Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Ad-Dakhil dalam Tafsir Sufi: Membendung Penyimpangan Penafsiran

Tafsir sufi
Gambar: qureta.com

Kaum sufi mengatakan bahwa Al-Quran memiliki makna lahir dan batin. Makna lahir merupakan pemahaman yang ditarik dari teks sesuai kaidah bahasa Arab, sementara makna batin merupakan pemahaman di balik makna lahir teks Al-Quran. Dengan pemahaman semacam ini, kaum sufi selanjutnya melakukan penafsiran dengan metode dan penekanan yang berbeda-beda.

Ada yang menggabungkan antara lahir dan batin dalam satu kitab. Ada yang kadar penafsiran batin lebih banyak. Dan ada yang menafsirkan secara batin tanpa memasukkan penafsiran lahir sama sekali.

Dari berbagai jenis metode dan penekanan terkadang ada beberapa hasil penafsiran yang dapat dikatakan melenceng atau tidak sesuai dengan prosedur. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian terkait adanya indikasi ad-Dakhil dari model tafsir bercorak sufi.

Adanya beberapa praktik tafsir sufi yang dinilai menyimpang. Hal ini membuat para ulama berinisiatif untuk menciptakan rambu-rambu sebagai tolok ukur kebenaran. Misalnya Ibnu Qayyim, Fayed dan Thahir ibn ‘Asyur.

Syarat Tafsir Sufi Perspektif Ibnu Qayyim, Fayed dan Thahir Ibn Asyur

Menurut Ibnul Qayyim penafsiran itu berkisar pada tiga hal; pertama, tafsir terkait lafal, yang ditempuh golongan muta’akhirin. Kedua, tafsir tentang makna, yang dikemukakan kaum salaf. Ketiga, tafsir tentang isyarat, yang ditempuh oleh mayoritas sufi. Jenis tafsir yang terakhir ini tidak dilarang, asal memenuhi syarat:

  • Penafsiran tidak bertentangan dengan makna (dzahir) ayat
  • Maknanya itu sendiri shahih
  • Pada lafal yang ditafsirkan terdapat indikasi bagi (makna isyari)
  • Antara makna isyari dengan makna ayat terdapat hubungan yang erat.

Adapula ulama lain yang menambahi parameter kebenaran tafsir sufi, yakni:

  • Makna batin tidak boleh diklaim sebagai satu-satunya makna yang dikehendaki Allah. Dalam artian menafikan makna dzahir
  • Penafsiran tidak boleh bertentangan dengan akal ataupun syariat
  • Harus didukung dalil atau syahid secara syar’i.

Sedangkan Fayed meletakkan dua parameter keabsahan tafsir sufi, layaknya pada tafsir batini, yakni:

  1. Muwafaqat al-‘Arabiyah (kesesuaian dengan bahasa Arab)
  2. Syahadat al-Syari’i (kepatutan dengan aturan syariat)

Terakhir, Thahir ibn ‘Asyur mengemukakan dalam tafsirnya, bahwa isyarat-isyarat yang dikemukakan dapat diterima selama tidak keluar dari tiga macam hal:

  • Sesuatu yang serupa keadaannya dengan apa yang dilukiskan ayat
  • Isyarat yang lahir dari dorongan sangka baik dan optimisme, karena bisa jadi ada satu kalimat yang darinya terlintas satu makna, tapi bukan itu makna yang dimaksud oleh kalimat tersebut.
  • Isyarat berupa hikmah dan pelajaran yang selalu ditarik oleh orang-orang yang selalu ingat dan sadar serta menarik hikmah dari apa saja yang terbentang.
Baca Juga  Mengenal Kitab Tafsir Fatihah Karya KRH Hadjid

Penafsiran Ibn ‘Arabi Terhadap Surat Al-Baqarah: 6-7

Diantara contoh tafsir sufi yang menuai kritik ialah ketika Ibn ‘Arabi melakukan penafsiran terhadap surat al-Baqarah: 6-7. Sang maha guru sufi ini berkata:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ (6)خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (7)

Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, engkau (Muhammad) beri peringatan atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman (6) Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat.

Ayat ini ditafsirkan oleh Ibn ‘Arabi sebagai berikut:

Wahai Muhammad, sesungguhnya rasa cinta orang-orang kafir kepada-Ku telah menutup hati mereka. Maka baik engkau beri peringatan dengan ancaman dari-Ku, atau tidak engkau beri ancaman, mereka tetap tidak akan beriman kepadamu. Mereka tidak akan memikirkan selain diri-Ku, walaupun engkau memperingatkan.

Mereka tetap tidak akan mendengar dan memperhatikan peringatanmu itu. Bagaimana mungkin mereka beriman kepadamu, sementara Aku telah mencap dan menetapkan hati mereka bahwa tidak ada ruang dalam hati mereka selain diri-Ku. Pendengaran mereka Aku sumpal sehingga mereka tidak akan mendengar pembicaraan kecuali dari-Ku.

Penglihatan mereka Aku tutup dengan keagungan-Ku sehingga mereka tidak akan melihat selain kepada-Ku. Aku ridha kepada mereka, maka Aku tidak akan memarahi mereka untuk selamanya.

