Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Utopia Kelahiran Neo-Cak Nur (2): Zaman Berbasis Citra

Citra
Sumber: minews.com

Padahal, adanya embel-embel Islam Nusantara, atau Islam Berkemajuan, adalah manifestasi dari zaman yang terus berkembang. Ia adalah akibat dari perkembangan pemikiran manusia. Sementara, Islam dengan doktrinnya yang bersifat tetap, perlu hidup berdampingan dengan realitas yang baru.

Ustaz Yazid bin Abdul Qadir Jawaz mengemukakan dalam salah satu ceramahnya–yang sesungguhnya adalah kajian buku yang ia tulis: “Mulia dengan Manhaj Salaf”, bahwa Islam yang ideal itu ada di zaman salafus saleh, zaman hidupnya orang-orang utama dalam Islam. Yaitu era Nabi Muhammad saw. bersama para sahabat. Di sana belum ada aliran macam-macam, manhaj Islam hanya satu, yakni apa yang dikerjakan oleh Nabi dan para sahabatnya.

Persoalannya bukan pada substansi ajarannya yang berubah, melainkan pada muamalah. Bidang-bidang kegiatan manusia bertambah dari hanya sekadar beribadah dan mencari nafkah. Islam mesti disebarkan dengan menghadapi sejumlah problem sosial. Problem paling pertama dihadapi oleh umat Islam dalam sejarah adalah masalah politik penaklukan. Umat Islam, sembari menyebarkan agamanya, juga mesti memutar otak bagaimana cara mengorganisasikan kekuatan dengan baik. Juga berpikir keras bagaimana menerapkan sebuah sistem kepemimpinan yang adil dan mensejahterakan.

Lahirnya aliran-aliran di kemudian hari, tentu tidak serta-merta menandakan bahwa mereka itu melenceng karena berbeda dengan generasi Salaf. Ada suatu isu yang berkembang di zaman itu, yang sebelumnya belum pernah dibicarakan. Misalnya bagaimana hukumnya dua orang sahabat yang berselisih pasca ditinggal oleh Nabi? Juga bagaimana hukum orang mukmin pelaku dosa besar, apakah ia bisa dihukumi kafir, ataukah ia hanya sebatas mukmin yang berdosa besar?

Pada kasus konflik Muawiyah bin Abi Sufyan kontra Ali bin Abi Thalib, secara logika, jika salah satu benar maka pasti salah satunya salah. Sebab tak mungkin yang benar pada saat yang bersamaan adalah salah, pun sebaliknya. Aliran-aliran yang pertama lahir dari konflik itu–yang kemudian disebut dengan ‘Perang Shiffin ‘–awalnya berseteru soal status kedua sahabat Nabi itu, apakah mereka salah satunya berdosa besar, atau kedua-duanya? Mereka adalah Syi’ah dan Khawarij .

Baca Juga  Konsep Bilangan dalam QS. Al-Kahfi Ayat 25

Selanjutnya, lahirnya aliran lain disebabkan perdebatan status bagi pelaku dosa besar. Serta bagaimana dosa itu terjadi, apakah ikhtiar, ataukah pre-destinasi (takdir)? Di sinilah aliran-aliran lain berkembang menjadi Jabariyah, Qadariyah, Murji’ah, Muktazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah .

Bukan hanya soal aliran, lahirnya ilmu ushul fikih disebabkan adanya klasifikasi terhadap kasus-kasus yang dihadapi umat Islam belakangan, yang itu tidak terdapat di zaman Nabi, tetapi secara substansi memiliki keserupaan dengan kasus yang sudah ada.

Imam Syafi’i muncul dengan kitab ar-Risalah, turut memberi sumbangan berarti dalam kemajuan berpikir umat Islam. Kitab ar-Risalah awalnya adalah teknik memahami Islam yang dibutuhkan oleh Gubernur Basrah, Abdurrahman al-Mahdi. Lalu kemudian kitab itu malah tersebar hingga kini, dan menjadi kitab metodologi pengambilan hukum untuk kasus-kasus baru dalam Islam.

