Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Tafsir Q.S Ali Imran ayat 28: Larangan Memilih Pemimpin Kafir

Salah satu tema dalam al-Qur’an yang sering dijadikan bahan penafsiran adalah mengenai larangan dalam memilih pemimpin yang kafir. Larangan ini sebagaimana yang terdapat dalam surat ali-Imran ayat 28. Tema ini merupakan tema yang memiliki relevansi dengan kehidupan politik di berbagai negara, terutama di negara yang mayoritas beragama Islam. Pasalnya, pembahasan mengenai larangan memilih pemimpin kafir belakangan ini menjadi pembahasan yang kontroversial. Setidaknya terdapat dua kelompok yang berbeda pendapat mengenai hal tersebut, kelompok pertama yang tidak membolehkan orang kafir menjadi pemimpin, dan kelompok kedua yang memperbolehkan orang kafir menjadi pemimpin. Namun, pendapat kelompok kedua merupakan pendapat yang banyak dianut oleh mayoritas umat Islam.

Pemimpin Kafir Menurut Islam

Pembahasan mengenai boleh tidaknya memilih pemimpin kafir oleh umat Islam merupakan salah satu fenomena yang telah dibahas mulai zaman klasik hingga sekarang. Pasalnya, hukum pemilihan pemimpin kafir bagi umat Islam menjadi hal yang diperdebatkan di kalangan ulama dan pengkaji studi politik dari masa ke masa. Secara umum terdapat dua kelompok ulama yang mmeberikan responnya terhadap pembahasan tersebut. Pertama, kelompok yang tidak memperbolehkannya pemimpin kafir untuk diangkat sebagai pemimpin. Kedua, kelompok yang memperbolehkan orang kafir diangkat menjadi pemimpin. Kelompok pertama merupakan kelompok yang paling banyak dianut pendapatnya oleh mayoritas umat Islam.

Di antara ulama kelompok pertama yang tidak memperbolehkan pengangkatan orang kafir sebagai pemimpin; seperti, al-Jassas, al-Alusi, Ibn Arabi, al-Tabari, Ibn Kathir, al-Shabuni, al-Zamakhsyari, al-Shaukani, Sayyid Qutub, dan lainnya. Sementara kelompok kedua yang memperbolehkan pengangkatan orang kafir sebagai pemimpin yakni seperti; Mahmud Muhammad Thaha, Abdullah Ahmad al-Na’im, Tariq al-Bashri, Muhammad Said al-Ashmawi, Asghar Ali Enginer, dan lainnya. Dari kedua kelompok tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat pergeseran paradigma antara ulama abad klasik dan modern. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh latar ruang dan waktu di mana mufasir hidup yang menjadi faktor utama terjadinya perubahan pergeseran pemikiran tersebut. Seperti belakangan ini yang terjadi di sebagian besar negara dengan mayoritas beragama Islam, di mana banyak non-Muslim yang diangkat menjadi seorang pemimpin.

Baca Juga  Nilai Sistem Demokrasi dalam QS Asy-Syura Ayat 37-40

Menurut Quraish Shihab, seorang Muslim ketika ingin menagangkat pemimpin non-Muslim adalah sah-sah saja atau diperbolehkan apabila tidak menimbulkan kerugian. Quraish Shihab memberikan contoh mengenai hubungan bernegara yang pernah dilakukan ketika masa kerajaan Utsmaniyyah, kebanyakan duta-duta besar dan perwakilan di luar negeri dipegaang oleh orang Nasrani. Sedangkan Indonesia sendiri merupakan negara bangsa (nation state) yang tidak mengambil syariah Islam sebagai dasar Negara. Jadi, memilih pemimpin non-Muslim di Indonesia diperbolehkan selama membawa manfaat, tetapi hendaknya memprioritaskan orang-orang yang beriman.

Penafsiran Ayat-Ayat Larangan Memilih Pemimpin Kafir

Pembahasan mengenai larangan memilih pemimpin kafir dalam al-Qur’an dapat ditemukan di al-Qur’an pada surat al-Imran ayat 28,

Surat al-Imran ayat 28

لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُوْنَ الْكٰفِرِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَۚ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّٰهِ فِيْ شَيْءٍ اِلَّآ اَنْ تَتَّقُوْا مِنْهُمْ تُقٰىةً ۗ وَيُحَذِّرُكُمُ اللّٰهُ نَفْسَهٗ ۗ وَاِلَى اللّٰهِ الْمَصِيْرُ

Janganlah orang-orang mukmin menjadikan orang kafir sebagai para wali dengan mengesampingkan orang-orang mukmin. Siapa yang melakukan itu, hal itu sama sekali bukan dari (ajaran) Allah, kecuali untuk menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Allah memperingatkan kamu tentang diri-Nya (siksa-Nya). Hanya kepada Allah tempat kembali.

Quraish Shihab dalam tafsirnya juga menjelaskannya dengan mengemukakan penafsiran lafadz wali yang mempunyai arti yang mengandung makna kedekatan seperti penolong, sahabat kental, seseorang yang mempunyai wewenang untuk menangani urusan, dan lainnya. Lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat ini merupakan larangan untuk kaum muslimin menjadikan orang kafir sebagai penolong mereka. Namun, Quraish Shihab memberikan pengecualian terhadap larangan tersebut, jika ada kemaslahatan dari pertolongan tersebut atau paling sedikit tidak ada kerugian yang dapat menimpa kaum muslimin.

Baca Juga  Politik Sebagai Jalan Mengaktualisasi Ibadah

Menurut Ibnu Kathir, ayat ini berkenaan dengan larangan terhadap orang-orang yang beriman untuk menjadikan pemimpin non-Muslim. Karena menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin sama saja dengan wujud dari cinta umat Islam kepada mereka. Bagi siapa yang melakukan hal tersebut akan medapat azab yang besar. Selain itu, Ibnu Kathir juga menjelaskan bahwa orang yang demikian tidak hanya dilarang untuk dijadikan pemimpin saja, namun juga menjadi teman akrab. Sementara menurut al-Zamakhsyari adanya larangan untuk mengangkat orang kafir sebagai pemimpin adalah sebuah hal yang masuk akal, mengingat orang kafir adalah musuh-musuh Islam dan pada prinsipnya tidak mungkin untuk seseorang mengangkat musuhnya menjadi pemimpin.

Kesimpulan

Kontroversi mengenai hukum memilih pemimpin kafir di kalangan ulama telah terjadi sejak zaman klasik dan berlanjut hingga sekarang. Dari sinilah yang kemudian terbagi menjadi dua kelompok yang memiliki pandangan yang berbeda. Kelompok pertama menolak pengangkatan pemimpin dari golongan orang kafir, kelompok kedua menerima pengangkatan pemimpin dari golongan kafir. Namun, mayoritas umat muslim sepakat dengan pendapat pertama yaitu dilarang untuk mengangkat pemimpin dari golongan kafir. Larangan ini sebagaimana tercantum dalam beberapa surat al-Qur’an seperti pada surat al-Imran ayat 28. Tentunya dari tiap-tiap mufasir memiliki keunikan tersendiri yang berbeda antara mufasir satu dengan yang lain.

Editor: An-Najmi