Konflik atas nama agama sering kali terjadi di kalangan mayoritas maupun minoritas. Bahkan sudah lama konflik ini terjadi karena konflik keagamaan selalu muncul dengan dasar Eklusivitas dan Sensitivitas. Eklusivitas beragama merupakan perasaan umat beragama menganggap dirinya paling unggul di antara umat beragama yang lain. Hal sensitif yang ada dalam produk keagamaan, perkelahian tidak kunjung reda selalu mempermasalahkan sekte atau, ordo, kelompok yang paling unggul memerlukan resolusi konflik.
Padahal agama bukanlah perihal unggul dan mengungguli. Semua agama besar di Indonesia mempunyai visi dan misi dasar yang sama, yaitu mengajarkan perdamaian dan keamanan kepada umatnya. Tetapi konflik keagamaan tersebut bukanlah tidak memiliki nilai positif tetap ada nilai yang terkandung, fungsi tersebut menurut Lewis A Coser, ia percaya bahwa konflik tidak selalu merusak masyarakat. Sebaliknya, konflik memiliki beberapa fungsi penting, seperti memunculkan perubahan sosial yang diperlukan dan menjaga keseimbangan dalam masyarakat. (Jhonson, 1990)
Mengungkap Faktor Konflik Agama
Kita ingat daftar kekerasan massal di Indonesia yang disebabkan oleh perasaan keagamaan, mulai dari peristiwa di Born Bali, Born Hotel JW Marriot, Born Kuningan, Kampus Al-Mubarok, penyerangan di Ahmadiyah Parung hingga diakhirinya kekerasan di Ahmadiyah Parung. Rumah Ibadah Kristiani di Bandung, Jawa Barat. Di beberapa tempat seperti Situbondo, Tasikmalaya, Ketapang, Kupang, Ambon, Poso, Maluku, dan lain-lain, hal ini menyebabkan rusaknya tempat-tempat ibadah seperti masjid, musala, dan gereja yang semakin rusak. (Fransiskus Gulton, 2010)
Setidaknya ada beberapa poin mengapa agama selalu menghasilkan konflik dan perpecahan. Menurut Haryatmoko ada tiga point, yang pertama adalah beralihnya fungsi agama sebagai perekat menjadi ideologi, yang akhirnya menciptakan perebutan- perebutan umat secara politis. Kedua agama sebagai faktor identitas, karena identitas tersebut terkait, kepemilikan, cara pandang, etos. Akhirnya melahirkan sifat egoisme sosial, merasa paling benar satu sama lain. Ketiga adalah sebab legitimasi etis hubungan antar manusia, karena agama terkadang dijadikan kedok topeng palsu kesucian, untuk menindas kelas bawah. Ataupun untuk memanipulasi kepentingan politis para politisi. (Fransiskus Gulton, 2010)
Apakah memang benar selalu? bahwasanya fanatisme buta membawa kelompok beragama dalam tujuan pribadi. Tidak memurnikan ajaran agama, sebagai perilaku, tapi sebagai kompetisi? Apakah benar agama abrahamik mengajarkan hal- hal tersebut. Padahal jika dirujuk agama abrahamik memiliki akar persaudaraan yang kuat. Tapi juga paling banyak kasusnya, terkait konflik ini. Mari kita kaji refolusi konflik dalam Islam.
Resolusi Konflik Islam: Agama Damai
Islam sebagai agama yang menuntun jalan keselamatan. Tapi produk agama selalu memberikan ruang missinterpretasi dikalangan umatnya, seperti Tafsir Al Baqarah ayat 148, yang berbunyi,
وَلِكُلٍّ وِّجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيْهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِۗ اَيْنَ مَا تَكُوْنُوْا يَأْتِ بِكُمُ اللّٰهُ جَمِيْعًاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ١٤٨
Bagi setiap umat ada kiblat yang dia menghadap ke arahnya. Maka, bersiap- siaplah (menghadap Tuhan) kamu dalam berbagai kebajikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS: Al Baqarah: 148)
Ayat di atas sering difahami sebagai fanatisme buta islam, karena memerintahkan umatnya dan umat lainya untuk “berlomba- lomba”, padahal agama bukanlah sebuah perlombaan, menuju paling baik dan benar. Ataupun berlomba- lomba mengejar hal abstrak, seperti pahala dan dosa. Melupakan sisi kemanusiaan yang ada. “Fastabiqu” bukan menunjukan berlomba- lomba, tapi bersiap- siap yang artinya semua umat mempersiapkan kebajikanya dihadapan Tuhan dan manusia. Ayat tersebut sangatlah toleran. Tetapi para mubaligh yang minim pengetahuan agama islam selalu mendakwahkan yang tidak pass di kalangan masyarakat awam.
Islam sebagai jalan moderat, seharusnya meminimalisir konflik keaamaan yang ada. Dengan konsepnya, mengakui adanya agama lain merupakan bagian dari perintah Allah (QS.109:1-6). Sikap seperti ini dapat digolongkan dalam pluralisme. Pluralisme bukan sekedar sikap mengakui hak agama lain untuk hidup, namun juga kesediaan untuk memperlakukannya secara adil, berdasarkan pengutamaan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki (QS.60:8). (Wibisono Yusuf, 2020)
***
Kemudian terkadang konflik beragama muncul di islam sendiri karena munculya standarisasi kesalehan setiap kelompok. Dan melahirkan kelompok baru sesuai standartnya. Islam padahal mengajarkan hal sederhana, apa yang dikerjakan untuk kita juga untuk manusia. Tidak menurut standart siapa untuk melakukan kebajikan dan kebaikan. Semuanya diawali dengan niat pribadi dalam pemeluknya. Islam adalah agama kebahagiaan, karena dari kesederhanaanya seharusnya umatnya mengetahu banyak hal dan makna. Bukan menjunjung tinggi semangat eklusivisme, merasa paling benar dikalangan kelompok lain. Padahal Tuhan sudah berfirman, dalam Surah Yunus 99 yang berbunyi
وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَاٰمَنَ مَنْ فِى الْاَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيْعًاۗ اَفَاَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتّٰى يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ ٩٩
Seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah semua orang di bumi seluruhnya beriman. Apakah engkau (Nabi Muhammad) akan memaksa manusia hingga mereka menjadi orang-orang mukmin? (QS Yunus: 99)
Artinya Tuhan tidak memaksa kita untuk menerima semua ajaranya, ia mengajarkan untuk bertoleransi kepada setiap umat yang ada. Ketika al-Nawawi menafsirkan ayat 99 surat Yunus. Ia mengatakan bahwa boleh jadi seluruh umat manusia beriman sehingga mempunyai iman yang sama, kecuali Allah SWT menginginkannya. Oleh karena itu, menurut al-Nawawi, manusia tidak berhak memaksa seseorang yang berbeda keyakinan untuk beriman kepada-Nya. Karena pada dasarnya manusia tidak mempunyai qudra untuk berpindah keyakinan tanpa bimbingan-Nya. (Zamawi Baharudin, dkk, 2019)
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.