Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Rekontruksi Pemahaman Q.S al-Baqarah: 223 Tentang Marital Rape

marital rape
Sumber: https://www.kompasiana.com

Definisi sederhana dari marital rape adalah ketika salah seorang memaksa pasangannya untuk terlibat dalam aktivitas seksual yang bertentangan dengan keinginan dirinya.  Penggunaan istilah “pemerkosaan dalam perkawinan” ini melahirkan kontra dari kalangan konservatif. Alasannya, tidak mungkin dalam sebuah pernikahan terjadi adanya pemerkosaan. Padahal poin yang menjadi titik tekan dalam marital rape adalah “kekerasan/pemaksaan” bukan mengenai sah-tidaknya hubungan seksual dalam perkawinan. Sudah menjadi sebuah keharusan bahwa persetubuhan dinikmati oleh keduanya sebagai manusia yang adil dan merata. Bukan persetubuhan yang dipaksakan oleh salah satu pasangan saja. Sebab, dalam hubungan seksual suami istri memiliki hak yang setara.

Dengan demikian marital rape dapat dimaknai sebagai suatu bentuk intimidasi dan/atau pemaksaan hubungan seksual antara suami dan istri dimana salah satu pihak tidak menginginkannya atau kerena sebab tertentu ia tidak dapat melakukan hubungan yang berakibat penderitaan. Kebanyakan menjadi korban dalam kasus ini biasanya adalah perempuan. Dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan, 2021, jumlah laporan terkait perkosaan terhadap istri adalah 100 kasus untuk 2020.

Akar Fenomena Marital Rape

Adapun salah satu faktor penyebab terjadinya marital rape ini adalah adanya kesalahpahaman penafsiran terhadap QS. al-Baqarah: 223, yang berbunyi:

نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا۟ حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ ۖ وَقَدِّمُوا۟ لِأَنفُسِكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّكُم مُّلَٰقُوهُ ۗ وَبَشِّرِ ٱلْمُؤْمِنِينَ

Artinya: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.”

Dalam tafsir al-Misbah dijelaskan bahwa, “Istri-istri kalian adalah tempat mengembangkan keturunan seperti tempat biji yang membuahkan tumbuhan. Maka, kalian boleh menggauli mereka dengan cara apa pun selama pada tempatnya.” Begitu pula penjelasan dalam tafsir al-Munir diartikan bahwa laki-laki atau suami dapat mendatangi istrinya dari arah mana saja entah dari depan atau belakang, dengan berdiri, berbaring ataupun duduk. Hingga tafsir jalalain, tafsir al-Ahkam, dan tafsir al-Maraghi pun serentak mengungkapkan hal yg serupa.

Baca Juga  Tadabbur Al-Insyirah: Badai Hilang Kebahagiaan Datang
***

Selain itu, hal ini didukung dengan adanya sebuah hadits yang menyatakan hak suami untuk tidak mendapat tolakan dari sang istri:

وَعَنْ أَبي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُول الله – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امرَأتَهُ إِلَى فرَاشِهِ فَلَمْ تَأتِهِ، فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا، لَعَنَتْهَا المَلائِكَةُ حَتَّى تُصْبحَ

Artinya: “Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Jika seorang suami mengajak istrinya untuk berhubungan, akan tetapi ia (istri) tidak memenuhi ajakan suami, hingga malam itu suaminya marah, maka ia (istri) mendapatkan laknat para Malaikat sampai subuh.” (Status hadits ini dilihat dari sanadnya menurut Imam Bukhari, Muslim, dan Muhammad Syakir dalam kitabnya Syarah Musnad Ibn Hanbal adalah shahih. Sedang Imam Tirmizi menilainya dengan hasan shahih gharib. )

Namun demikian, kedua dalil tersebut tidak lantas menjadikan suami dapat berlaku sewenang-wenang kepada istrinya. Melayani suami memang kewajiban  seorang  istri, akan tetapi istri tidak wajib untuk melaksanakannya apabila terdapat alasan-alasan syar’i. Seperti saat istri sedang sakit, haid, nifas, puasa, hamil atau sebab lainnya.

***

Pemahaman terhadap kedua dalil tersebut harus dilakukan secara kontekstual. Karena dalam melakukan hubungan seksual, suami dan istri mempunyai hak yang setara. Apabila  sang suami tetap memaksa, maka mereka telah melanggar prinsip dalam QS. An-Nisa: 19, yakni memperlakukan wanita dengan baik. 

وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ

Artinya: “dan pergaulilah mereka dengan cara yang baik.”

Secara terminologi, kata عَاشِرُ menggunakan bentuk kesalingan (sigah mufa’alah atau musyarakah). Sehingga arti kalimat tersebut tak hanya sekedar “perlakukan istrimu dengan baik”, akan tetapi “saling memperlakukan satu sama lain dengan baik, suami kepada istri dan istri kepada suami.”  Sedangkan kata مَعْرُوفِ oleh sebagian ulama juga didefinisikan sebagai yang dinilai kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang dan tidak bertentangan dengan watak (tabiat) manusia yang benar dan yang dibimbing oleh prinsip-prinsip umum Islam.

