Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Beberapa Karakteristik Paradigma Tafsir Kontemporer (2)

Kontemporer
Sumber: tafsiralquran.id

Setelah dijelaskan di tulisan yang sebelumnya tentang beberapa karakteristik yang mewarnai berbagai penafsiran pada masa kontemporer yang berciri khas ilmiah sekaligus non-sektarian, kemudian memperbaharui tujuan dan mengoptimalkan fungsi al-Qur’an dengan fungsi yang sebenarnya. Ternyata ada ciri khas yang lebih menarik lagi dalam paradigma tafsir kontemporer.

Bernuansa Hermeneutis

Jika pada era klasik, di mana penafsirannya lebih menekankan pada praktik eksegetik yang lebih cenderung linier-atomistic dalam menafsirkan al-Qur’an, dan juga lebih menjadikan kitab suci al-Qur’an sebagai subjek. Maka tidak demikian halnya pada era modern dan kontemporer. Paradigma tafsir kontemporer justru cenderung bernuansa hermeneutik dan lebih menekankan pada aspek epistemologis-metodologis.

Mengutip dari perkataan Roger Trigg menyatakan bahwa hermeneutika merupakan suatu role model penafsiran terhadap teks tradisional (klasik). Di mana suatu permasalahan harus selalu diarahkan supaya teks selalu dapat dipahami konteks kekinian yang situasinya pasti berbeda (Hidayat:1996, h. 161)

Mungkin masih banyak dari kita yang belum menemukan titik paham mengapa penafsiran hermeneutik menjadi karakteristik yang cukup menonjol dalam paradigma tafsir kontemporer. Di mana konsep hermeneutik meniscayakan bahwa setiap teks patut untuk dicurigai. Pertanyaan bagi penulis kemudian, apakah ada kepentingan tersendiri atau ideologi apa yang tersimpan di balik penafsiran teks tersebut?

Berbicara tentang model hermeneutis rupanya menjadi trend di era kontemporer. Model pendekatan hermeneutika ini akhirnya menjadi “menu alternatif” dalam kajian tafsir kontemporer. Sebagai rekonstruksi atas pendekatan tafsir yang selama ini dianggap kurang memadai lagi untuk menjawab tantangan zaman.

Konsekuensi dari digunakannya model pembacaan hermeneutis dalam menafsirkan al-Qur’an adalah bahwa kita tidak boleh lagi hanya mengandalkan perangkat keilmuan klasik seperti yang digunakan oleh para mufasir dahulu, seperti ilmu nahwu sharaf, ushul fiqh, dan balaghah. Namun diperlukan juga perangkat ilmu-ilmu lain, seperti sosiologi, antropologi, filsafat ilmu, dan sejarah.

Baca Juga  Implikasi Wakaf (Waqf) Terhadap Penafsiran Al-Qur'an

Motif Pengadopsian Hermeneutika

Dengan demikian, metode hermeneutika yang dikembangkan oleh para mufasir kontemporer sebenarnya tidaklah tunggal, melainkan beragam. Keberagaman ini muncul bukan hanya karena semakin terbukanya umat Islam terhadap gagasan-gagasan yang berasal dari luar. Melainkan juga karna adanya problem dan berbagai kekurangan dalam metode untuk pendekatan yang dipakai oleh para ulama zaman klasik.

Dengan kentalnya nuansa hermeneutik, maka peran teks, pengarang dan pembaca menjadi berimbang. Sehingga kesewenang-wenangan dan pemaksaan penafsiran relatif dapat dihindari dengan seminim mungkin.

Dari sana kita dapati suatu kesimpulan adanya hermeneutik sebagai salah satu terobosan baru untuk membantu metde-metode yang lainnya dalam menggapai makna al-Qur’an. Namun jika kita ambil dari pendapat Quraish Shihab yang lebih bijak dan condong moderat, hermeneutika juga tidak dapat ditolak dengan mentah-mentah. Karena memang model atau corak kaidah-kaidah yang termaktub di sana memiliki kemiripam dengan kaidah-kaidah tafsir al-Qur’an.

Akan tetapi di lain sisi tidak juga boleh diterapkan secara terus terang dan telanjang. Karena memang keduanya merupakan dualitas yang begitu berbeda. Perbedaan itu bukan hanya terletak pada sifat kitabnya, melainkan juga berbeda dalam sejarah dan otentitasnya. Serta juga berbeda dalam segi kebahasaannya.

