Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Quo Vadis Studi Akademik atas Al-Qur’an dalam Konteks Late Antiquity

Akademik
Sumber: https://www.universiteitleiden.nl/

“Mengapa kita membutuhkan suatu pembacaan akademik atas Al-Qur’an?,” tanya Angelika Neuwirth dalam suatu sesi perkuliahan di Fakultas Teologi Universitas Ankara Turki, pada 10 Oktober 2013. Perlukah kita―bila membayangkan diri sebagai seorang sarjana yang hadir dalam kuliah umum di Ankara―berpikir keras untuk menjawab pertanyaan tersebut?

Penulis kira,banyak jawaban umum yang dapat dimunculkan semisal; 1) memperdalam pemahaman keagamaan dari sumber paling otoritatif dalam tradisi Islam; 2) mengembangkan dimensi spiritualitas dan ketaatan kepada Tuhan; 3) menyebarkan ajaran raḥmatan lil ‘ālamīn dan pesan universal Al-Qur’an;  4) memantapkan ilmu agama sebagai fondasi moral-spiritual bagi generasi penerus.

Atau jangan-jangan, kita tidak perlu membuat alasan khusus untuk memulai suatu studi akademik atas Al-Qur’an. Lantas, kita bisa merespon pertanyaan tersebut dengan pertanyaan balasan, misalnya “kenapa tidak?”.

Namun bagi Neuwirth, pertanyaan ini bukan sekedar common sense (nalar umum) yang tidak perlu dipersoalkan. Bila kita renungkan kembali pertanyaan guru besar ilmu Al-Qur’an dan perbandingan agama asal Jerman tersebut, barangkali ia sedang berbicara tentang konteks yang lebih luas ketimbang sekedar membicarakan ulūm al-Qur’ān yang di-akademik-kan.

Neuwirth beranggapan bahwa tujuan utama dari pengkajian ilmiah terhadap Kalamullah bukan hanya dilandaskan pada jawaban-jawaban yang penulis paparkan di muka. Baginya, dimensi fundamental dalam studi akademik atas Al-Qur’an terletak pada usaha-usaha kritis para sarjananya untuk mempreservasi, memelihara dan memperkokoh integritas teks Al-Qur’an, sekaligus mengoreksi berbagai penyimpangan dan kesalahpahaman atas kitab suci tersebut.

Tren pengkajian terhadap integralitas Al-Qur’an, khususnya di Eropa dan Amerika, dikenal luas sebagai “orientalisme” atau oriental studies. Bila diamati dari kacamata kesarjanaan Barat, tersirat suatu pesan bahwa diskursus akademik atas kitab suci berkaitan erat dengan situasi politik-intelektual, yang mana para sarjananya meletakkan Al-Qur’an sebagai pusat dari peradaban suatu komunitas agama besar bernama Islam.

Tema tentang keutuhan teks Al-Qur’an memang bukan satu-satunya topik primadona di kalangan sarjana modern. Bagi kalangan sarjana pembaharu, misalnya, dimensi kesejarahan Al-Qur’an dan kesinambungannya dengan agama-agama lain, terutama dalam konteks Late Antique (antik akhir), menjadi suatu daya tarik tersendiri.

Baca Juga  Curhat Ke-dia Secukupnya, Kepada-Nya Sedetailnya

Terdapat cara pendekatan yang berbeda antara Muslim dan non-Muslim atas Al-Qur’an. Mun’im Sirry (2017), sebagai contoh, mencatat bahwa umat Islam menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber moral dan keagamaan. Persis seperti jawaban-jawaban umum yang penulis paparkan di muka!

Namun bagi sarjana non-Muslim, apalagi di kalangan revisionis, mereka mengkaji Al-Qur’an untuk kepentingan penelitian historis. Dari narasi-narasi Al-Qur’an, mereka dapat membangun tesis tentang asal-usul agama Islam, karir kenabian Muhammad, dan situasi keagamaan yang menjadi latar belakang kemunculan gerakan agama baru yang lahir dari rahim ajaran Ibrahim.

Lalu, siapakah yang dimaksud dengan sarjana pembaharu (revisionis) dalam konteks studi akademik atas Al-Qur’an? dan mengapa Al-Qur’an seringkali dilekatkan dengan konteks Antik Akhir, khususnya dalam diskursus kesejarahan Al-Qur’an?

Secara sederhana, sarjana revisionis adalah kalangan terpelajar yang melakukan pembacaan ulang (revisi) atas studi Al-Qur’an. Proses revisi merupakan suatu hal yang lumrah dalam kultur akademik. Bahkan, upaya pembaharuan dan perluasan kajian merupakan ruh dari kajian perguruan tinggi. Para mahasiswa tentu tidak asing dengan tugas merevisi makalah yang diberikan dosen di kelas. Para dosen dan peneliti pun tentu terbiasa saling merevisi teori atau pemikiran satu dan lainnya.

Proses revisi―dalam artian pengembangan dan perluasan kajian―turut terjadi dalam ruang lingkup studi Al-Qur’an, bahkan sejak zaman sahabat. Dalam konteks penulisan mushaf Utsmani, misalnya, sebagian sahabat mengakui tentang adanya kesalahan dan membangun kritik atas korpus resmi tersebut.

Sebagai contoh, lihat periwayatan Ubay bin Ka’ab dan Ḥamīdah bint Abī Yūnus dalam Al-Itqān karangan  as-Suyūṭī (ed. M. Abu al-Faḍl Ibrahim, 1967: vol. II, 718; vol. III, 83) yang menjelaskan tentang perbedaan cara baca yang mereka pahami dibandingkan mushaf Utsmani. Sebagai perbandingan lain, lihat perbedaan redaksi “inna al-dīna ‘inda Allahi al-Islām” (QS. Alī ‘Imrān: 19) dalam kodeks Utsmani dibandingkan dengan yang tertuang dalam kodeks Ibnu Mas’ud yang tertulis “inna al-dīna ‘inda Allahi al-ḥanīfiyah al-samḥah.

