Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Kontroversi Ulama Mengenai Muthlaq Muqayyad Dalam Ayat Al-Qur’an

Sumber: istockphoto.com

Kontroversi atau perdebatan Panjang para ulama mengenai beberapa pembahasan adalah hal yang sangat lumrah kita jumpai dalam dunia keilmuan. Perbedaan-perbedaan tersebut lahir dari beberapa faktor. Salah satunya perbedaan sudut pandang dan latar belakang kehidupan para ulama yang berbeda-beda. Mulai dari latar belakang pendidikan hingga latar belakang teologis. Tidak dapat dipungkiri bahwasanya latar belakang seorang ulama sedikit banyak akan mempengaruhi sudut pandang atau cara pandang ulama tersebut dalam menyikapi permasalahan yang ada. Salah satu kontroversi atau perbedaan ulama yang terjadi yaitu kontroversi sudut pandang mereka terhadap Muthlaq Muqayyad dalam ayat al-Qur’an; yang berpengaruh terhadap penetapan hukum. 

Muthlaq & Muqayyad

Sebelum memahami lebih lanjut mengenai kontroversi tersebut alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu mengenai pengertian muthlaq muqayyad. Secara bahasa lafaz Muthlaq berasal dari kata ahtlaqa-yuthliqu-Ithlaqan yang berarti absolut, mutlak, tak terbatas dan bebas. Dalam kitab berjudul al-mabahits fi ulum al-Qur’an karya syaikh manna’ al-Qathan; disebutkan didalamnya bahwa yang dimaksud muthlaq adalah lafaz yang menunjukkan pada hakikat dari satu atau beberapa hal tanpa adanya pembatas (qayid). Pada umumnya, lafaz muthlaq berupa lafaz nakirah.

Sedangkan lafaz Muqayyad secara Bahasa berasal dari kata qayyada-yuqayyidu-taqyidan yang artinya mengikat, membelenggu dan membatasi. Secara istilah lafaz Muqayyad adalah lafaz yang menunjukkan hakikat dari sesuatu dengan adanya pembatas (qayid). Jadi lafaz tersebut dibatasi oleh suatu (qayid) pembatas. Perlu diketahui bahwa lafaz yang muthlaq dan muqayyad tidak hanya terdapat dalam ayat al-Qur’an, dalam hadis juga terdapat lafaz muthlaq dan muqayyad. Namun dalam tulisan ini akan dibahas khusus mengenai muthlaq dan muqayyad yang ada dalam al-Qur’an.

Salah satu lafaz yang memiliki bentuk muthlaq dan muqayyad dalam al-Qur’an adalah lafaz raqabah yang memiliki arti budak. Lafaz  raqabah (budak) dalam al-Qur’an terdapat pada tiga kasus, yang pertama raqabah (budak) sebagai kaffarah (denda) pada kasus zihar dalam Q.S. Al-Mujadalah [58]:3, yang kedua raqabah (budak) sebagai kaffarah (denda) pada kasus pelanggaran sumpah dalam Q.S. Al-Maidah [5]: 89, dan raqabah (budak) sebagai kaffarah (denda) pada kasus pembunuhan tidak sangaja dalam Q.S. An-Nisa’ [4]: 92.

Baca Juga  Rasm Imla'i: Tidak Jauh Berbeda Dengan Rasm Usmani

***

Dalam kasus pertama yaitu raqabah (budak) sebagai kaffarah zihar, lafaz raqabah diungkapkan dengan redaksi mutlak dalam Q.S Al-Mujadalah [58]: 3, yang artinya sebagai berikut: “Dan mereka yang menzihar istrinya, kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan, maka (mereka diwajibkan) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Kemudian pada kasus ketiga yaitu raqabah (budak) sebagai kaffarah (denda) pada kasus pelanggaran sumpah dalam Q.S. Al-Maidah [5]: 89 yang artinya sebagai berikut: “Allah tidak menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah kalian yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kalian disebabkan sumpah-sumpah yang kalian sengaja, maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan seorang hamba sahaya…”

Berbeda dengan kedua ayat tersebut yang datang dengan redaksi muthlaq, ayat mengenai pembunuhan tidak sengaja yang terdapat dalam Q.S. an-Nisa’ [4]: 92 datang dengan redaksi muqayyad, yang artinya sebagai berikut: “Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh seorang yang beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Barangsiapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu…”

***

Pada kasus pertama dan kedua yaitu kaffarah zihar dan sumpah palsu kata “raqabah” (budak) diungkapkan secara mutlak tanpa pembatas. Yang artinya dalam memerdekakan budak sebagai kaffarah zihar dan sumpah palsu. Tidak ada ketentuan mengenai kriteria budak yang harus di merdekakan. Jadi boleh memerdekakan budak mukmin ataupun kafir sebagai kaffarah dhihar dan sumpah palsu (jika dimaknai dalam kemutlakannya). Jadi boleh memerdekakan budak mukmin ataupun kafir sebagai kaffarah dhihar dan sumpah palsu (jika dimaknai dalam kemutlakannya).

Baca Juga  Syarat Menjadi Mufassir Menurut Manna’ Al-Qaththan dan As-Suyuthi

Namun pada ayat mengenai pembunuhan yang tidak disengaja kata “raqabah” (budak) diungkapkan dengan redaksi muqayyad (dibatasi). Dengan batasan berupa “mu’minatin” (mukmin), maka dalam kaffarah pembunuhan tidak disengaja budak yang dimerdekakan haruslah budak yang mukmin.

Pada bagian macam-macam muthlaq dan muqayyad dan status hukumnya masing-masing yang biasa dibahas dalam ulum al-Qur’an. Kasus di atas termasuk dalam muthlaq dan muqayyad sebabnya berbeda namun hukumnya sama. Ketiga ayat tersebut memiliki persamaan ketentuan hukum yaitu memerdekakan budak, namun sebab memerdekakan budak pada ketiga ayat tersebut berbeda-beda, yang pertama sebagai kaffarah zihar, yang kedua sebagai kaffarah sumpah palsu, dan yang ketiga sebagai kaffarah pembunuhan yang tidak disengaja.

***

Dalam kasus tersebut terdapat kesamaan hukum dan perbedaan sebab, disinilah letak kontroversi sudut pandang para ulama dalam menyikapi hal tersebut. Menurut mayoritas ulama seperti ulama maliki, ulama hambali dan sebagian besar ulama syafi’i lafaz yang mutlak harus dibawa kepada yang muqayyad. Maka demikian menurut mereka budak yang dimerdekakan sebagai kaffarah zihar dan sumpah palsu haruslah budak yang mukmin juga.

Sebab lafaz mutlak pada dua ayat tersebut telah dibatasi dengan lafaz raqabah pada ayat mengenai pembunuhan tidak sengaja yang diungkapkan dengan redaksi muqayyad. Sedangkan menurut pendapat lain yaitu pendapat ulama hanafiyah dalam hal ini lafaz yang mutlak tidak dapat dibawa kepada yang muqayyad. Dapat dipahami dari sini, bahwasanya lafaz yang muthlaq dan muqayyad dalam al-Qur’an memiliki pengaruh terhadap penetapan hukum yang dihasilkan.

Editor: An-Najmi