Dalam rangka Dirgahayu TNI (Tentara Nasional Indonesia) bertepatan pada tanggal 5 Oktober 1945-05 Oktober 2021 ke-76, bersatu, berjuang, kita pasti menang. Agaknya jiwa-jiwa nasionalisme yang ditanamkan oleh panglima besar Jendral Soedirman perlu dihidupkan kembali. Jiwa nasionalisme Jendral Soedirman sungguh sangat terpatri melalui kata-kata semangat nasionalismenya, sebagai berikut: ‘”Robek-robeklah badanku, potong-potonglah jasad ini. Tetapi jiwaku dilindungi benteng merah putih. Akan tetap hidup, tetap menuntut bela, siapapun lawan yang aku hadapi’’
Namun, apakah makna dari nasionalisme itu? Karena saya merasa amat heran, melebihi keheranan saya terhadap orang yang mengaku memiliki jiwa nasionalisme dan mengklaim, bahwasanya dia telah berkorban dengan darah serta hartanya demi negara. Namun justru orang tersebut, nyatanya ingin merusak benteng-benteng ketahanan negara, melalui tindakan yang seenaknya sendiri. (Al-Ghalayini, 2000, p. 116)
Tidak semua orang yang menganjurkan spirit nasionalisme itu berjiwa nasionalisme sejati. Jangan percaya mereka nasionalis sebelum melihat dengan mata kepalamu sendiri, bahwa benar dia telah mengerjakan sesuatu yang menghidupkan negara; mengorbankan segala sesuatu yang berharga yang dimilikinya demi kemajuan negara. Serta berusaha bersama-sama untuk menjunjung tinggi nilai-nilai martabat negara, dan berusaha keras membersamai kawan seperjuangan untuk membela negaranya. (Al-Ghalayini, 2000, p. 117)
Dan adapun orang-orang yang berupaya mengerjakan sesuatu yang mampu melemahkan power (kekuatan) negara dan mematahkan sendi-sendinya, maka sungguh orang tersebut masih jauh dengan apa yang disebut dengan nasionalis. Walaupun orang tersebut telah berteriak-teriak dengan suara lantang yang mampu didengar ke seluruh pelosok negeri, dan berulang-ulang kali mengungkapkan:‘’Saya adalah orang yang nasionalis tulen’’ (Al-Ghalayini, 2000, p. 117)
Nasionalisme Perspektif Syekh Musthafa Al-Ghalayini
Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengutip pandangan Musthafa Al-Ghalayini perihal apa itu makna daripada nasionalisme. Penulis mengutip dari kitabnya Izhatun Nasyi’in, berikut penjelasanya:
اَلْوَطَنِيَّةُ الحَقُّ هِيَ حُبُّ إِصْلَاحِ الْوَطَنِ , وَاسَّعْيُ فِى خِدْمَتِهِ . وَالْوَطَنِيُّ كُلُّ الْوَطَنِيُّ مَنْ يَمُوْتُ لِيَحْيَ وَطَنَهُ ,وَيَمْرَضُ لِتَصِحَّ أُمَّتَهُ
Nasionalisme yang sejati adalah kecintaan berusaha untuk kebaikan negara dan bekerja untuk demi kepentinganya, sedangkan seorang nasionalis tulen adalah orang yang rela mati demi tegaknya negara dan rela sakit demi kebaikan rakyatnya. (Al-Ghalayini, 2000, p. 117)
Menanamkan Nasionalisme Melalui Surah At-Taubah Ayat 122
Apa yang didefinisikan Musthafa Al-Ghalayini dalam kitabnya Izhatun Nasyi’in perihal makna nasionalisme sebenarnya diajarkan juga dalam Al-Quran sebagai pedoman ummat Islam, khususnya dalam surah At-Taubah ayat 122:
‘’Maka, apakah tidak lebih baik, suatu jama’ah dari tiap-tiap golongan mereka itu berangkat mempelajari fiqih dan hukum-hukum agama,serta untuk mengingatkan kaumnya bila mereka(Nabi dan sahabat) telah kembali kepada mereka, supaya kaumnya itu takut (melanggar hukum-hukum Allah SWT)’’ QS. At-Taubah [9]:122
Dalam ayat ini tutur Teungku Muhammad Hasby Ash-Shidiqiey dalam tafsirnya Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur , diberikan sebuah rambu dan juga Isyarat, sebagai berikut:
Pertama, ayat ini memberikan sebuah rambu bahwa kita diwajibkan melakukan jihad semesta, apabila Rasulullah SAW telah menggerakkan kita untuk pergi, demikian juga apabila kepala negara. Yaitu dalam hal ini Presiden sebagai penglima tertinggi negara.
Kedua, ayat ini juga memberikan sebuah isyarat tentang kewajiban perihal tafaqquh fiddin (memperdalam ilmu agama) dan memahami rahasia-rahasinya. Lalu menerapkan ilmu tersebut sebagai petunjuk bagi sesama manusia. (Ashiddieqy, 2000, p. 1760)
Dan menurut hemat penulis, penanaman nasionalisme itu amat kental dalam ayat ini. Sebagaimana Teungku Muhammad Hasby Ash-Shidiqiey, menyatakan bahwa mempelajari ilmu agama sama wajibnya dengan berjihad membela tanah air. Sebab, tanah air itu memerlukan tentara yang membela dan mempertahankanya dengan kekuatan senjata. Serta memerlukan ahli-ahli ilmu yang menyiapkan berbagai policy (kebijakan) dan strategi untuk memajukanya. (Ashiddieqy, 2000, p. 1760)
Tak hanya itu pungkas ulama berasal dari bumi Aceh ini. Bahwa meletakan ayat yang menunjukkan kepada keutamaan ilmu dan perlunya mempelajari akan ayat jihad dan peperangan adalah suatu kemukjizatan Al-Qur’an. Ia memberi sebuah pengertian bahwasanya peperangan itu memerlukan ilmu dan keahlian yang lebih banyak daripada sekedar alat senjata. (Ashiddieqy, 2000, p. 1760)
Dan hal itu seirama dengan Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, ia mengutip sebuah ungkapan ahli-ahli perjuangan, yaitu ‘’The man behind the gun’’ (manusia yang berdiri dibelakang senjata). Artinya bahwasanya bukanlah senjata yang menentukan dan memutuskan, melainkan siapa yang berdiri dibelakang senjata itu. (Hamka, 2001, p. 2769).Wallahua’alam
Penyunting: M. Bukhari Muslim
Leave a Reply