Secara umum, pemahaman tentang maqashid syari’ah adalah maksud-maksud yang mana disyariatkan hukum-hukum untuk mewujudkan syariat tersebut. Maksudnya, kemaslahatan yang kembali kepada hamba-hamba Allah. Dengan tujuan membahagiakan umat di dunia dan kelak di akhirat, dengan jalan mendatangkan manfaat atau dengan menolak kemudharatan dalam hidup.
Dalam menentukan suatu fatwa, seorang mufti atau ulama harus memperhatikan maqashid syari’ah. Kemudian mendalami permasalahannya dengan sangat detail dengan dalil-dalil juz’i (khusus) dari ayat dan hadis. Lalu mengkaitkan dalil tersebut dengan al-kulliyat al-khams (lima hal yang telah disebutkan di atas). Maka dari itu, Asy-Syathibi membatasi derajat ijtihad dengan dua syarat yaitu:
Pertama, seorang mufti harus memahami maqashid syari’ah dengan sempurna sebelum menentukan suatu fatwa. Kedua, memungkinkan baginya untuk ber-istinbathh dengan bergantung pada pemahamannya terhadap maqashid syari’ah.
Suatu contoh permasalahan hukum qishash. Terjadi perselisihan madzhab Imam Syafi’i dan madzhab Imam Hanafi dalam kitab Al-Mughni milik Ibnu Qudamah (8/279). Sekelompok orang yang membunuh satu orang, menyelisih kaidah persamaan (al-mitsliyah). Akan tetapi, karena pentingnnya menjaga setiap nyawa manusia adalah maqashid syari’ah yang paling tempak. Maka ini mengharuskan untuk membunuh orang-orang tersebut yang membunuh satu orang.
Pentingnya Menguasai Maqashid Syari’ah
Jika mereka semua tidak dibunuh, maka mereka akan mengulangi kesalahan yang sama dengan membunuh secara bersama-sama dengan alasan untuk lari dari hukuman mati (qhishash). Sama dengan hukuman mati bagi pembunuh dengan keadaan tidak sadar atau mabuk. Maka dari itu, seorang mufti harus memperhatikan dengan detail syarat dalam maqashid syari’ah-nya. “Keterplesetan seorang ulama kebanyakan terjadi karena kelalaiannya dalam menimbang maqashid syari’ah dalam hal yang mana dia berijtihad di dalamnya,” kata Asy-Syathibi.
Dengan itu, fungsi maqasid adalah sebagai alat yang dipergunakan untuk mematangkan dan meluruskan ijtihad dan alat untuk memperluas ijtihad dan memungkinkan untuk menguasai kejadian-kejadian dalam kehidupan pada semua bentuk dan cabang-cabangnya. Tempat berputarnya kesalahan yang terjadi adalah pada satu pintu saja yaitu kebodohan terhadap maqashid syari’ah. Dan menganggap bahwa dirinya telah mencapai derajat ijtihad (tidak tergesa-gesa untuk mendapatkan hasil dari belajar ilmu).
Oleh karena itu, mempelajari maqashid syari’ah bertujuan juga untuk menjadi penghalang terjadinya ghuluw (melampaui batas) dan penyimpangan. Semua ini menerangkan bahwa apa yang terjadi diperintahkan oleh Allah Swt. melalui Rasul dengan keteragan hadist-hadistnya.
Hal yang paling baik untuk setiap hamba di dalam kehidupan adalah tidak menyelisihi pendapat lain dan pendapat diri sendiri dengan sengaja maupun tidak sengaja (salah) maka dia tidak akan mendapat kebaikan dari apa yang dilakukannya itu. Bahkan jika dirinya melakukan hal itu secara terus menerus, maka dirinya akan mendapat sebuah kerusakan dalam berfatwa.
Menghilangkan Kezaliman
Syari’at kita mengajarkan dan menegaskan keadilan dan menghilangkan kezhaliman di dalam muamalah (pada umumnya) dan akad–akad (pada khusus). Apabila di dalam muamalah terdapat kezhaliman yang nyata di salah satu dari dua sisi, ataupun dari kedua-duanya, maka seorang mujtahid tidak diperbolehkan berpura-pura bodoh pada permasalahan itu. Walaupun dengan alasan mencukupkan rukun-rukun dan syarat-syaratnya yang zhahir terlebih dahulu, Karena suatu kezhaliman yang jelas itu dengan nyata menyelisihi maqashid syar’iyah.
Seorang mufti pada setiap permasalahan yang dihadapinya wajib melihat dalil-dalil khusus yang terdiri dari ayat, hadis, atau qiyas. Dan juga bisa melihat kepada dalil-dalil umum dan maqashid syari’ah yang umum. Barang siapa yang berfatwa dan menghukumi tanpa menilik dan melihat kepada dalil-dalil khusus dan hanya mengambil sesuatu dari maqasid yang umum, maka sesungguhnya ia telah terjatuh pada kesalahan. Begitu juga sebaliknya.
Bahwa seorang mufti yang telah mencapai derajat yang tinggi adalah yang membawa manusia pada hal-hal yang bersifat pertengahan yang sangat cocok untuk orang-orang sekitar wilayah tersebut. Jangan sampai ia membawa pada derajat yang menggampangkan, maksudnya dengan hal tersebut membawanya kepada rukhshah–rukhshah dalam berfatwa dengan mutlaknya dan bertentangan dengan yang berjalan di pertengahan. Sebagaimana kecerobohan kepada kekerasan yang menyelisihi hal tersebut (yang pertengahan).
Leave a Reply