Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Beberapa Karakteristik Paradigma Tafsir Kontemporer (1)

Kontemporer
Sumber: tafsiralquran.id

Seiring berkembangnya arus pemikiran intelektual muslim, perkembangan tafsir kontemporer tidak dapat begitu saja dilepaskan dengan perkembangannya dewasa ini. Minimal gagasan-gagasan yang awal mula berkembang pada dewasa ini sudah bermula pada zaman Muhammad Abduh dan muridnya Rasyid Ridha. Mereka begitu kritis memandang produk-produk penafsiran al-Qur’an yang ada.

Paradigma tafsir kontemporer dinilai oleh banyak kalangan akan memberikan “angin segar” bagi perkembangan tafsir. Meskipun tidak sedikit juga kalangan yang memandangnya sinis. Paradigma tafsir kontemporer memungkinkan al-Qur’an untuk terus menerus ditafsirkan seiring lajunya perubahan, perkembangan serta berbagai problem yang dihadapi manusia modern-kontemporer.

Sebab, produk penafsiran pada dasarnya merupakan anak yang lahir pada zamannya. Dalam arti lain bahwa paradigma tafsir akan selalu muncul dengan berbagai perubahan, perbedaan dan bahkan melahirkan kontradiksi antar pemikiran mufassir klasik dan kontemporer.

Karakteristik Paradigma Tafsir Kontemporer

Di samping itu, paradigma tafsir kontemporer dapat dimaknai sebagai suatu corak atau cara pandang yang baru. Meskipun masing-masing paradigma tafsir memiliki keunikan dan karakteristiknya tersendiri. Ada yang dengan kembali memperbaharui tafsir dengan menonjolkan fungsi al-Qur’an dalam artian sebenarnya. Ada juga yang kembali menyesuaikan sesuai dengan kondisi sosialnya sesuai perkembangan zaman dan lain sebagainya.

Untuk memahami bagaimana perbedaan bentuk dari penafsiran kontemporer, penulis akan memaparkan beberapa karakteristik yang mewarnai dalam paradigma tafsir kontemporer.

Kembali Memfungsikan Al-Qur’an Sebagai Petunjuk

Hal ini berawal dari kegelisahan Muhammad Abduh atas kitab-kitab tafsir yang berkembang pada masa-masa sebelumnya yang dinilai telah sedikit kehilangan fungsi al-Qur’an sebagai kitab pedoman bagi manusia. Sebagai seorang mufassir, kegelisahan Abduh ini memang tidak dapat dipungkiri dari kitab-kitab zaman klasik. Isinya dinilai tidak lebih hanya sekedar pemaparan berbagai pendapat para mufassir lainnya yang saling berbeda pemahaman.

Baca Juga  Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 29: Bumi dan Tujuh Langit

Kemudian kebanyakan kitab tafsir sebelumnya dinilai hanya berkutat pada kedudukan kalimat dari segi i’rab. Dalam kata lain, cenderung semacam latihan praktis dibidang lughah dan pada akhirnya sedikit menjauhi dari tujuan diturunkannya al-Qur’an sebagai (hudan li an-nâs) (‘Abduh, 1382, hlm. 13)

Namun tentunya tidak semua kitab tafsir zaman klasik seperti itu. Ada beberapa kitab tafsir yang disebut Muhammad Abduh disebut sebagai kitab yang baik dan masih belum melenceng ketujuan penafsiran yang sebenarnya. Seperti kitab tafsir al-Kasysyaf, ath-Thabari, al-Asfihani, al-Qurthubi dan beberapa kitab lainnya.

Menurut Abduh, tafsir harus berfungsi menjadikan al-Qur’an sebagai sumber petunjuk (mashdar alhidayah) (Ridha, 1954, hlm.17.) Bukan untuk membela ideologi tertentu. Hal ini juga lah yang kemudian menjadi motivasi Abduh dan Rasyid Ridha untuk menulis kitab tafsir yang berbeda coraknya dengan tafsir-tafsir klasik sebelumnya. Yakni tafsir al-Manar yang memiliki corak adabi-Ijtima’i.

Penulisan kitab tafsir ini dimaksudkan untuk memberikan solusi yang baru atas berbagai problem konkret yang dihadapi umat islam waktu itu.

Tafsir Kontemporer Mengembangkan Pembacaan Kritis

Ternyata para mufassir zaman kontemporer sedikit banyak terpengaruh oleh gagasan Abduh dalam hal memperbahari penafsiran al-Qur’an sebagai kitab petunjuk. Abduh lah yang menjadi cikal bakal terbentuknya salah satu karakteristik penafsiran kontemporer dengan menekankan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk.

Lebih lanjut ternyata spirit mufasir zaman kontemporer ini tidak lagi menjadikan al-Qur’an sebagai wahyu yang kekurangan nilai kandungannya. Sehingga mufassir zaman kontemporer ini lebih menghidupkan nilai kandungan yang termaktub di dalam al-Qur’an dan mengembangkan model pembacaan dan penafsiran yang lebih kritis dan produktif.

Jika kita meminjam istilah Ali Harb, pembacaan yang kritis, maksudnya adalah pembacaan atas teks al-Qur’an yang tidak terbaca dan ingin menyingkapkan kembali apa yang tidak terbaca tersebut (Harb, 1995, hlm. 204-205.).

Baca Juga  Memahami Ayat Perumpamaan dalam Al-Qur’an

Ilmiah dan Non-Sektarian

Karakteristik lain dari tafsir zaman kontemporer ini adalah sifat-sifatnya yang begitu ilmiah dan lebih kritis. Dikatakan ilmiah karena memang ciri khas dari produk tafsirnya dapat diuji kevalidannya berdasarkan konsistensi metodologi yang dipakai mufasir dan selalu terbuka untuk menerima berbagai kritikan dari komunitas akademik.

Kemudian dikatakan non-sektarian karena memang pada umumnya para mufassir era kontemporer tidak terjebak pada wilayah ikatan mazhab. Mereka justru mencoba bersikap kritis terhadap berbagai pendapat-pendapat para ulama era klasik maupun kontemporer yang dianggap sudah kompatibel dengan zaman yang sekarang.           

Kalau menurut penulis sendiri bahwa yang disebutkan di atas tadi menjadi salah satu implikasi dari digunakannya metode hermeneutis dalam memahami teks al-Qur’an maupun teks-teks yang lainnya. Ini juga akan penulis bahas dit ulisan yang selanjutnya tentang karakteristik tafsir kontemporer ini. Di mana dalam tradisi penafsiraan al-Qur’an yang menggunakan metode hermenutika selalu terjadi dialog komunikatif yang begitu proposional antara.

Penyunting: M. Bukhari Muslim