Ar-Risalah karya Imam Syafi’i menjadi dasar untuk menyusun studi al-Qur’an (ulumul qur’an), dan studi hadis (ulumul hadis). Kitab itu juga memuat dua metode umum dalam menetapkan status hukum bagi kasus-kasus baru, yakni melalui Ijma’ (konsensus para ulama) dan qiyas (analogi ke kasus terdekat).

*

Di luar sana juga ada beberapa yang berupaya mengambil jalan Cak Nur–yakni dengan berupaya menampilkan diri sebagi pemikir pluralis. Sayangnya bukan dengan modal literasi yang kuat, melainkan dengan hanya dengan ikut-ikutan.

Biasanya hal ini dipengaruhi oleh kajian-kajian post-modernisme yang dulu berkembang di mahasiswa–kini kajian-kajian itu nyaris hilang bersamaan dengan semakin menurunnya daya baca kaum intelektual muda yang bernama mahasiswa itu. Hingga waktu itu kerap muncul mahasiswa Islam yang gemar membicarakan agama lain, dengan seruan toleransi, tetapi dasar mengapa kita harus melakukannya, serta dalam batas-batas apa, ia tak tahu menjabarkan.

Adapula mahasiswa Islam, karena wacana-wacana post-modernisme, memakai salib demi mengundang kontroversi. Pada gilirannya mengundang pertanyaan, dan selanjutnya orang-orang akan memahami perlunya bersikap pluralis. Toh jika keyakinan kita terhadap Islam kuat, pakai salib segede apapun tidak akan berpengaruh.

Baca Juga  Respon Artikel: Mengenal Pembacaan Prakanonisasi Anggelika Neuwirth

Sikap seperti ini sesungguhnya salah harap, salah tafsir terhadap gagasan pluralisme Cak Nur. Pluralisme berarti membuka diri terhadap yang berbeda keyakinan, sekaligus mengambil nilai-nilai positif dari ajaran mereka yang berbeda, tetapi tidak mengubah keyakinan kita. Sikap pluralis tidak dibangun demi citra belaka, melainkan berdasarkan niatan suci demi terciptanya keadilan bagi siapa saja, menghilangkan intimidasi terhadap mereka yang secara minoritas berbeda dengan umat Islam.

Bisa dikata, bahwa sikap pluralisme fanatik tanpa wacana, juga tergolong ekstremisme. Ini justru bisa membahayakan Cak Nur, serta gagasan-gagasan Cak Nur yang akan dihidupkan di kemudian hari. Sikap pluralisme buta hanya akan mendatangkan reaksi yang semakin keras dari para tekstualis.

Para pemuka Islam tekstualis menjadi semakin leluasa menyerang gagasan-gagasan pluralisme disebabkan oleh oknum-oknum nekat seperti mahasiswa yang saya katakan di atas. Kemenangan kalangan tekstualis dalam perang wacana berpotensi membunuh gagasan pluralisme, sekaligus membunuh bibit-bibit Neo-Caknur yang akan lahir kemudian.

Jadi, jelaslah bahwa harapan akan kelahiran Neo-Cak Nur menjadi utopis karena beberapa hal: Pertama, daya baca generasi kini menurun, disertai dengan menurunnya minat pada kajian-kajian Islam interdisipliner; kedua, zaman kini menciptakan mental berbasis citra, Islam pun dipersepsi menjadi satu citra, yakni citra tekstualis, lain dari itu seolah-olah melenceng dari Islam; ketiga, semakin diminatinya kelompok-kelompok tekstualis disebabkan dua poin terdahulu; keempat, para simpatisan pemikir pluralis yang kebablasan, fanatik buta pluralisme, akan semakin mengundang reaksi keras dari para tekstualis, sehingga bibit-bibit Cak Nur baru akan terus dibunuh.

Penyunting: M. Bukhari Muslim