Penafsiran tersebut telah membalik pemahaman seratus delapan puluh derajat dari tafsir pada umumnya. Ayat yang secara lahiriah oleh mayoritas mufasir dipahami berbicara tentang sifat buruk kaum kafir yang tidak mau mendengarkan peringatan dan ajaran Rasulullah. Oleh Ibn ‘Arabi malah dipahami sebaliknya, ayat itu berisi tentang pujian Allah terhadap kaum kafir. Bagi Fayed penafsiran semacam ini dianggap telah jauh melampaui konteks ayat.

Baca Juga  Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 6: Apa Sebab Orang Menjadi Kafir?

Tafsir Sufi dan Pembuangan Konteks Ayat

Secara kronologis –yang dipahami mayoritas ulama-, bagian awal surah al-Baqarah berbicara terkait kronologi manusia –mukmin, kafir dan munafik. Pada ayat 1-5 membicarakan tentang tipologi kaum mukminin yang selalu taat, beriman dan patuh. Lalu pada ayat 6-7 membicarakan tipologi kaum kafir yang selalu membangkang dan tidak patuh kepada peringatan dan ajakan Rasulullah. Kemudian ayat 8 membicarakan tipologi kaum munafik yang berbeda antara ucapan dan isi hatinya. Sebagaimana penafsiran Buya Hamka

Pada ayat-ayat tersebut telah ditunjukkan bahwa orang yang akan bisa mendapat petunjuk ialah orang yang bertakwa, yaitu orang yang telah menyediakan dirinya buat percaya. Dia telah membuka hatinya untuk menerima petunjuk itu. Sehingga langkah demi langkah, syarat demi syarat dapat mereka penuhi sehingga akhirnya beroleh buat meneruskan dengan amal: pertama amal beribadat sembahyang kepada Tuhan, kedua amal murah hati dan murah tangan memberi kepada sesama manusia. Tetapi orang yang kafir, sukarlah buat dimasuki oleh petunjuk itu.

Telah diketahui dari penafsiran umum sebelumnya bahwa orang-orang kafir yang hatinya telah dikunci oleh Allah tidak akan mampu beriman pada Allah. Ayat ini merupakan kabar gembira bagi Rasulullah. Bahwa orang-orang kafir merupakan golongan orang yang telah terkunci hatinya. Sehingga mereka membangkang, acuh, dan tidak akan mendapatkan hidayah dari Allah.

Penafsiran Abu Junayd Al-Baghdadi Terhadap Surah Al-A’raf: 169

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ وَرِثُوا الْكِتَابَ يَأْخُذُونَ عَرَضَ هَذَا الْأَدْنَى وَيَقُولُونَ سَيُغْفَرُ لَنَا وَإِنْ يَأْتِهِمْ عَرَضٌ مِثْلُهُ يَأْخُذُوهُ أَلَمْ يُؤْخَذْ عَلَيْهِمْ مِيثَاقُ الْكِتَابِ أَنْ لَا يَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ وَدَرَسُوا مَا فِيهِ وَالدَّارُ الْآَخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ (169)

Maka setelah mereka, datanglah generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini. Lalu mereka berkata, “kami akan beri diberi ampun.” Dan kelak jika harta benda dunia datang kepada mereka sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah mereka sudah terikat perjanjian dalam Kitab (Taurat) bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah, kecuali yang benar, padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut didalamnya? Negeri akhirat itu lebih baik bagi mereka yang bertakwa. Maka tidakkah kamu mengerti?

Al-Junayd memaknai kata darasu dengan taraku (mereka meninggalkan). Padahal yang dimaksud kata darasu pada konteks ayat tersebut adalah al-dars yang berarti al-tilawah (membaca atau mempelajari) sebagaimana dalam surah Ali ‘Imran: 79. Dengan begitu, pada al-Junayd di sini terlihat kurang teliti dalam memilah makna. Sehingga kesimpulan yang didapat jauh dari konteks ayat. Berbeda dengan penafsiran yang secara umum diyakini, sebagaimana milik Buya HAMKA:

Baca Juga  Mengenal Perbedaan Sab’atu Ahruf dan Qiraat Sab’ah

Penafsiran Buya HAMKA

Setelah dua golongan yang telah Kami kelompokkan tadi, akan datang satu generasi yang jahat. Mereka memang telah mewarisi Tawrât dari leluhur mereka, tetapi mereka tidak mengamalkannya. Kesenangan dunia lebih mereka utamakan ketimbang kebenaran. Mereka akan selalu berkata, “Allah pasti mengampuni apa yang kami lakukan.”

Seakan-akan mereka mengharapkan ampunan, padahal jika mereka diberikan lagi kesenangan dunia seperti sebelumnya, mereka tidak ragu untuk mengambilnya. Begitulah, mereka adalah sekelompok orang yang di samping memohon ampunan, tetapi dalam waktu yang sama melulu melakukan dosa. Allah mencela mereka yang memohon ampun tapi tetap berbuat dosa, seraya berfirman:

“Sesungguhnya kami telah mengambil janji mereka di Tawrât. Mereka telah mempelajari isinya, dan seharusnya mereka mengatakan kebenaran. Tetapi mereka malah mengatakan kebatilan! Sesungguhnya kenikmatan akhirat yang diperuntukkan bagi mereka yang bertakwa, lebih baik dari segala kesenangan dunia. Apakah kalian tetap memungkiri hal ini? Jika demikian halnya, berarti kalian tidak bisa membedakan bahwa kenikmatan akhirat itu sungguh lebih baik ketimbang kesenangan dunia yang kalian lebih utamakan!”

Penyunting: Bukhari