Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Dua “Arah Pandang” Keilmuan Hadis yang Harus Diketahui

dua
Sumber: https://www.alalam.ir/

Penelaah dan pengkaji hadis Indonesia tentu familiar dengan tingkatan ṣighat al-tahammul wa al-adā’. Mulai dari istilah “haddaṡana” hingga “’an” memiliki “kasta” tersendiri dalam ilmu muṣṭalāh al-hadīṡ. Namun tidak semua daerah Islam familiar dengan tingkatan-tingkatan periwayatan ini, setidaknya pada tahunn-tahun tertentu. Bukan karena tidak mempelajari, tetapi memang memiliki cara pandang, latar belakang, dan perkembangan yang berbeda. Dua daerah ini disebut Masyriq dan Maghrib. Pada perkembangannya, daerah masyriq cenderung memiliki aturan baku dalam penukilan dan penerimaan riwayat, sementara daerah maghrib cenderung  longgar dan tidak menetapkan aturan tertentu. Sehingga perkembangan hadis di maghrib akan terlihat pada syarah yang masif sementara masyriq akan terlihat pada kriteria pembuktian otentisitas hadis.

Mengapa Perbedaan Ini Terjadi?

Istilah masyriq dan maghrib sendiri mulai terbentuk semenjak Daulah Umayyah II di Andalusia dan Abbasiyah di Baghdad. Kedua daulah ini membentuk peradabannya dalam berbagai hal, termasuk perkembangan ilmu pengethauan. Dinasti Umayyah II kemudian disebut daerah maghrib dan Abbasiyah disebut masyriq. Awalnya mayoritas penduduk Andalusia menggunakan mazhab Auza’i, namun ada kontestasi yang terjadi setelah Umayyah membentuk daerah sendiri. Tidak hanya dalam hal politik, kontestasi ini juga terlihat dari para ulama yang mulai kebingungan mencari legalitas keilmuan. Hal ini dikarenakan daerah yang menjadi pusat Auza’i telah melakukan rekonsiliasi dengan Abbasiyah. Sehingga Madinah menjadi pilihan untuk legalitas ilmu agar tidak terlibat dan tercampur dengan Daulah Abbasiyah.

Selain pertimbangan wilayah, Madinah yang menganut Mālīkiah juga menjadi alasan. Lantaran mazhab Auza’i dan Mālīki memiliki kesamaan dalam hal  tekstualitas. Sehingga tidak banyak penyesuaian yang  harus dilakukan. Hal ini membuat Mālīki menjadi mazhab resmi Daulah Umayyah II karena mazhab Auza’i dianggap tidak layak secara politik.

Layaknya perkembangan sebuah daerah taklukan Islam, fikih adalah hal utama yang  harus disebarluaskan. Sehingga pada fase ini terjadi taqlid dan pemahaman pasif terhadap Muwatha’. Hukum atau pendapat yang dirumuskan tidak berdasarkan Muwatha’ adalah ilegal. Sehingga proses syarah yang terjadi berporos pada syarah Muwaṭṭa’, hāsyiyah, bahkan opini dari opini terhadap syarah Muwaṭṭa’. Karena perkembangan Mazhab Mālīki, ilmu yang berkaitan dengan hadis tidak berkembang pesat. Hal ini dilandasi oleh dua faktor utama. Pertama, meski Muwaṭṭa’ mencakup banyak riwayat, tetapi pada dasarnya kitab ini tidak ditujukan sebgagai sumber hadis, melainkan sumber hukum. Kedua, Imam Mālīk merupakan representasi ahl al-riwāyah pada masa itu. Sehingga tidak  ada perhatian khusus terhadap sanad hadis dalam Muwaṭṭa’. Lantaran ahl al-riwāyah pada saat itu terkenal tasāhul dalam periwayatan.

Baca Juga  Jurusan IAT bukan Jalan untuk menjadi Nabi: Refleksi QS. Al-Isra’[7]: 84

Perkembangan Hadis di Maghrib

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perkembangan di wilayah Maghrib hanya terbatas pada syarah dan hāsyiyah terhadap Muwaṭṭa’. Kitab hadis yang lain juga tidak digunakan, sehingga terjadi kebekuan ilmu saat itu. Suasana politik pun mendukung perkembangan ilmu satu arah ini. Namun dalam perjalanannya, ada beberapa ulama yang juga melakukan rihlah keilmuan hingga ke timur di tengah mayoritas ulama Andalusia yang mencari ilmu ke Madinah. Salah satu yang terkenal adalah  Baqi’ bin Makhlad,  ia juga sempat mendirikan madrasahnya sendiri setelah kembali dari timur. Namun upayanya untuk memperluas keilmuan hadis di maghrib mendapat perlawanan dari pemerintah. Ia bahkan diusir, dipenjarakan hingga wafat dan kitab-kitabnya dibakar lantaran dianggap menyebarkan paham di luar Mālīkiah. Di antara kitabnya yang dibakar adalah Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.

Oposisi yang dilakukan terhadap Baqi’ bin Makhlad tidak hanya datang dari jajaran pemerintahan, tetapi juga fuqaha Malikiyah. Ada sentimen yang terjadi karena Baqi’ bin Makhlad tidak mengambil riwayat Muwaṭṭa’ dari Yahya bin Yahya al-Laiṡī. Seorang ulama Mālikī yang diakui keilmuannya dalam hal Mālikīah. Sentimen ini dipengaruhi oleh gerakan penyatuan dan peleburan paham keagamaan, agar pemerintah dan ulama mudah dalam menangani paham yang menentang negara. Namun hal ini justru menggiring sentimen publik dan egoisme individu. Meski Imam  Mālik merupakan ulama ahl al-riwāyah tetapi ia tetap melakukan kajian hadis hingga menyentuh tahap epistimologi. Berbeda dengan ulama Andalusia pada saat itu yang hanya terfokus pada penggunaan hukum-hukum. Sehingga Mazhab Mālikī mengalami stagnasi. Penyatuan paham dan sentimen ini pada akhirnya mendorong Andalusia kehilangan banyak karya karena dianggap tidak sesuai dengan paham yang berlaku.

