Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Tafsir At-Tanwir Al-Baqarah Ayat 183: Kewajiban Berpuasa Ramadhan

Umat Muslim seluruh dunia kembali memasuki bulan Suci Ramadhan tahun 1443 H. Bulan di mana diwajibkan bagi setiap umat Islam untuk berpuasa sebulan penuh sebagai bentuk menjalankan perintah Allah Swt. Sebagian Muslim mengetahui bahwa dasar dari perintah diwajibkannya berpuasa di bulan Ramadhan ini adalah sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 183. Ayat ini mungkin sering kita dengar yang banyak dibacakan para khatib dan penceramah ketika memasuki bulan suci Ramadhan.

Perlu kita pahami bersama bahwa, menjalani puasa Ramadhan haruslah dengan mengetahui alasan dan dasar hukumnya yang jelas kenapa diwajibkan. Apalagi puasa merupakan salah satu rukun dalam rukun Islam yaitu yang ke-4. Jangan sampai niat puasa yang kita jalani di bulan Ramadhan hinggat saat ini, sekedar ikut-ikutan teman atau karena disuruh orang tua. Mungkin sebagai pembelajaran untuk anak-anak dimaklumin, namun apakah kita yang telah mencapai baligh ini masih meragukan bahwa berpuasa di bulan Ramadhan itu adalah wajib?

Berikut akan penulis jelaskan tafsiran surah al-Baqarah ayat 183 dalam Tafsir At-Tanwir Muhammadiyah

Kewajiban Berpuasa bagi Orang Beriman

Allah Swt berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ – ١٨٣

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa

Kata seru “Ya” dalam penggalan awal “ya ayyuhallazina amanu” merupakan bentuk paramasastra Arab yaitu kata seru untuk memanggil orang pada jarak jauh atau yang sama dengan jarak jauh seperti orang tidur. Namun terkadang juga digunakan untuk memanggil orang pada jarak dekat guna memberi penekanan dan menimbulkan efek panggilan yang lebih mengesankan.

Baca Juga  Maqashid Syariah: Esensi dan Kesesuaian dalam Al-Qur'an

Seruan ini dikhususkan hanya kepada orang yang beriman, dan tidak kepada semua manusia (“ya ayyuhannas”) karena hanya orang beriman yang mampu menjalankan ibadah puasa ini. Namun kenapa digunakan sapaan dengan kata seru? Guna menunjukan bahwa isi pesan yang diserukan adalah amat penting dan agar efek saapaan itu lebih membekas.

Sedangkan kata as-siyam atau as-saum secara harfiah berati menahan diri atau tidak melakukan sesuatu. Namun terdapat perbedaan antara dua kata tersebut, kalau as-siyam menunjukan terminologi syariah berpuasa dan sedangkan as-saum dipakai untuk menunjukan arti diam (tidak melakukan sesuatu.

Dalam pengertian terminologi syariah puasa, Tafsir At-Tanwir Muhammadiyah mengutip dari Tafsir Al-Manar, Tafsir Al-Qurthubi dan kitab fiqih Maus’at al-fiqih karya Zuhailli. Puasa (as-siyam) adalah tidak makan, tidak minum, dan tidak berhubungan badan suami-istri sejak terbit fajar hingga terbenam matahari dengan niat melaksanakan perintah Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.

Puasa yang Diwajibkan Umat Sebelumnya

Jelas bahwa dari terminologi puasa adalah sebuah kewajiban perintah untuk menahan lapar dan haus serta hal-hal yang membatalkannya. Perintah puasa juga telah diwajibkan di kalangan orang-orang sebelum Islam. Penyebutan bahwa puasa juga telah diwajibkan kepada umat terdahulu untuk memberi penekanan arti penting puasa dan sekaligus memberi dorongan psikologis untuk mengamalkannya.

Kita ketahui bahwasanya amalan ibadah puasa merupakan ibadah yang berat karena harus menahan lapar dan haus lebih dari 12 jam. Sehingga disebutkan umat terdahulu juga diwajibkan puasa bahwa sebenarnya ingin memberikan pengertian bahwa kepada umat Muslim, kalau puasa bukanlah ibadah yang berat dan bukan suatu yang tidak lazim karena biasa dilakukan oleh umat-umat terdahulu.

Puasa yang pernah dilakukan Nabi sebelum disyariatkan puasa Ramadhan adalah puasa Asyura. Dalam suatu riwayat hadits dari Ibnu Abbas, pernah suatu ketika Nabi Saw melihat orang-orang Yahudi di Madinah berpuasa Asyura dan menanyakannya. Orang Yahudi menjawab, bahwa puasa Asyura (10 Muharam) ini adalah hari di mana Bani Israil diselamatkan Allah maka Nabi Musa melakukan puasa di hari itu.

Baca Juga  Peran Dzikir dalam Menjaga Kesehatan Mental dan Kebahagiaan Hidup

Lalu setelah mengetahui bahwa puasa tersebut adalah puasa yang pernah dijalani Nabi Musa As, Nabi Muhammad Saw melakukan puasa Asyura pada hari itu dan memerintahkan umat Islam mempuasainya. Puasa Ramadhan mulai disyariatkan pada tahun kedua hijriah Nabi Saw, sedangkan puasa Asyura diperintahkan beliau pada bulan Muharam di tahun yang sama.

Berpuasa Mencapai Kulminasi Taqwa

Lirik lagu “Ada anak bertanya pada bapaknya, buat apa kita berlapar-lapar puasa?” , seakan menjadi tanda tanya bagi logika anak kecil buat apa berpuasa? Di bulan-bulan lain yang biasanya makan dan minum sesuka hati, kok hanya di bulan Ramadhan kita harus menahan lapar dan haus di siang hari? Lagu tersebut sebenarnya membawa pesan, bahwa makna puasa ini haruslah dipahami dengan ilmu serta niat tujuannya, agar puasa yang kita jalankan sebagaimana yang diingatkan Nabi Saw tidaklah sekedar hanya menahan lapar dan haus saja.

Tujuan puasa secara gamblang Allah Swt terangkan di akhir ayat 183 surah al-Baqarah. Bahwa dalam kalimat “La’allakum tattaquun”, pada kata la’alla adalah untuk menunjukkan harapan terwujudnya sesuatu. Oleh karena itu dalam Tafsir At-Tanwir diterjemahkannya “Semoga kamu bertaqwa”.

Pemikiran bahwa puasa merupakan hanya ibadah fisik harus kita tinggalkan, karena hikmah puasa tidak hanya melatih kesehatan fisik kita, namun juga merevitalisasi kembali mental dan spritual keimanan kita kepada Allah Swt. Berpuasa tidak hanya menahan lapar dan haus saja, namun juga meninggalkan hal yang dapat merusak kualitas puasa kita. Taqwa yang dijanjikan Allah Swt membentuk manusia kembali taqarrub pada Allah Swt dan menjauhi segala larangannya harus kita gapai, sehingga setelah Ramadhan berakhir menjadi insan yang fitrah (suci).

Baca Juga  Mengambil Pelajaran Rasa Kepo Kisah Nabi Adam dan Hawa di Surga