Kontekstual dan Berorientasi pada Spirit Al-Qur’an

Terakhir, salah satu karakteristik yang mewarnai tafsir al-Qur’an di zaman kontemporer saat ini yaitu sifatnya yang kontekstual dan berorientasi pada semangat al-Qur’an. Hal tersebut dapat kita ketahui bahwa pada era kontemporer sudah banyak perkembangan dan bahkan tidak tanggung-tanggung mengganti metode dan paradigma penafsiran yang dilakukan oleh para ulama zaman klasik.

Jika metode penafsiran al-Qur’an yang digunakan oleh para mufasir klasik-tradiosional adalah dengan menggunakan metode anlitik yang bersifat atomistik dan parsial, maka tidak demikian halnya dengan para mufasir kontemporer yang menggunakan metode tematik maudhu’i. Namun tidak hanya sebatas itu. Mereka juga menggunakan pendekatan interdisipliner dengan memanfaatkan perangkat keilmuan modern, seperti filsafat bahasa, semantik, semiotik, antropologi sosiologi dan juga sains.

Baca Juga  Karakter Muslim Berkemajuan Perspektif Juz 'Amma Al-Quran (1)

Salah satu ungkapan yang sering saya baca dan dengarkan ketika mulai melihat berbagai sudut pandang pemikiran dari para mufasir kontemporer ialah: “Al-Qur’an itu abadi. Namun penyajiannya selalu kontekstual. Sehingga meskipun ia turun di Arab dan menggunakan bahasa Arab, ia berlaku universal, melampaui waktu dan tempat yang dialami manusia”.

Sebenarnya pada masa klasik pun juga memiliki pandangan yang seperti ungkapan tersebut. Namun tedapat sedikit letak perbedaannya dengan mufasir kontemporer. Yakni era klasik lebih cenderung untuk memaksakan makna literal ke berbagai konteks situasi dan kondisi.

Tidak demikian dengan para mufassir kontemporer. Mereka tidak menerima begitu saja apa yang diungkapkan oleh ayat-ayat al-Qur’an secara literal. Tetapi kembali melihat lebih jauh dan mendalam mengenai apa sesungguhnya makna yang diungkapkan oleh literal ayat-ayat tersebut.

Tafsir Kontemporer Berusaha Menangkap Ruh Al-Quran

Dengan kata lain, yang ingin dicari oleh para mufassir kontemporer adalah “ruh” atau spirit dan maksud dibalik ayat. Bukan hanya sekedar ayat yang dipahami secara tekstualis. Sehingga dari sana makna-makna yang awalnya tidak bermakna, menjadi memiliki makna-makna yang kontekstual dan dapat selalu diproduksi dari penafsiran al-Qur’an.

Maka dari asumsi paradigma tafsir kontemporer pun para ulama selalu berupaya dan semangat dalam memosisikan prinsip-prinsip universal dari al-Qur’an yang akan selalu senantiasa relevan untuk setiap waktu dan tempat (shalih li kulli zaman wa makan).

Hal ini menunjukkan bahwa ulama kontemporer sedang bersemangatnya dalam membawa implikasi bahwa problem-problem sosial keagamaan di era kontemporer tetap akan dapat dijawab oleh al-Qur’an dengan cara melakukan kontekstualisasi penafsiran secara terus menerus, seiring dengan spirit dan tuntutan problem dizaman sekarang.

Beberapa mufasir pun menegaskan bahwa nilai universal yang dimaksud adalah merupakan nilai kebebasan, kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan. Nilai-nilai inilah yang ingin ditekankan oleh al-Qur’an melalui berbagai ayatnya (Farcha, 1994). Jika ayat-ayat al-Qur’an itu dipahami secara literal, parsial, dan sepotong-potong tentu saja nilai-nilai yang universal tersebut mustahil bisa ditemukan dan berimbas kepada dimensi humanistik al-Qur’an pun bisa terabaikan (Baidlowi, 2003, hlm 8-9).

Baca Juga  Kajian Al-Quran: Manusia yang Selalu Disorot

Penyunting: M. Bukhari Muslim