Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Memahami Perayaan Natal di Indonesia Lewat Buya Hamka

natal
Sumber: https://muhammadiyah.or.id/

Bagaimana sejarah munculnya hari Natal? Bagaimana tanggapan ulama atas ada fenomena perayaan hari raya yang berbeda dengan dianutnya? Apakah mengkuti dan menghadiri perayaan termasuk moderasi atau toleransi beragama?

Fenomena Natal dan Tahun Baru di Indonesia

Pergantian tahun juga dibarengi dengan peringatan Natal pada tanggal 25 Desember. Natal, berarti kelahiran adalah hari raya umat Kristen yang diperingati setiap tanggal 25 Desember untuk memperingati hari kelahiran Yesus Kristus. Natal diperingati pada kebaktian malam tanggal 24 Desember dan kebaktian pagi tanggal 25 Desember. Kata Natal diserap dari bahasa Portugis yaitu Dies Natalis (Hari Lahir).

Pada tahun 1986 adalah tahun polemik ketika Hari Lebaran Idul Fitri berdekatan dengan Hari Natal pada tanggal 1-2 Januari dan 21-22 Desember. Fenomena ini mengakibatkan beberapa instansi pemerintah menyelenggarakan dua perayaan secara serempak. Fenomena tersebut termasuk langka, dimana merayakan hari raya yang berbeda agama tetapi pelaksanaan perayaan yang berjarak beberapa hari saja.

Pandangan Buya Hamka

Almarhum Prof. Dr. KH. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) mengkritik “Lebaran-Natal” sebagai awal polemik fatwa MUI sebagai mediator antar ulama dan pemerintah. Tidak hanya itu, mengkritik fatwa Haramnya Perayaan Bersama, buah dari kritik terhadap doa.

Kritik terhadap “perayaan doa” yang muncul di televisi yang ditampilkan dimana para pejabat muslim menghadiri perayaan menyalakan lilin dan beridiri menyanyikan lagu Natal.

Untuk membentengi aqidah umat, maka munculah Fatwa MUI pada 7 Maret 1981 mengeluarkan fatwa Perayaan Natal Bersama hukumnya haram bagi umat Islam yang mengikuti perayaan.

Memenuhi Undangan Boleh, Tapi tidak ikut Ritual. Fatwa ini menjadi klarifikasi oleh umat Islam yang sebelumnya banyak perbincangan. Di fatwa itu, yang ditanda tangani oleh Ketua Komisi Fatwa MUI dan Sekretaris yang melansur bahwa fatwa itu sebagai menjalin dan menjaga kerukunan hidup beragama. Dalam SK iu juga klarifikasi bahwa perayaan antar agama adalah wajar, kecuali peribadatan yang ritual maka tidak boleh mengikut perayaan. Yang dilansir disini adalah tidak apa mengikuti semata-mata hanya menghormati upacara yang bersifat seremonial.

Baca Juga  Tafsir Resolusi Konflik: Mengapa Umat Beragama Selalu Berkonflik?

Hukum Mengucapkan Selamat Natal

Apakah mengucapkan Selamat Hari Natal hukumnya haram? Anak Buya Hamka (Irfan Hamka) membantah fatwa tersebut bahwasanya ketika Buya Hamka pernah mengucapkan selamat natal kepada penganut agama Kristen saat tinggal bersadingan dengan tetanggannya yang penganut Kristiani.

“Selamat, telah merayakan Natal kalian,” kata Irfan anak Buya Hamka

Begitu sebaliknya ketika Kami merayakan Idhul Fitri, tetanggannya pun mengucapakan selamat Hari Raya Idhul Fitri. Ujar Irfan ketika diwawancarai terkait fenomena fatwa mengucapkan selamat hari natal.

Menteri Agama, Alamsjah Ratu Prawiranegara mengeluarkan Surat Edaran tanggal 2 September 1981 tentang Penyelenggaraan Peringatan Hari-Hari Besar Keagamaan yang menjelaskan tentang halnya peribadatan atau ada unsur peribadatan maka hanya pemeluk agama tersebut yang hanya bisa menghadirinya, tetapi dalam perayaan yang tidak ada unsur ibadat maka dapat dihadiri pemeluk agama lain.

Keberagamaan dan Keragaman di Indonesia

Dalam konteks keindonesiaan, pemeluk agama lain meghargai keperbedaan agama yang dianutnya maka dari sinilah muncul strategi yang biasa kita dengar yakni “Moderasi Beragama”

Berbicara moderasi beragama kita akan membicarakan sebagaimana kita bisa menghargai, menghormati, dan bertoleransi tanpa harus ada konflik, maka sudut pandang cara hidup rukun sesama manusia harus dipahami seksama.

Kemanuisaan kita diuji dengan hal-hal yang memperbedakan kita dari segala sudut pandang yang berbeda-beda presepsi atau prespektif. Toleransi beragama yang dikembangkan adalah sadar akan dilandasi oleh perbedaan fundamental agama yang berbeda-beda.

Nah, dari persoalan keimanan. Buya Hamka mengambil posisi yang tidak ragu-ragu terhadap persoalan yang menyimpang dari ajaran Islam. Beliau tegas dalam memberikan respon tehadap batas toleransi. Seperti di dalam karyanya, membahas aliran Baha’iyah dan Ahmadiyah.