Hampir semua peristiwa di dunia ini tak terlepas dari peran manusia. Eksistensi manusia sebagai makhluk berpikir di dunia menjadi tokoh sentral dalam hikayat perjalanannya dengan berbagai dimensi. Ketika yang terjadi positif, pasti itu karena ulah manusia. Sebaliknya, ketika peristiwa yang terjadi itu negatif, pasti pula yang disorot adalah manusia.
Memang, manusia makhluk unik. Dirinya dan memikirkan dirinya, juga mengaitkan dirinya dengan apa yang ada di buana. Dunia yang kecil mikroskopis menjadi eksis karena dipahami oleh manusia. Begitu pula, alam semesta yang makrokosmos akan senantiasa berada karena dipahami oleh manusia.
Semua agama dan kepercayaan di dunia ini pasti menaruh perhatian utama pada manusia. Kitab suci diturunkan untuk manusia. Pedomannya mengatur jalan hidup manusia. Penciptaan alam diserahkan kemakmurannya pada manusia. Baik buruknya perjalanan dunia, diciptakan oleh manusia. Menjelajah seluruh ciptaan-Nya, apabila mampu, melibatkan manusia. Kerusakan alam, apabila terjadi, akibat ulah manusia. Posisinya sangat penting.
Mengapa Manusia?
Manusia, makhluk-Nya yang mulia. Ia diberikan potensi yang luar biasa. Anugerah potensi terbesar adalah akal. Sekaligus membedakan dirinya dengan makhluk lain. Akalnya menjadi instrumen penting dalam menjalani kehidupan. Ia menjadi pengikat dorongan negatif. Menjadi landasan untuk kebaikan. Ia menjadi daya berfikir untuk memahami ciptaan-Nya.
Daya kreativitas pun menjadi ciri akal untuk mendorong penciptaan sesuatu yang memudahkan dirinya. Al-Qur’an banyak memuat informasi penting mengenai peran manusia dan akalnya. Pada beberapa ayat sering dijumpai misalnya kata ya’qilun (يعقلون), yatafakkarun (يتفكرون), dan yafqahun (يفقهون). Semua merujuk pada makna memikirkan, tafakur, dan memahami.
Teks yang disajikan dalam bentuk fi’l mudhari’ berkaitan dengan makna proses yang sedang dan akan terjadi, menunjukkan bahwa akalnya senantiasa digunakan untuk menjamah pengetahuan tentang diri dan dunia. Pada kesempatan lain, ditemukan pula kata berbentuk nomina, misalnya ulu al-albab (اولوالالباب). Kata ini merujuk pula pada kemampuan untuk memikirkan dan mendalami sesuatu.
Dugaan kuatnya, frase iqra’ sebagai penggalan kata pada rangkaian wahyu pertama, selain dikaitkan dengan sisi kesadaran religius dengan mengaitkan pada nama Tuhan, ia pun berkaitan dengan medan makna pada kata-kata di atas. Iqra’ yang berarti membaca, memahami, meneliti, dan menelaah akan terwujud apabila piranti berpikir digunakan secara optimal. Sekaligus menjadi instrumen penting untuk menyingkap dan menemukan pengetahuan juga menyadarkan dirinya untuk mengaitkan dengan Tuhan.
Keistimewaan Manusia
Akal membedakan mana yang baik dan buruk. Kebaikan menurut akal harus tetap dijalankan bahkan ditingkatkan. Keburukan perilaku menurut akal harus dihindari. Melibatkan diri pada kebaikan akan berbuah kebaikan. Perilaku buruk akan membuahkan kenistaan. Akal diciptakan untuk menyeimbangkan dengan nafsu agar manusia tetap berada dalam kebaikan hidup. Dorongan negatif pasti tetap ada, namun akal senantiasa untuk menjaganya. Peran akal menjadi penentu, apakah ingin selamat atau celaka?
Hewan mempunyai otak, manusia juga demikian. Namun, hewan meskipun punya otak, ia tidak berakal. Yang dimiliki adalah insting. Sepertinya otak memang penting dalam pengaturan metabolisme biologis dan neurologis. Lebih lanjut, akal sangat berfungsi pada pengaturan kehidupan. Yang dilihat keberhargaan manusia dilihat dari seberapa kuat akal difungsikan pada kemaslahatan hidup. Dari sisi akal, fungsi, dan arah pada kebaikan, bisa menjawab kenapa manusia yang disorot.
Islam mengajarkan setelah kehidupan dunia ada kehidupan akhirat. Akhirat menjadi waktu dan tempat untuk penentuan keputusan di hadapan-Nya. Manusia pasti tidak bisa menghindari kondisi ini. Tuhan yang akan menentukannya, tidak dapat dipengaruhi oleh hal lain. Allah Swt yang menguasai Hari Pembalasan (Q.S. al-Fatihah:4).
Manusia akan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kebaikan akan berbuah kebaikan. Keburukan akan menimbulkan kenistaan. Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya (Q.S. al-Zalzalah: 7-8).
Pada dua ayat ini, Allah Swt merincikan balasan amal masing-masing. Barang siapa beramal baik, walaupun hanya seberat atom niscaya akan diterima balasannya, dan begitu pula yang beramal jahat walaupun hanya seberat atom akan merasakan balasannya. Amal kebajikan orang-orang kafir tidak dapat menolong dan melepaskannya dari siksa karena kekafirannya. Mereka akan tetap sengsara selama-lamanya di dalam neraka (Tafsir Kemenag RI). Manusia tetap akan disorot karena ia akan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ini menjadi jawaban yang lainnya.
Selamanya akan Tetap Disorot
Menjadi manusia adalah takdir. Tak bisa ditawar atau dipesankan. Beruntung menjadi manusia, karena ia berbeda dengan makhluk lain. Manusia menjadi wakil-Nya untuk memakmurkan bumi ciptaan-Nya. Tugas ini sungguh mulia. Kemaslahatan dan kesejahteraan makhluk bumi tergantung padanya. Saya, Anda, dan kita ditakdirkan untuk menyejahterakan bumi.
Peristiwa apa pun yang menyangkut apa yang terjadi di bumi, pasti manusia yang jadi sorotan. Indah bila hasilnya baik, sorotannya menjadi bercahaya. Tidak elok jadinya, bila hasilnya buruk, sorotan kembali meredup bahkan gelap gulita.
Sebagai manusia, pasti tetap akan berada pada dua sisi. Baik atau buruk. Allah Swt telah menyempurnakan jiwa. Allah memasukkan ke dalam diri manusia potensi jahat dan baik. Jiwa manusia laksana wadah bagi nilai-nilai yang diembannya. Jiwa bisa menjadi baik atau buruk tergantung nilai mana yang manusia pilih dan aktualisasikan. Wallahu A’lam
Penyunting: Bukhari
Leave a Reply