Pandangan orientalis terhadap Al-Qur’an telah menjadi ruang diskusi yang panjang dan penuh kontroversi. Salah satu tokoh penting dalam kajian ini adalah Stefan Wild, seorang orientalis Jerman yang banyak menyoroti aspek linguistik, semantik, dan perkembangan pemahaman umat Islam terhadap Al-Qur’an dalam lintasan sejarah.
Stefan Wild tidak serta-merta menolak kedudukan Al-Qur’an sebagai wahyu, tetapi lebih menempatkannya sebagai objek kajian filologis dan historis. Ia menyoroti bagaimana teks Al-Qur’an dibaca, dimaknai, dan dikontekstualisasikan dalam berbagai masa dan tempat.[1] Dalam hal ini, wahyu dalam pandangan orientalis bukan lagi menjadi pengalaman spiritual semata, tetapi juga produk yang mengalami proses pemaknaan sosial dan budaya.
Stefan Wild: Kritik terhadap Stagnasi Pemahaman Kaum Muslimin
Salah satu kritik Wild yang mencolok adalah tentang bagaimana umat Islam memperlakukan Al-Qur’an lebih sebagai artefak suci yang tekstualitasnya harus terjaga, alih-alih memahaminya sebagai wahyu yang terus hidup dan dinamis. Ia menganggap bahwa stagnasi umat Islam dalam memahami Al-Qur’an bermuara dari sikap konservatif yang menghindari pendekatan baru terhadap teks.[2]
Pandangan ini memang problematis, tetapi juga menggugah. Di era modern seperti sekarang, pendekatan kritis terhadap teks keagamaan semakin urgen untuk menjawab tantangan zaman. Wild, meski berasal dari luar tradisi Islam, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sah: apakah pemahaman kita terhadap wahyu masih relevan? Apakah kita masih menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup atau sekadar simbol?[3]
Di sisi lain, kritik Wild bisa menjadi refleksi bahwa umat Islam perlu membuka diri terhadap pendekatan multidisipliner. Al-Qur’an bisa dibaca dari berbagai kacamata: linguistik, sosiologis, filosofis, bahkan psikologis. Ini bukan untuk menanggalkan iman, tetapi untuk memperdalam makna wahyu dalam konteks kehidupan kontemporer.
Orientalisme memang sering mendapat tuduhan sebagai proyek politis dan kolonial. Namun, sebagian hasil kajiannya tak bisa terabaikan begitu saja. Stefan Wild, dalam banyak tulisannya, tidak sedang melecehkan wahyu, melainkan mencoba mengangkat diskusi ke ranah akademik dan kritis.[4] Ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi kaum muslimin untuk menjawab dengan karya, bukan sekadar kecaman.
Telaah Pemikiran Wild: Sebuah Relevansi di Era Digital
Membaca Wild di era digital sekarang menjadi lebih relevan. Ketika generasi muda muslim mencari makna di tengah derasnya informasi, pemahaman terhadap wahyu pun perlu ditransformasikan. Kita tidak bisa hanya mewarisi makna, tapi harus ikut menghidupkan dan mengkonseptualisasikannya ulang dalam narasi zaman.
Dengan demikian, pemikiran Stefan Wild tidak harus dianggap sebagai ancaman, tetapi sebagai cermin. Bahwa pemahaman terhadap Al-Qur’an tak boleh stagnan. Wahyu yang sejati adalah yang mampu menembus ruang dan waktu, menjawab realitas, dan membentuk manusia yang sadar atas tugas spiritual dan sosialnya.
Wild menyoroti pentingnya memahami Al-Qur’an bukan hanya sebagai teks akhir yang dikodifikasi dalam mushaf, tetapi sebagai hasil dari proses pewahyuan yang panjang dan kompleks. Ia melihat istilah seperti nuzūl, tanzīl, dan inzāl bukan sekadar sinonim, melainkan sebagai indikator adanya dinamika spiritual dan linguistik yang menyertai wahyu.[5] Dengan demikian, wahyu tidak bisa dipahami hanya dari bentuk akhirnya, tetapi harus ditelusuri dalam proses penyampaian dan penerimaan Nabi terhadap pesan ilahi.
Ia juga membahas pergeseran makna dalam simbol-simbol Al-Qur’an, seperti kata ḥūr (bidadari), yang menurutnya memiliki konteks sosial dan geografis tertentu. Ini menunjukkan bahwa pemahaman terhadap wahyu tidak bisa lepas dari pengaruh budaya dan bahasa Arab saat itu.[6] Stefan Wild dengan demikian mengingatkan bahwa wahyu adalah realitas transenden yang menembus batas bahasa, tapi pada saat yang sama juga diwadahi oleh bahasa manusia yang terbatas.
Rekonstruksi Pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Wahyu di Indonesia
Dalam konteks Indonesia, di mana umat Islam merupakan mayoritas, diskursus tentang wahyu dan penafsiran sering kali terbingkai dalam narasi tradisional. Pemikiran seperti Wild bisa menjadi pemantik bagi kaum muda untuk mempertanyakan kembali makna wahyu secara lebih segar dan reflektif. Ini bukan soal meniru Barat, melainkan membuka ruang berpikir yang lebih luas.
Generasi muslim saat ini dihadapkan pada tantangan yang kompleks: teknologi, krisis lingkungan, ketimpangan sosial, hingga konflik identitas. Dalam situasi seperti itu, pembacaan terhadap Al-Qur’an harus mampu memberikan arah. Wild, dengan pendekatannya yang historis dan semantik, mengingatkan kita agar tidak terjebak pada kemapanan makna.
Tentu, kita tidak harus sepakat dengan semua gagasan orientalis. Namun, sebagai pelajar dan pencari ilmu, menolak tanpa memahami bukanlah sikap yang ilmiah. Justru dengan mengkaji karya-karya mereka secara kritis, umat Islam bisa membangun tradisi intelektual yang lebih kuat dan tangguh.
Akhirnya, Stefan Wild mengajarkan kita untuk tidak takut bertanya. Ia membuka ruang bagi kita untuk berdialog dengan teks, tradisi, dan dunia luar. Wahyu bukan hanya soal keyakinan, tetapi juga soal keberanian menafsirkan ulang untuk menjawab realitas.
Referensi
[1] Moh. Achwan Baharuddin, “Konsep Pewahyuan Al-Qur’an Menurut Stefan Wild”, Suhuf, Vol. 8, No. 1 (2015), h. 166-167.
[2] Moh. Khoeron, “Kajian Orientalis terhadap Teks dan Sejarah Al-Qur’an”, Suhuf, Vol. 3, No. 2 (2010), h. 236.
[3] Moh. Achwan Baharuddin, “Konsep Pewahyuan Al-Qur’an Menurut Stefan Wild.., h. 168-169.
[4] Siti Fahimah dan Vika Madinatul Ilmi, “Pandangan Orientalis Atas Al-Quran Studi Tokoh Atas yang Pro dan Kontra”, Al Furqan: Jurnal Ilmu Al-Quran dan Tafsir, Vol. 5, No. 2 (2022), h. 295.
[5] Moh. Achwan Baharuddin, “Konsep Pewahyuan Al-Qur’an Menurut Stefan Wild.., h. 167-173.
[6] Ibid., h. 166.
Editor: Dzaki Kusumaning SM
























Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.