Baca Juga  Mewujudkan Konsep Masyarakat Madani Sesuai Al-Qur'an

Adapun definisi “kesarjanaan revisionis” (revisionist scholars) memiliki makna yang berbeda. Bila diamati sebagai suatu ideologi, kesarjanaan revisionis umum diartikan sebagai gerakan pembaharuan dalam studi Islam yang mempertanyakan keabsahan sumber-sumber karangan ulama muslim klasik yang digunakan menjelaskan asal-usul Islam. Para sarjana ini biasanya menggunakan pendekatan sejarah dekonstruktif untuk memahami kesejarahan Al-Qur’an yang non-mainstream.

Menurut Neuwirth, kesarjanaan revisionis lahir pasca perceraian oriental studies di Barat yang memisahkan antara studi kewilayahan (area studies) dengan studi naskah (filologi). Perceraian itu diakibatkan oleh konteks geo-politik yang memanas, serta stereotip negatif atas kajian filologi yang terkesan kuno, ketinggalan jaman, dan apolitik. Namun, Neuwirth menambahkan, stereotip tersebut mulai tergerus berkat aksi teror 9/11 di Washington DC. Fenomena ini membuat para sarjana dan intelektual merevisi cara pandang mereka atas Al-Qur’an yang lekat dengan budaya Islam secara sosial, kultural, dan politik.

Permasalahan kemudian muncul tatkala para sarjana revisionis membangun kerangka berpikir yang dekonstruktif atas Al-Qur’an. Cara pandang tersebut membuat sebagian sarjana enggan merujuk pada sumber-sumber klasik Islam semisal hadis, sirah nabawiah, serta tradisi Islam maupun Arab pagan yang berkembang pada masa kenabian.

Terdapat beberapa nama tokoh revisionis berwawasan dekonstruktif yang dapat disebutkan, antara lain John Wansbrough, Richard Bell, Andrew Rippin, Patricia Crone, Michael Cook, Günter Lüling, dan Christoph Luxenberg yang terlingkup dalam komunitas Wissenschaft des Judentums. Para sarjana dekonstruktif tersebut dijuluki oleh Mun’im Sirry sebagai “revisionis ekstrem”, sedangkan Angelika Neuwirth menyebut mereka dengan istilah “sarjana berepistem pesimistik”.

Latar dibalik penamaan yang Neuwirth lekatkan itu berakar dari sikap para sarjana revisionis yang memandang Al-Qur’an sebagai narasi turunan dari teks Kristiani, atau bahkan mengklaim secara de facto bahwa Al-Qur’an menjiplak atau menyalin redaksi dari kitab-kitab kekristenan yang tersebar pada periode Late Antiquity (Antik Akhir).

Baca Juga  Bagaimana Jika Benar Iblis Itu Martir Bagi Manusia?

Late Antiquity merupakan periode sejarah kebudayaan yang tercatat sejak akhir abad ketiga hingga abad enam sampai tujuh masehi, tergantung setting lokasinya. Segmen sejarah ini menggambarkan suatu proses transformasi sosial-budaya yang begitu pesat dan kontras, mengingat periode Late Antiquity dimulai pasca fase peradaban klasik dan berakhir sebelum periode pertengahan.

Usaha memahami kesejarahan Al-Qur’an dalam konteks Late Antiquity berarti mengamati sejarah kemunculan kitab suci tersebut dalam kontestasi budaya yang kuat antarapengaruh komunitas keagamaan monoteistik bangsa Semit (Yahudi dan Nasrani), tradisi kesusastraan bangsa pagan, serta dominasi ekonomi-politik dari peradaban besar Bizantuim dan Persia di Utara Hijaz dan maupun peradaban Yaman di Selatan.

Bentuk pembacaan revisionis atas Al-Qur’an, khususnya dengan mempertimbangkan konteks Late Antiquity, justru membantu kita untuk lebih mengapresiasi Al-Qur’an. Paradigma ini menjadikannya sebagai kitab suci yang aktif, interaktif, dan responsif terhadap perkembangan zaman. Dengan demikian, Al-Qur’an yang turun kepada Nabi Muhammad dipahami sebagai bentuk “interaksi langsung” Allah kepada para hamba-Nya.

Sebaliknya, bila Al-Qur’an hanya diletakkan sebagai korpus resmi tertutup (scriptio plena) dan dikontekstualisasikan tanpa mempertimbangkan konteks tutur dan sosio-kultural dari tiap ayat [bedakan dengan asbāb an-nuzūl], maka pembacanya/penafsirnya seperti membaca kitab suci yang pasif dan apolitik. Padahal, kekayaan bahasa dan konteks sosial budaya inilah yang menjadikan Al-Qur’an sebagai karya sastra terbesar dan puncak peradaban Late Antiquity.

Singkat kata, tren kajian akademik atas Al-Qur’an tidaklah berarti menolak literatur muslim era klasik, apalagi disamakan dengan golongan revisionis ekstrem. Tren ini meniscayakan adanya pembacaan yang serius, menyeluruh, dan lintas disiplin atas Al-Qur’an sebagai upaya pengembangan ulūm Al-Qur’an dan pemberlanjutan estafet keilmuan muslim terdahulu. Pembacaan yang holistik dan multidisipliner atas Al-Qur’an membantu para penelitinya dalam meresapi kemukjizatan kitab tersebut sebagai Kalam Ilahi.

Editor: An-Najmi

Egi Tanadi Taufik
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, peneliti muda Institute of Southeast Asian Islam, dan associate researcher ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin.