Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Telaah Perkembangan Pemikiran Tafsir Era Kontemporer

Sumber: https://www.thegospelcoalition.org/

Jika dilihat sekilas, memang tidak ada bedanya antara tafsir kontemporer dengan tafsir klasik, keduanya memang difokuskan untuk menyelaraskan pesan al-Qur’an dengan kondisi zamannya. Namun, di era kontemporer dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi faktor utama yang mengarah pada tuntutan baru.

Hal lain yang turut mempengaruhi tafsir kontemporer adanya beberapa dasar pemikiran modern yang telah terlebih dahulu ada dalam merespon al-Quran. Sehingga tafsir di era kontemporer memiliki paradigma yang berbeda dengan tafsir di masa awal.

Jika pada tradisi penafsiran klasik prinsip bahwa al-Qur’an Shalih likulli zaman wa makan dipahami secara paksa pada konteks apapun kendala teks Al-Quran. Akibatnya, pemahaman-pemahaman yang muncul cenderung tekstualisasi dan literasi.

Maka pada tafsir kontemporer, prinsip tersebut dipahami lebih kontekstualisasi. Sehingga hasil penafsirannya bukan hanya pada persoalan makna kata, tapi lebih kepada penemuan ideal moral dari tiap ayat Al-Qur’an. Hal ini merupakan hasil kolaborasi penggunaan analisis makna kata, analisis sosial, dan analisis historis. Oleh karenanya, dalam artikel ini akan dibahas tentang telaah perkembangan, paradigma, dan perdekatan tafsir era kontemporer.

Tafsir Al-Qur’an Kontemporer

Kata tafsir secara etimologi berasal dari Bahasa Arab dari kata Fassar-Yufassiru-tafsiran. Yang artinya memeriksa-memperhatikan, atau penjelasan dan komentar. Secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap lafal-lafal Al-Qur’an dan pemahamannya.

Sementara kata kontemporer berarti sezaman atau sewaktu atau bisa juga pada masa kini, atau dewasa ini. Pada dasarnya tidak ada kesepakatan yang jelas tentang arti istilah kontemporer. Misal, apakah istilah kontemporer meliputi abad ke 19 atau hanya merujuk pada abad ke 20 sampai dengan abad 21.

Menurut Ahmad Syribasyi, yang dimaksud dengan periode kontemporer adalah sejak abad ke 13 hijriyah atau akhir abad ke 19 M sampai sekarang ini. Kiranya tak berlebihan bila istilah kontemporer ini mengacu pada pengertian era yang relevan dengan tuntutan kehidupan modern.

Pengertian seperti ini sejalan dengan pengertian Tajdid. Yakni usaha untuk menyesuaikan ajaran-ajaran agama dengan kehidupan kontemporer. Melalui jalan mentakwilkan atau menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta kondisi sosial masyarakat.

Baca Juga  Beberapa Karakteristik Paradigma Tafsir Kontemporer (2)

Selain itu, kemunculan tafsir kontemporer erat sekali dengan mulai munculnya istilah pembaharuan yang dipopulerkan oleh ulama modern. Mereka menginginkan pendekatan dan metodologi baru dalam memahami Islam.

Paradigma Tafsir Kontemporer

Persepsi para pembaharu memandang bahwa pemahaman Al-Qur’an yang terkesan jalan di tempat. Ahli-ahli mereka memandang bahwa metodologi klasik telah menghilangkan ciri khas Al-Qur’an sebagi kitab yang sempurna dan komplit. Sekaligus dapat menjawab segala permasalahan klasik maupun modern.

Sebagaimana Fazlur Rahman, ia menggagas metode tematik kontekstual. Menurutnya, ayat-ayat Al-Qur’an tidak bisa dipahami hanya secara literal saja, sebagaimana yang dipahami oleh para oleh para penafsir klasik. Menurutnya, memahami Al-Qur’an dengan cara mengambil makna harfiahnya saja bukan hanya akan menjauhkan dari petunjuk yang diberikan Al-Qur’an, melainkan hal itu juga merupakan upaya pemaksaan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an itu sendiri.

Ditambah, pesan yang ingin disampaikan oleh Al-Qur’an kepada umat manusia bukanlah makna yang ditunjukkan oleh ungkapan harfiah itu sendiri. Melainkan ideal moral yang ada dibalik ungkapan literal tersebut. Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Qur’an harus dipahami dari sisi pesan moral dan maqashid asy-syari’ah-nya.

Sehingga, menemukan pesan moral yang terkandung dalam Al-Qur’an. Kemudian ia pun mengusulkan tentang urgensi pada pengkajian situasi dan kondisi historis yang melatar belakangi turunnya ayar-ayat Al-Qur’an. Baik berupa asbabun nuzul, maupun situasi sosial politik, ekonomi, budaya, juga peradaban masyarakat saat Al-Qur’an diturunkan.

Selaras dengan itu, kajian Al-Qur’an dalam khazanah intelektual Islam memang tidak pernah berhenti. Setiap generasi memiliki tanggung jawab masing-masing untuk menyegarkan kembali kajian Islam sebelumnya. Kemunculan metode tafsir kontemporer dia ntaranya dipicu oleh kekhawatiran yang akan ditimbulkan ketika penafsiran Al-Qur’an dilakukan secara tekstual. Mereka mengabaikan situasi dan latar belakang turunnya suatu ayat sebagai data sejarah penting.

Prinsip Tafsir Kontemporer

Sebagaiman telah disinggung di awal, bahwa Tafsir era kontemporer adalah tafsir ayat Al-Qur’an yang disesuaikan dengan kondisi kekinian atau saat ini. Namun, ada perbedaan secara prinsip dalam tafsir Al-Qur’an di abad kontemporer dengan sebelumnya.

Prinsip-prinsip tersebut dibangun atas paradigma yang ada pada abad ini. Paradigma itu sendiri lahir atau dirumuskan oleh para ahli. Karenanya disiplin ilmu tafsir menghadapi berbagai tantangan dalam era modern. Sehingga beberapa ulama menyimpulkan dari paradigma prinsip tersebut yaitu:

Baca Juga  Mengenal Al-Mizan, Kitab Tafsir Karya Thabathaba'i

Pertama, tafsir kontemporer ini lebih bersemangat dalam mengembalikan Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk. Kedua, berbeda dengan tafsir klasik yang berkonsentrasi pada kajian makna kata. Dari dari segi I’rab dan penjelasan dari segi teknis kebahasaan yang dikandung oleh redaksi ayat. Maka paradigma tafsir kontemporer lebih menitik beratkan pada kajian epistemologis dan metodologis Ketiga, berbeda dengan tafsir klasik yang menggunakan praktik penafsiran yang linier, sedangkan tafsir kontemporer lebih memiliki paradigma yang bernuansa hermeneutik.

Adapun pendapat Roger Trigg, hermeuneutika merupakan suatu model penafsiran terhadap teks tradisonal, dimana suatu permasalahan harus selalu dapat dipahami dalam konteks kekinian yang situasinya berbeda. Oleh karenanya, nuansa hermeneutika yang menonjol pada tafsir kontemporer, membuat mereka selalu curiga pada adanya kepentingan ideologis yang ada di balik teks tersebut.

Keempat, paradigma tafsir yang terakhir ini adalah konsekuensi logis dari tiga paradigma di atas. Karena tafsir kontemporer didasarkan pada semangat mengembalikan dan membuktikan Al-Qur’an sebagai hidayah, rahmat untuk semua penghuni alam semsesta. Sebagaimana pendapat Abdul Mustaqim bahwa “keilmiahan bisa dilihat dari produk tafsir kontemporer yang dapat diuji kebenarannya berdasarkan konsitensi metodologi yang dipakai dan siap menerima kritikan dari konsumsi akademik.”

Problem Pendekatan Tafsir

Selanjutnya dari sisi pendekatannya, istilah pendekatan dalam kajian metodologi tafsir masih sering diperdebatkan. Mungkin karena kajian tentang metodologi tafsir masih terbilang baru jika dibandingkan dengan tafsir dalam arti produk tafsir. Sehingga istilah pendekatan tersebut biasa disebut dengan ittijah ah al-tafsir atau lebih populer dengan istilah corak tafsir.

Berdasarkan teori yang ada, maka corak tafsir adalah kecenderungan yang dimiliki oleh masing-masing penafsir. Yang kemudian menjadi pandangan para penafsir dalam tafsirnya sekaliguswarna pemikiran mereka terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Oleh sebab itu, keberadaannya hanya untuk tafsir yang menggunakan metode tertentu saja.

Menurut ajuan para pakar dan cendekiawan, corak tafsir dikelompokan menjadi dua alasan sebagai berikut:

Baca Juga  Ragam Bentuk Living Quran dalam Pendekatan Ilmu Sains

Pertama, corak tafsir muncul disebabkan oleh latar belakang mufassir ketika menafsirkan Al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan kaidah dalam ilmu tafsir. Kedua, corak tafsir muncul didasarkan kepada tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu oleh penafsir pada saat akan menafsirkan Al-Qur’an. Sehingga menurut hemat penulis, dua alasan diatas mengarah pada kesimpulan bahwa corak tafsir itu sama dengan pendekatan tafsir. Oleh karenanya, pada saat membuat penilaian tentang pendekatan suatu tafsir, maka harus terlebih dahulu diketahui apakah berdasarkan latar belakang mufassir atau tujuan telah ditetapkan terlebih dahulu oleh mufassir. Sehingga jika hal ini tidak dilakukan, maka yang akan terjadi adalah ketidak tepatan dalam penilaian.

6 Pendekatan Kontemporer

Adapun tafsir pada abad ini memiliki ragam pendekatan yang berbeda daripada abad sebelumnya. Pendekatan tersebut sebagaimana berikut:

Pertama, adalah pendekatan ilmiah. Hal itu mengeharuskan penafsir dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an untuk cenderung menyelaraskan antara teori ilmiah atau aspek metafisika alam dengan ayat Al-Qur’an. Kedua, adalah pendekatan semantik. Sebagai kalam Allah, susunan teks Al-Qur’an sangat beragam, jumlah kata-kata Al-Qur’an adalah terbatas, sedang ruang waktu pemberlakuannya hampir tak terbatas. Ketiga, adalah pendekatan hermeuneutika. Pendekatan ini telah mengilhami para sarjana muslim kontemporer untuk membuka wacana baru seperti, Hasan Hanafi, Farid Esack, dan Nasr Hamid Abu Aid, dalam melakukan interpretasi.

Keempat, adalah pendekatan ilmu-ilmu sosial. Pendekatan ini sudah dikenal di awal abad modern yang lalu. Persentuhan denganperadaban barat disebut-sebut sebagai stimulus lahirnya pendekatan ini dalam dunia Islam. Kelima, adalah pendekatan yang bersifat mengarah pada pembebasan. Pendekatan ini sangat berkonsentrasi pada kesenjangan sosial, ditambah para Mufasir kontemporer mencoba menganalisis sebab-sebab adanya kesanjangan itu, yang mana pendekatan ini menyelaraskan dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan mengkontekstualisasikan pada fenomena kasus-kasus yang ada. Keenam, adalah pendekatan plularisme agama. Budhi Munawar Rahman menyimpulkan bahwa filsafat atau teologi pluralisme dan dialog antar umat beragama mensyaratkan dialami antar umat beragama sebegai elemen penting dalam berinteraksi dengan agama-agama lain.

Penyunting: Ahmed Zaranggi