Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Yurīdu Bikumul Yusrā : Telaah Tafsir atas Konsep “mudah” dalam surat Al-Baqarah Ayat 185 Perspektif Tafsir Ibn Katsir

Katsir
Sumber: Youtube.com Pustaka Imam Asy Syafii

Pada zaman jahiliyah, kehadiran Islam memberikan dampak yang signifikan. Tradisi masyarakat Arab yang sering meminum minuman haram (khamr), mempermainkan wanita, melaksanakan kepemimpinan oligarki, dan merendahkan derajat manusia karena perbedaan status drajat sosial, menjadi pudar seiring masuknya ajaran Agama Islam. Sejak zaman ini, Agama Islam dikatakan sebagai agama yang mecerahkan, memberikan keadilan bagi seluruh umat manusia, dan Agama perdamaian.

Meskipun demikian, agaknya anggapan tersebut tak lagi dihiraukan. Seiring berjalannya zaman, muncul persepsi bahwa Islam adalah agama yang menyulitkan. Tak jarang dijumpai orang yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang terlalu mengatur atau Islam adalah agama yang mengekang. Persepsi seperti ini bisa muncul, tidak lain dan tidaklah bukan disebabkan oleh kedangkalan pengetahuan tentang Agama Islam itu sendiri.

Sebagaimana kehadiran pertama Agama Islam, yaitu Agama yang mencerahkan dan memberikan perdamaian, maka mustahil jika Islam itu dikatakan sebagai agama yang sulit atau mengekang. Sebaliknya, Islam adalah agama yang mudah, tidak memaksa. Salah satu ayat yang menunjukkan bahwa Islam agama yang mudah adalah surat al-Baqarah [2]: 185. Pada tulisan ini penulis akan mengurai ayat tersebut dari perspektif Tafsir Ibn Katsir.

Selayang Pandang Tafsir Ibnu Katsir

Tafsir ini dikarang oleh Imam al-Din Abu al-Fida’ ismail bin al-Khatib Syihab al-Din Abi Hafshah Umar bin Katsir al-Quraisy asy-Syafi’i, atau yang dikenal dengan Imam Ibn Katsir. Beliau lahir di Basrah pada tahun 700H / 1300M. Adapun tafsir yang ditulisnya berjudul Tafsīr al-Qur`ān al-‘Adzīm atau yang dikenal dengan nama Tafsīr Ibnu Katsīr. Tafsir ini tergolong pada tafsir abad pertengahan (abad ke-8 H/ abad ke-15 H). Tafsir ini terdiri dari 8 jilid dengan menggunakan bentuk penafsiran bil ma’tsūr yaitu dengan mencantumkan riwayat-riwatyat yang memiliki keterkaitan dengan ayat yang dibahas. Selain itu, Imam Ibnu Katsir juga menggunakan metode analitis (tahlīli), yaitu dengan menafsirkan secara runtut dari surat al-Fatihah sampai dengan surat al-Nas. Beliau juga tidak melewatkan dalam pencantuman pada aspek asbāb al-nuzul dan juga munasabat ayat yang saling berhubungan dengan ayat yang dibahas.Maliki, “Tafsir Ibn Katsir: Metode dan Bentuk Penafsirannya,” Jurnal el-Umdah, Vol. 1, No. 1, (Januari-Juni, 2018).1

Baca Juga  Pandangan Imran Nazar Hosein tentang Uang

Tafsir Yusr (mudah) Dalam Tafsir Ibn Katsir

Dalam bahasa arab, makna kemudahan dapat diartikan dengan kata yusr dan sahl. Adapun pada surat al-Baqarah [2]: 185, term yang digunakan yaitu yusr. Adapun bunyi kalim2atnya yaitu:

…يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ…

Mengenai ayat ini, Imam Ibnu Katsir menafsirkan dengan membeberkan beberapa persoalan. Persoalan pertama yaitu mengenai puasa ketika sedang melakukan safar. Dalam hal ini, ada perbedaan pendapat ulama’. Ada yang mengatakan lebih utama berpuasa, ada juga yang mengatakan lebin utama berbuka (membatalkan puasa). Mengenai hal ini, Imam Ibn Katsir mencantumkan hadis Nabi Muhammad saw. Suatu hari, Rasulullah pernah ditanya mengenai puasa yang dilaksanakan ketika safar, kemudian Rasulullah menjawab: مَنْ أَفْطَرَ فحَسَن، وَمَنْ صَامَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ “bagi siapa yang berbuka, maka itu baik. Dan bagi siapa yang berpuasa, maka tidak mengapa baginya.”

Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa Hamzah bin Amru Al-Islami pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, saya adalah oang yang sering berpuasa, maka apakah saya harus berpuasa ketika sedang safar?” Beliau menjawab: إِنْ شِئْتَ فَصُمْ، وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ “Jika kamu menghendaki, berpuasalah, dan jika kamu menghendaki, berbukalah.”

Islam Agama yang Mudah

Persoalan yang kedua yaitu mengenai meng-qadha’ puasa. Dalam hal ini, Imam Ibn Katsir menyebutkan ada dua pendapat. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa meng-qadha’ puasa wajib dilakukan secara berturut-turut. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa meng-qadha’ puasa tidak harus dilaksanakan secara berturut-turut, pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf dan khala. Mengenai hal ini, Imam Ibnu Katsir juga meriwayatkan bahwasannya Rasulullah Saw bersabda: إن خَيْرَ دِينِكُمْ أَيْسَرُهُ، إِنَّ خَيْرَ دِينِكُمْ أَيْسَرُهُ “sebaik-baik dari agama kalian adalah yang paling mudah, sebaik-baik dari agama kalian adalah yang paling mudah.”

Baca Juga  Empat Metode Ibnu Katsir dalam Menafsirkan Al-Qur'an

Di akhir penjelasan penggalan ayat ini, Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwasannya makna daripada ayat ini yaitu Allah memberikan rukhshah kepada manusia untuk berbuka atau membatalkan puasa ketika sedang sakit, safar, ataupun udzur-udzur yang lainnya. Hal itu disebabkan karena Allah menginginkan kemudahan bagi manusia. Allah memerintahkan manusia untuk meng-qadha’ adalah dengan tujuan agar puasanya di bulan ramadhan menjadi sempurna.3

Penutup

Dari penjelasan Imam Ibn Katsir di atas mengenai rukhshah dalam berpuasa di bulan Ramadhan, dapat diketahui bahwasannya Islam adalag agama yang mudah. Dan Allah selalu menghendaki kemudahan bagi umat manusia. Adapun jika suatu hal dalam Islam dianggap sulit oleh manusia. Maka yang perlu diperbaiki adalah perspektif manusia terhadap hal yang dianggapnya sulit tersebut. Karena mustahil bagi Allah untuk mengingkari perkataannya: يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ.

  1. Maliki, “Tafsir Ibn Katsir: Metode dan Bentuk Penafsirannya,” Jurnal el-Umdah, Vol. 1, No. 1, (Januari-Juni, 2018). ↩︎
  2. Muhammad Fairuz, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2007). ↩︎
  3. Ibnu Katsir, Tafsīr Ibnu Katsīr Jilid 2, (Sukoharjo: Insan Kamil, 2021). ↩︎

Editor: Trisna Yudistira