Seperti halnya menyemai benih dan bibit ketika bercocok tanam, maka benih yang disemai haruslah benih yang terbaik agar tanaman yang tumbuh juga kualitasnya terbaik. Dalam hal ini juga membutuhkan tanah yang subur agar tanaman dapat tumbuh, berkembang, dan memperoleh hasil yang diinginkan. Menyemai benih cinta terhadap al-Qur’an juga demikian. Umat Islam yang mendambakan anak-anak yang dekat dengan Al-Qur’an, dari keluargalah benih itu ditumbuhkan. Perlu membangun pondasi yang kuat. Azam yang kuat itu perlu digaungkan agar terus mengupayakan diri bersama pasangan dan anggota keluarga yang lain untuk mencapai visi yang sama.
Keluarga Qur’ani
Belajar dari keluarga yang telah mencetak serta menyemai benih cinta terhadap al-Qur’an kepada anak-anaknya, marilah kita menengok teladan yang dari keluarga Ustadz H.Agus Sudjatmiko dan Ustadzah Ika Abriastuti yang dengan izin Allah menjadikan kedelapan anaknya hafidz dan hafidzah al-Qur’an. Mereka bercerita tentang bagaimana kedelapan anaknya ini bisa seperti itu. Tentunya hasil yang terlihat sekarang telah melewati proses dan perjalanan hidup yang sangat panjang.
Ustadzah Ika menceritakan tentang latar belakang keluarganya yang beda agama. Di masa pencarian jati diri beliau membandingkan antara kitab injil dan juga al-Qur’an. Diwarnai dengan perdebatan keluarga hingga pernah diusir dari rumah, sampai pada akhirnya beliau yakin dan mantap untuk memilih Islam. Al-Qur’an telah menjadi pelita di dalam hidup beliau.
Pernikahannya bersama dengan Ustadz H. Agus Sujdatmiko telah membuat semangat membuncah untuk merencanakan visi dan misi bersama untuk mencetak keturunan yang dekat dengan al-Qur’an. Biidznillah, anak-anak mereka tumbuh dengan benih tersebut. Keinginan orang tua yang bukan hanya menjadikan al-Qur’an untuk dihafal saja tetapi juga tertancap kuat di dalam diri anak-anaknya. Masya Allah, keluarga ini telah memancarkan cahaya mulia al-Qur’an bagi sekelilingnya.
Bagaimana Menumbuhkan Rasa Cinta pada Al-Qur’an
Belajar dari cerita mereka, menumbuhkan rasa cinta pada al-Qur’an bukanlah waktu yang instan. Perlu adanya proses yang panjang. Perlu adanya tarbiyah/pendidikan bahkan mulai dari kandungan, anak-anak sudah mulai dekat dengan al-Qur’an. Mendengar lantunan ayat suci al-Qur’an, membaca, orang tuanya sering berinteraksi dengan al-Qur’an, maka insya Allah anak-anak ini akan mudah menumbuhkan rasa cinta pada al-Qur’an. Perlu waktu yang panjang dalam prosesnya ini dampaknya akan membuat al-Qur’an menjadi karakter di dalam diri anak-anak. Pondasinya dari keluarga.
Selain itu, yang perlu digaris bawahi adalah tidak dengan paksaan, tetapi dengan kesadaran. Jika di dalam diri anak-anak tumbuh rasa cinta, maka segala sesuatu akan lebih mudah dilakukan. Jadi para orang tua perlu memahami terlebih dahulu karakter anak-anaknya supaya metode yang dipilih juga tepat. Faktanya tidak ada anak yang bodoh, semua anak itu cerdas. Tergantung bagaimana mendidik anak-anak dengan cara yang tepat.
Hal yang penting berikutnya adalah saat orang tua menginginkan anak-anak tumbuh cinta pada Al-Qur’an, maka orang tua juga “mencontohkan” interaksi yang intens dengan al-Qur’an. Ketika ingin mengajarkan tentu orang tua perlu menerapkannya pada diri sendiri. Figur orang tua adalah contoh yang nyata bagi anak-anak dalam sebuah keluarga. Dalam aktivitas harian, tunjukkan dan buktikan bahwa kegiatan bersama al-Qur’an itu sungguh menyenangkan. Sehingga anak-anak juga akan merasakan hal yang sama ketika berinteraksi bersama al-Qur’an.
Visi Keluarga Qur’ani
Visi menjadikan keluarga yang dekat dengan al-Qur’an ini tentu menjadi fokus bagi para ayah dan ibu agar pendidikan di keluarga sukses dengan kerja sama yang baik. Dan visi di dalam keluarga ini perlu dibahas dan didiskusikan bersama bahkan sejak malam pertama.
Dalam hal ini, terdapat dua pandangan dari sisi ayah dan juga ibu. Dari sisi ayah perlu memahami bahwa peran ayah inilah yang menentukan keluarga ini akan dibawa ke mana. Visi dan misi dari ayah dalam membangun rumah tangga juga harus jelas terlebih dahulu. Menjadikan al-Qur’an senantiasa hidup di keluarga juga harus melekat dalam diri ayah.
Dari sisi ibu yang perlu diperhatikan adalah pendidikan pada anak-anak. Karena sukses tidaknya rumah tangga bergantung pada pemimpin atau suami. Sukses tidaknya pendidikan anak bergantung pada istri. Ibu sebagai pendidik pertama bagi anak-anaknya ini memiliki peran penting dalam membentuk pribadi dan nilai-nilai kehidupan yang melekat dalam diri anak. Ustadzah Ika menyampaikan tentang sebuah do’a yang sering beliau ucapkan sejak anak-anaknya masih dalam kandungan.
Seperti inilah doanya, “Ya Allah berilah hamba kesabaran yang tiada habisnya dan jadikanlah anak-anakku di mana pun berada menjadi cahaya bagi sekelilingnya.” Inilah juga menjadi salah satu rahasia anak-anaknya dalam urusan duniawi sudah tak perlu dipusingkan lagi. Prestasinya masya Allah, Al-Qur’annya nomor satu selalu dalam kesehariannya. Di mana pun berada selalu muroja’ah. D an mulutnya tak berhenti melantunkan ayat suci. Cinta pada al-Qur’an telah tertanam di dalam diri benar-benar menjadi bukti yang nyata.
Pepatah Arab mengatakan, “Letakkan al-Qur’an di dadamu, maka engkau akan menggenggam dunia di tanganmu.” Sungguh benar adanya, saat kita memprioritaskan Al-Qur’an Insya Allah segala urusan dunia itu beres, Allah yang akan turun tangan. Demikian yang dapat saya bagikan. Semoga menginspirasi para orang tua dan keluarga di mana pun berada untuk bersama-sama mencetak para ahlul Qur’an yang bermanfaat bagi umat.
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.