Baca Juga  Sholawat dan Pembedaan identitas

Ulama merumuskan bahwa mu‘asyarah bi al-ma’ruf adalah etika paling utama dalam relasi suami istri. Etika ini tak hanya dalam pelaksanaan tugas-tugas domestik saja akan tetapi mencakup juga relasi seksual. Karenanya, pemaksaan dalam hubungan seksual dan segala bentuk kekerasan dalam hubungan seksual bertentangan dengan prinsip mu‘asyarah bi al-ma’ruf. Meski bentuk kekerasan yang terjadi tidak sampai pada taraf kekerasan fisik, minimal yang terjadi adalah kekerasan pada psikologi pasangan tanpa disadari yang dampaknya dapat lebih menyakitkan melebihi kekerasan fisik.

***

Amina Wadud selaku feminis reformis jelas menentang gagasan bahwa seorang suami boleh melakukan tindakan kekerasan terhadap istrinya. Begitu pula Asghar Ali Engineer menegaskan bahwa sesungguhnya al-Qur’an tidak pernah mengizinkan kekerasan terhadap perempuan. Dalam kasus ini, Ibnu ‘Asyur menyarankan agar pemerintah mengeluarkan aturan yang melarang kekerasan antara suami dan istri. Rekomendasi ini telah dilakukan di Indonesia dengan disusunnya UU PKDRT, UU TPKS, dan RUU KUHP. Hal ini dikarenakan perilaku kekerasan bertentangan dengan semangat kasih sayang yang ditunjukkan Nabi Muhammad SAW dalam berbagai teks hadits yang berkaitan dengan hubungan suami istri. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Zama, sebagai berikut:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ زَمْعَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَا يَجْلِدُ أَحَدُكُمُ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ، ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِي آخِرِ الْيَوْمِ». رواه البخاري

Artinya: “Janganlah seseorang di antara kamu memukul istrinya (menganggap boleh) bagaikan memukul hamba sahaya, (padahal) kemudian mengaulinya di sore hari.

Adapun faktor lain penyebab terjadinya marital rape adalah adanya relasi suami istri yang timpang. Ketimpangan ini disebabkan karena pemahaman yang kurang benar tentang hubungan seksual dalam pernikahan. Seperti memahami bahwa hubungan seksual hanyalah kewajiban istri dan hak suami saja, sehingga suami boleh saja memaksa demi mendapatkan haknya. Tentu saja ini pemahaman yang tidak benar. Islam mengharamkan kekerasan, serta kezaliman lainnya yang berlawanan dengan pondasi moral pernikahan berupa mu‘asyarah bi al-ma’ruf.

Q.S al-Baqarah: 223 apabila direinterpretasi menggunakan teori Qiraah Mubadalah maka akan menghasilkan perubahan konsep kesalingan. Bentuk mudzakkar dalam ayat tersebut diubah maknanya menjadi bentuk muannats sehingga menghasilkan makna bahwa istri memiliki hak yang sama dalam hubungan seksual sebagaimana suami. Artinya, istri juga dapat mendatangi suaminya kapan saja dan dengan cara apa saja yang disukai olehnya. Asalkan hubungan ini tidak membawa ke-mudharat-an antara keduanya.

Baca Juga  Peran Self-Esteem dalam Penerimaan Takdir
***

Dengan adanya kesetaraan dalam konteks hubungan seksual ini, kualitas hubungan antara suami dan istri akan meningkat. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa kualitas hubungan seksual yang baik juga akan membawa dampak pada keharmonisan antara keduanya. Oleh karena itu, suami dan istri harus saling memberi perhatian dan mengerti tentang kondisi masing-masing. 

Hubungan suami istri di dalam pernikahan memang tidak sekedar tentang pemuasan kebutuhan biologis semata. Namun jauh lebih luas daripada itu menyangkut aspek sosial dan psikologis. Keduanya harus mendekatkan dan mengakrabkan diri untuk dapat semakin mengerti satu sama lain. Karena itulah kunci untuk dapat membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah sebagaimana yang tercantum dalam QS. Ar-Rum: 21.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa  QS. Al-Baqarah/2: 223 tidak dapat dijadikan sebagai legitimasi pembenaran atas tindakan pemaksaan untuk melakukan aktivitas seksual kepada istri. Sebab, makna umum dalam  ayat tersebut adalah pelarangan melakukan aktivitas seksual yang tidak pada tempatnya. Selain itu, al-Qur’an sangat menjunjung tinggi hak-hak kemanusiaan. Suami yang sejatinya sebagai pelindung bagi keluarganya tidak seharusnya melakukan tindakan marital rape sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Penyunting: Ahmed Zaranggi