kontemporer yang menekankan pentingnya kebebasan beragama, hak asasi manusia, dan pendekatan yang lebih inklusif dalam menangani murtad. Pandangan ini mencerminkan perubahan dalam masyarakat muslim yang semakin terbuka dan pluralistik. Di mana perlindungan hak individu menjadi nilai yang penting dalam interpretasi hukum Islam.
Menurut Mohammad Hashim Kamali, tindakan pindah agama semata tidak dengan sendirinya membawa konsekuensi hukuman mati. Faktor utama yang menjadi penentu hukuman ini adalah adanya agresi dan permusuhan si murtad terhadap kaum beriman. Juga kebutuhan untuk menjaga kemungkinan munculnya penghasutan melawan agama dan negara. Kesimpulan ini didasarkan pada banyaknya ayat-ayat al-Quran yang melarang paksaan dalam beragama.”
Pembagian Riddah Menurut Al-Jabiri
Pendapat yang berbeda dari ulama di atas dikemukakan oleh kelompok liberal modern, antara lain, diwakili oleh Muhammad ‘Abîd al-Jâbirî. Menurut pendapatnya, pengertian riddah dibagi kepada dua macam, yaitu: pertama, semata-mata murtad berpindah agama, tanpa melakukan provokasi kepada muslim lainnya untuk berpindah agama dalam arti berpindah keyakinan agama dari Islam kepada agama lain. Tetapi tidak melakukan permusuhan kepada Islam dan kaum muslimin. Kedua, perbuatan pindah agama yang diiringi dengan sikap melawan pemerintahan Islam dan kaum muslimin. Menurut al-Jabirî, hukuman terhadap bentuk murtad yang pertama adalah hukuman di akhirat, dan tidak ada hukuman yang bersifat duniawi.
Sebagaimana disebutkan pada penjelasan di atas, Al-Quran jelas memberikan kebebasan beragama kepada manusia. Pemberian hukuman kepada mereka yang ingin memeluk Islam atau tidak merupakan hak Allah. Hal inilah yang sering menjadi permasalahan ketika kita dihadapkan dengan beberapa ayat Al-Quran atau hadis nabi yang membolehkan membunuh orang yang meninggalkan Islam. Hampir di seluruh kitab fikih besar, tampaknya para ulama sepakat untuk hukuman mati bagi pelaku pindah agama. Dan ini juga yang menuai kritik bagi para sarjana muslim modern.
Penyunting: Bukhari
Leave a Reply