Cak Nur kita tahu adalah sapaan akrab dari Nurcholish Madjid, sosok raksasa pemikiran Islam Indonesia itu. Tanggal 17 maret ini (2021) diperingati hari kelahirannya oleh orang-orang yang masih bersimpati, bagi mereka yang mengidolakan pemikiran-pemikirannya.
Dua tahun yang lalu, lima bulan berlalu usai Harlah Cak Nur, kumpulan karyanya diterbitkan: seluruh karya-karyanya dalam bentuk buku dihimpun menjadi satu buku setebal 5.030-an halaman. Setahun yang lalu, buku adaptasi dari disertasi Cak Nur, “Ibn Taimiyah tentang Kalam dan Falsafah” disebarkan, bahkan diseminarkan. Semua itu dilakukan dalam rangka mengenang tokoh yang diyakini tak ada duanya itu.
Upaya mengenang tokoh–sekaligus karya–dalam harlah seperti itu dibarengi dengan harapan-harapan: semoga akan lahir orang-orang yang bisa meneruskan jalan Cak Nur; semoga datang generasi, atau paling tidak orang atau komunitas Neo-Cak Nur, yaitu mereka yang mencintai pemikiran dan peradaban Islam dan menjadikannya sebagai basis analisa serta gerakan sosial.
Neo-Cak Nur dan Zaman yang Berubah
Kedatangan Neo-Cak Nur, seperti yang didamba pada momen-momen harlah maupun haul Cak Nur, kita anggap saja lebih dangkal ketimbang mengharapkan datangnya ratu adil, sang messiah, juru selamat, atau imam Mahdi di akhir zaman. Neo-Cak Nur sebatas diharapkan, bukan dicita-citakan.
Barangkali, biarlah Cak Nur yang menjadi Cak Nur, dan ia hanya bisa hidup di zamannya Cak Nur. Sekarang masanya sudah lewat. Secara kultur dan garis pemikiran, agaknya saya lebih berpendapat bahwa ia menitis ke sosok Budhy Munawar-Rachman, murid Cak Nur di Paramadina. Hanya saja Budhy bergaya akademis, Cak Nur bergaya gerakan; gerakan intelektual-kultural.
Jika Cak Nur membangun pondasi pemikiran tentang unsur positif di dalam ajaran semua agama, Budhy mengembangkan titik temu antar agama-agama (parennialisme). Budhy Munawar-Rachman adalah tokoh intelektual saat ini yang konsen dengan pikiran-pikiran Cak Nur. Ia adalah pendiri Nucholish Madjid Society (NMSC), sekaligus pengkaji kekhasan spiritual agama-agama. Semua itu misalnya dapat kita jumpai pada grup facebook “Esoterika Forum Spiritualitas”. Budhy sering mengirim tulisan dan resensi buku tentang Sufisme Islam, Shikisme, Budhhisme, Hinduisme (sari kitab Bhagavad Ghita ), dan lain sebagainya.
Pemikiran Cak Nur harus terus membumi. Bukannya hanya terbatas di kalangan akademisi tertentu nan terbatas semata. Jika tak ada Cak Nur baru, mestinya ada Budhy-Budhy yang baru, Budhy yang lain, yang kalau tersebar di mana saja, atau sesama mereka terlibat dalam satu dialog pemikiran secara terus-menerus, niscaya menjadi Cak Nur secara kolektif.
Cak Nur kolektif, atau Cak Nur-Cak Nur baru mesti hidup mewarnai blantika pemikiran Islam Indonesia. Kalau tidak, paling minimal mengisi celah-celah atau kekosongan-kekosongan pemikiran yang saat ini hampir saja dilengkapi semuanya oleh kultur anti-intelektual yang bagai bola salju, makin hari makin membesar.
Berharap Pada Kalangan Muda?
Tetapi adakah orang-orang yang mau menyerap Cak Nur? Kalangan muda, termasuk mahasiswa, sesungguhnya yang paling diharapkan menjadi golongan yang menghidupkan kultur pemikiran dan gerakan Cak Nur. Kita berharap masih ada golongan yang masih konsen dengan pembaruan pemikiran Islam, mengembangkan pemikiran Islam yang berciri kemoderenan dan keindonesiaan, di tengah-tengah magnet dunia politik praktis yang menggiurkan.
Tak bisa dimungkiri, era post-truth turut mengalihkan perhatian calon pemikir muda sehingga memilih menjadi praktisi dan politisi. Media sosial turut membentuk satu mental berbasis citra, yang kalau mau mengerjakan apa saja mesti terutama memperhitungkan dampaknya bagi citra diri.
Dalam dunia Islam, standar-standar Islam yang baik, Islam yang benar, diseragamkan menjadi satu model, yang di dalamnya melekat suatu citra. Sehingga siapa yang berbeda dengan model itu, citra itu, maka ia bertentangan dengan Islam. Di sini, logika negasi berubah menjadi kontra-posisi. “Bukan” berubah menjadi “lawan dari”.
Islam yang dicitrakan adalah agama langit untuk kepentingan langit. Urusan dunia menjauhkan diri dari agama; ilmu pengetahuan mengeraskan hati; pengangkatan hak asasi berarti merendahkan agama; membela kaum perempuan berarti merancang suatu kedurhakaan. Islam hanya bisa dijangkau jika berkomitmen membela pemuka yang keras pemahamannya, dan bersedia mengambil posisi yang berlawanan dengan yang dihadapi pemuka yang keras itu.
Adakah yang berani mengambil posisi Cak Nur, yakni memandang Islam dalam dua wajah: doktrin dan peradaban? Cak Nur meyakini Islam adalah agama yang benar, diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw. Kitab sucinya (al-Qur’an) berisikan pedoman yang harus diterima oleh umat manusia. Pada posisi ini, Islam berperan sebagai doktrin.
Bersambung
Penyunting: M. Bukhari Muslim
Leave a Reply