Ketika seseorang mempelajari fikih tentang air yang dapat menyucikan misalnya, tidak hanya berkutat pada dalil bahwa air diciptakan dengan suci (wa ja’alna al-ma’ thahura). Wudu dengan menggunakan air, bukan hanya merujuk pada fungsi air sebagai alat pembersih di samping tanah untuk tayamum. Ukuran bejana yang digunakan untuk bisa menyucikan bukan hanya karena qullatani (dua kulah). Di sana ada ukuran yang dapat dihitung. Begitu pula tentang airnya, di dalamnya terdapat unsur kimiawi air yang dapat dipelajari. Unsur kimiawi dibahas pada kimia, sementara ukuran kulah dijelaskan melalui geometri. Dari contoh ini dapat digambarkan bahwa satu titik kajian dapat dibahas oleh beberapa ilmu dan memiliki koneksi antara satu ilmu dengan ilmu lainnya. Komponen ilmu pada fikih wudu dapat dihubungkan dengan geometri pada matematika dan unsur kimiawi pada ilmu alam. Ini akan berlanjut pada fenomena yang lainnya. Ilmu memiliki koneksi dengan kajian atau ilmu lainnya atau yang disebut sebagai interkoneksi pada tulisan ini.
Mengapa Interkoneksi ilmu?
Pertanyaan ini cukup penting disajikan ketika masing-masing ilmu fokus pada kajianya. Seolah setiap ilmu punya rumah yang tidak serta merta dapat dimasuki oleh ilmu lain? Semua ilmu sejatinya sama berasal dari sesuatu yang empiris dan rasional. Pengetahuan ilmiah dihasilkan dari kontribusi sejumlah besar ilmuwan dari seluruh dunia. Sains dibangun di atas pengetahuan sebelumnya. Meskipun kadang-kadang terjadi perubahan mendadak dalam paradigma. Ilmuwan biasanya dapat menunjukkan bagaimana hasil baru sesuai dengan model yang ada. Akibatnya, jaringan model ilmiah membentuk gambaran alam yang relatif (namun tidak sempurna).
Ilmuwan perlu membangun model baru sedemikian rupa sehingga sesuai dengan jalinan pengetahuan ilmiah yang ada. Biasanya ada tim yang berbeda mengerjakan pengujian suatu model dan mereka mengomunikasikan temuan mereka melalui konferensi dan laporan. Ilmuwan diharapkan mempublikasikan hasil penelitiannya dalam jurnal ilmiah agar yang lain mendapat informasi dan dapat memberikan masukan. Mereka perlu mengutip penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian mereka sehingga orang lain dapat melihat bagaimana karya tersebut sesuai dengan gambaran yang ada. Proses ini sudah menggambarkan jalinan koneksi antara temuan setelahnya dengan sebelumnya. Interkoneksi muncul antar temuan kajian meskipun dalam satu kajian yang sama.
Setiap model ilmiah dibangun melalui kolaborasi komunitas ilmiah. Model-model seperti ini bertahan karena sesuai dan memiliki konsolidasi dalam jalinan pengetahuan ilmiah.
***
Tidak ada studi tunggal yang dipandang sebagai keputusan akhir tentang masalah tertentu. Sebaliknya, itu harus dilihat sebagai kontribusi untuk kajian. Akhirnya, ketika kumpulan studi tentang suatu topik terakumulasi, komunitas ilmiah membentuk konsensus tentang model yang benar. Beberapa studi akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap konsensus, yang lain mungkin kecil, dan yang lainnya mungkin salah.
Kadang-kadang, mata rantai yang mengikat sebuah model ke dalam jaringan pengetahuan ilmiah yang saling berhubungan mulai putus karena penemuan baru telah melemahkannya. Ini pertanda model sedang bermasalah. Ini akan digantikan oleh model baru yang menyatu lebih baik.
