Ada tiga golongan yang merespon lahirnya Partai Ummat: pertama, kelompok yang sinis sambil pesimis bahwa partai besutan Pak Amien Rais itu akan segera layu sebelum berkembang. Kedua, golongan yang optimis sambil menaruh harapan besar, barangkali partai ini bisa menjadi solusi atas lesunya partai Islam yang lain. Ketiga, kelompok yang biasa saja, golongan yang tidak ingin meregangkan urat untuk fenomena semacam ini: kelompok apatis.
Penulis sendiri tidak ingin ambil aman, tak tentu posisi, maka saya tidak ingin menjadi apa yang disebut Pak Amien sebagai safety player (main aman), namun bukan karena demikian saya lalu mendukung sepenuh-penuhnya gerakan politik beliau. Saya berada pada kelompok pertama, pesimis bahwa partai ini menemukan momentum puncaknya.
Untuk posisi tersebut penulis memiliki..argumen dasar: pertama, partai ummat kelihatannya hanya reaksi atas kekecewaaan pak Amien pada partai sebelumnya, Partai Amanat Nasional (PAN). Biasanya gerakan reaktif susah untuk berusia panjang. Kedua, titik tumpu Partai Ummat secara ketokohan hanya bersandar pada ketokohan Amien Rais belaka. Sehingga sewaktu-waktu beliau lesu, saya pikir partai ini segera pula layu, jika tidak gugur. Ketiga, partai ummat tidak memiliki basis massa yang kuat, kecuali pengikut pak Amien belaka. Bila dibandingkan dengan masa depan Partai Keadilan Sejahtera, Partai Ummat pada waktunya akan mengalami redup regenerasi, PKS sebagaimana kita ketahui memiliki basis massa yang cukup kuat hingga wilayah kampus, sementara Partai Ummat sebetulnya belum memiliki masa depan terang ihwal regenerasi ke depan.
Namun betapapun demikian, upaya Amien Rais untuk terlibat dalam agenda perbaikan bangsa mesti diapresiasi. Kelahiran kembali Amien Rais dan Partai Ummat setidaknya menjadi peringatan bahwa masalah perpolitikan, khususnya politik Islam sebetulnya belum selesai. Sebetulnya apa gerakan yang menimpa partai politik Islam. Sebagai kilas balik, berikut ini dijelaskan beberapa masalah tentang partai politik Islam dan kekalahanya.
Masalah Partai Politik Islam
Muhammad Sirozi dalam bukunya Catatan Kritis Politik Islam Era Reformasi (2004) pernah menggambarkan faktor utama mengapa partai politik Islam kalah oleh partai lainnya, khususnya pada Pemilu 1999. Catatan ini saya pikir masih relevan di era kedisinian: pertama, metode dan materi kampanye yang kurang tepat. Pada saat itu, kampanye-kampanye ummat Islam hanya betumpu pada gagasan normatif-verbalis belaka, yang kerap hanya mewujud ceramah-ceramah mistik tanpa program konkret.
Kedua, rendahnya kredibilitas tokoh-tokoh partai di mata ummat. Mereka oleh publik dinilai sekadar tokoh menara gading yang banyak bicara dan nihil praktik, mereka tidak bersentuhan tangan dengan rakyat di akar rumput. Ketiga, rendahnya tingkat pendidikan ummat. Ini lebih khusus berkaitan dengan pilihan-pilihan rasional dari basis ummat. Mereka cenderung masih memilih atas pertimbangan emosional ketimbang pertimbangan rasional.
Keempat, peran media. Dalam hal ini partai politik Islam dirasa belum memiliki sarana media untuk mendeseiminasikan gagasan dan program. Kelima, ummat kebingungan atas banyaknya pilihan-pilihan partai.
Kelima problem partai politik di atas, betapapun dituliskan 14 tahun silam tetap saja relevan untuk mengurai benang masalah tubuh partai Islam kekinian. Sebetulnya, langkah kaki dan berjibunnya partai Islam yang menyeruak pasca reformasi acapkali berjalan tanpa evaluasi yang sungguh-sungguh, sehingga demikian, tampak wajar partai politik Islam selalu kalah bila berhadapan dengan partai lainnya.
Berpolitik Meski Bukan Lewat Partai Ummat
Ditengah tumpukan masalah politik kebangsaan kini, mengambil jarak dari dunia politik bukan pilihan yang tepat. Namun membatasi politik hanya dalam dunia kepartaian belaka pula merupakan sikap yang gegabah. Maka dalam hubungannya dengan Partai Ummat, kita harus berpolitik meski tidak melalui corong partai ini.
Ada banyak upaya yang bisa dilakukan demi membumikan nalar politik ummat, Amien Rais dalam hal ini adalah salah satunya. Lain dari pada itu, peran kita dalam membangun kesadaran politik bagi ummat bisa melalui pendidikan politik di universitas, lembaga pendidikan non formal, keluarga, organisasi mahasiswa, dan seterusnya. Membangun kesadaran politik adalah kewajiban kecendekiawanan kita, bukan saja demi pesta politik tumpah ruang pemilih, namun pula kita berharap bahwa dalam pesta, pemilih bisa memilih tanpa kehilangan kesadaran rasional dan asumsi idealismenya.
Agenda Partai Politik Islam
Bila amatan kita cermat, partai politik Islam kekinian lebih cenderung ambil aman dari kekuasaan dengan meleburkan diri di dalamnya. Alih-alih mencegah membangun amar makruf, partai Islam kelihatannya terlampau menikmati kemunkaran. Ini terlihat bukan saja dari megah istana belaka, tapi pula persekongkolan nista di ruang parlemen DPR.
Di sisi lain, partai politik Islam masih menjebak diri dalam program-program pragmatis, ketimbang berjalan dengan prinsip dan nilai-nilai keIslaman yang kaffah. Jikapun membawa nama Islam, pelekatan itu acap sekadar demi meraup massa belaka, bukan timbul dari penghayatan yang dalam.
Di lapangan, kampanye-kampenye politikus muslim sering hanya simbol-slogan dan mistifikasi belaka, bukan berdasar dari realitas masyarakat yang konkret. Agama dijadikan sebagai alat partai politik saja, bukan sebaliknya. Wajar belaka, ketokohan politikus muslim akan selalu kalah dengan Joko Widodo yang hidup tenggelam, berjabak tangan dengan masyarakat.
Maka agenda partai politik Islam sebagai evaluasi dan solusi ialah kembali pada khittah perjuangan dan idealisme keIslamannya. Dari titik pijak itu kita melangkah, lalu yang timbul adalah sikap politik yang jelas, terang, berpinsip, lebih-lebih solutif bagi permasalahan ummat dan manusia di Indonesia.
Untuk Ayahanda Amien Rais, tetap berjalan sebagaimana seharusnya, sesuai dengan prinsip dan pandangan idealisme, Ayahanda. Lepas dari perbedaan pandangan kita, tak berkurang-kurang kebanggan kita pada Ayahanda. Semoga sehat selalu. Jangan lupa bahagia.
Editor: An-Najmi Fikri R
Kanal Tafsir Mencerahkan
Sebuah media Islam yang mempromosikan tafsir yang progresif dan kontekstual. Hadir sebagai respon atas maraknya tafsir-tafsir keagamaan yang kaku dan konservatif.