Baca Juga  5 Ayat Favorit Untuk Beristighfar di Bulan Ramadan
***

Imam Malik dalam periwayatanterkenal cukup longgar dan tidak memberikan kriteria yang kompleks dalam menerima periwayatan. Dikisahkan bahwa suatu hari ia didatangi oleh seseorang yang membawa Muwaṭṭa’ kemudian berkata: Wahai Aba Abdillah! Ini Muwaṭṭa’mu, aku telah menulis dan menerimanya. Maka ijazahkanlah ia kepadaku”. Lalu Imam Malik membalas “Sungguh engkau telah mendapatkannya”. Ia kembali bertanya “Bagaimana aku meriwayatkannya? Dengan ḥaddaṡanā atau akhbaranā Mālīk?” Lalu Imam Malik kembali menjadwab “Gunakan shigat yang engkau kehendaki”. (al-Ilma’ Ilā ma’rifah uṣūl al-riwāyah).

Perkembangan Hadis di Timur

Jika merujuk pada daerah masyriq, maka akan terlihat perbedaan yang signifikan. Daerah timur mengalami perkembangan pesat dalam ilmu musthalah atau setidaknya merumuskan konsep yang jelas dalam menerima hadis. Hal ini juga tidak dapat dielakan dari pekembangan aliran kalam. Pada awalnya daerah masyriq juga tidak merumuskan dengan jelas kriteria hadis yang dapat diterima. Sehingga periwayatan cenderung longgar. Salah satunya kitab Muṣannaf Ibn Abi Syaibah yang mennganggap guru-gurunya (yang ia ambil riwayat darinya) adil. Namun seiring dengan kritikan ahli kalam tentang ahli riwayah yang mudah menerima hadis, ulama ahli riwayah pun merumuskan kriteria keshahihan.

Awalnya perbedaan pendapat antara ahli kalam dan ahl al-riwāyah ini berpusat pada riwayat-riwayat yang digunakan dalam tafsir bi al-ma’ṡūr. Riwayat dalam tafsir ini dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh ahl al-ra’yi lantaran tidak ada standar khusus dalam penerimaannya, pada masa ini juga muncul istilah “tawātur” dari kalangan Mu’tazilah. Semua riwayat yang dianggap terkait dengan ayat dimasukkan ke dalam tafsir. Kritik Ahl al-ra’yi kemudian memunculkan respon oposisi dari golongan ahl al-riwāyah, hingga dua kubu ini saling mengkritik satu sama lain.

Baca Juga  Mempelajari Kehidupan Nyamuk Sebagai Perumpamaan Al-Qur'an

Di tengah pereseteruan ini muncul kalangan yang mencoba menggabungkan kedua pendapat, salah satunya Imam Syafi’i dan Imam Bukhari. Namun dalam perkembangan hadis Imam Bukhari lebih dikenal lantaran menyeleksi hadis-hadis yang ia terima ke dalam satu kitab shahih dengan patokan khusus (Tafsīr wa Rijāluhu). Gerakan yang dilakukan oleh Imam Bukhari ini kemudian menjadi standar tersendiri dalam ilmu muṣṭalāh al-hadīṡ. Terlepas dari standar ini diterapkan sepenuhnya atau hanya sebagian, aturan ini kemudian dipakai untuk menentukan keshahihan hadis hingga saat ini.

Kesamaan Stagnansi dan Kriteria Keshahihan

Meski memilki perbedaan mendasar dalam penerimaan terhadap hadis, tetapi dua daerah ini memiliki cara pandang “kekakuan” yang sama. Jika di Masyriq terkenal slogan “Kitab yang paling shahih setelah kitābullah adalah Shahih Bukhari” atau “Shahih Bukhari adalah kitab paling shahih di antara kitab shahih yang lain”.  Maka di Maghrib terkenal dengan slogan “lā na’rif illā kitāb allah wa Muwaṭṭa’ Mālik (kami tidak mengetahui kecuali hanya Kitab Allah dan Muwaṭṭa’ Mālik”. Meski berpegang pada dua kitab yang berbeda, dari dua slogan ini dapat dilihat sentimen yang terbangun anatar ulama Masyriq dan Magrib.Tidak hanya itu, tetapi ini juga membuktikan adanya bahwa setiap  daerah memiliki ke-ta’aṣub-annya sendiri terhadap kitab hadis.

Jika di Maghrib kekakuan atau stagnasi terjadi akibat politik dan sentimen mazhab, maka di Masyriq juga terjadi kekakuan berdasarkan sistem baku penerimaan hadis. Terlepas dari standar yang ditetapkan ini membantu pemeriksaan otentisitas hadis,harus diakui bahwa kriteria ini pada akhirnya menyeleksi banyak hadis. Kemudian terjadi sentimen jika tidak meriwayatkan hadis dari Shahih Bukhari. Meskipun dalam prakteknya juga masih banyak ulama yang mencoba melonggarkan kriteria ini dan meriwayatkan hadis dengan lebih variatif. Namun ulama-ulama ini juga tidak lepas dari perbandingan kritikus hadis dari riwayat Imam Bukhari.

Penyunting: Ahmed Zaranggi