Prinsip penting dalam sains adalah bahwa model harus valid dalam semua konteks yang relevan. Terlepas dari disiplin ilmu, lokasi geografis, atau budaya yang digunakan, model yang sama akan berlaku. Dengan kata lain, sains itu konsisten dan terintegrasi. Tidak ada bidang ilmu yang modelnya berbenturan keras dengan model di bidang lain. Dalam hal ini, model ilmu satu dengan lainnya telah menunjukkan karakteristrik interkoneksi. Misalnya, biologi menggunakan model atom yang sama dengan kimia dan model yang menjelaskan gravitasi di tempat mana pun di bumi juga menjelaskan interaksi gravitasi antar galaksi. Atau, evolusi biologis menyatu dengan model lain dalam biologi (misalnya model genetik), kimia (misalnya struktur DNA) dan geologi (misalnya lempeng tektonik).
Landasan Interkoneksi Sains dan Keislaman
Substansi agama pun ketika ia ditafsirkan dengan metode tertentu, ia melahirkan sisi pemikiran ilmu. Teorinya dibangun pada landasan epistemologis yang valid dan reliabel dengan uji konseptual antara generasi.
Keilmuan pada agama dan sains sama sama punya posisi dalam kerangka ilmu. Keduanya memiliki dimensi konsep, teori, paradigma, dan epistemologi. Karena berawal dari sisi empiris dan rasionalnya, sejatinya ilmu dan keislaman dapat dihubungkan, bukan terpisah. Sebab, secara realita teks keagamaan, ilmu itu bersumber sama dari Allah Swt.
Abdurrazak Naufal dalam Bain al-Din wa al-‘Ilm menyatakan bahwa sumber ilmu dan sumber agama ialah satu yang tidak terpisahkan yaitu Allah SWT. Karena semuanya satu, antara ilmu dan agama tidak mungkin ada konflik. Jika diciptakan pertentangan antara keduanya dan masing-masing menempuh jalannya sendiri, niscaya hidup manusia akan rusak dan dunia akan kacau. Islam memanggil segala macam ilmu pengetahuan supaya mempersatukan diri dengan agama, dan para ahli, baik ahli ilmu pengetahuan dan ahli agama agar bersatu mengabdikan diri kepada Tuhan dan mempersatukan tekadnya untuk kebahagiaan manusia dan alam seluruhnya.
***
Naufal memandang karena setiap ilmu bersumber sama dari Allah, maka satu ilmu dengan yang lainnya dan dengan agama, tidak terpisah, melainkan satu kesatuan. Sebab, keduanya berada satu koridor yang sama untuk kesejahteraan manusia dan alam secara keseluruhan.
Apabila kita perhatikan QS. Al-‘Alaq: 1, terdapat beberapa hal yang dapat dihubungkan dengan interkoneksi keilmuan. Pertama, kata iqra’ berhubungan dengan aktivitas keilmuan dengan membaca, menghimpun, meneliti, dan menelaah apa yang ada. Kata ini berkonotasi pada proses untuk melahirkan ilmu. Kedua, frase bismi rabbika alladzi khalaqa, mengisyaratkan bahwa proses iqra’ sebagai proses keilmuan harus dikaitkan dengan ketuhanan. Ilmu yang diperoleh manusia sejatinya berasal dari Allah Swt yang telah menciptakan. Sebab, alur logisnya, apabila Allah tidak menciptakan alam, maka objek pengetahuan tidak akan ada.
Objek ilmu yang empiris sejatinya adalah penampakan yang diciptakan oleh-Nya. Objek tersebut dipelajari secara mendalam berujung melahirkan ilmu. Namun, tetap Allah sebagai pencipta yang menjadikan sumber ilmu, sehingga apa yang dihasilkan oleh proses ilmiah seharusnya dikaitkan dengan kekuasaan-Nya. Frase bismi rabbika alladzi khalaqa berkaitan dengan keislaman. Frase iqra melahirkan jenis dan model ilmu yang ditemukan sesuai dengan daya jelajah dan ketelitian manusia. Wallahu A’lam.
Editor: An-Najmi
Leave a Reply