Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Tuhan Tidak Berbahasa Arab: Bantahan untuk Mun’im Sirry

Ahli Qiraat
Sumber: Istockphoto.com

Mayoritas ulama Muslim berkesimpulan bahwa Al-Quran diturunkan dengan lafaz dan maknanya. Dengan kata lain, lafaz dan makna Al-Quran semuanya berasal dari Tuhan. Tugas nabi hanyalah penyampai. Dan sosok yang menyampaikan suatu kalam tidak serta merta menjadi pemilik dari kalam itu sendiri. Dengan adanya kesimpulan ini, maka distingsi antara Al-Quran, hadis nabawi, dan hadis qudsi menjadi jelas.

Tapi jika Anda memandang al-Quran hanya diturunkan maknanya saja, lalu lafaznya dikatakan berasal dari nabi, seperti pandangan yang diajukan oleh Mun’im Sirry, maka sebagai konsekuensi logisnya tentu dia tidak berbeda dengan hadis. Sementara pembacaan yang cermat terhadap keduanya jelas menunjukkan adanya perbedaan itu.

Pertanyaannya sekarang, kalau lafaz Al-Quran itu dikatakan berasal dari Tuhan, dan kitab suci itu diwahyukan dalam bahasa Arab, tidakkah itu berarti bahwa Tuhan juga berbahasa Arab? Bagi Mun’im, jawabannya iya. Seolah-olah, dalam bayangannya, menyatakan “lafaz Al-Quran berasal dari Tuhan” dapat berkonsekuensi pada pengakuan bahwa “Tuhan berbahasa Arab”. Karena Tuhan tidak mungkin berbahasa Arab, maka dia tariklah kesimpulan bahwa al-Quran hanya diturunkan maknanya saja.

Dalam pembacaannya, pandangan umum di kalangan umat Muslim menyimpulkan bahwa Tuhan itu berbahasa Arab. “Menurut pandangan ortodoksi, jawabannya “Iya.” Tuhan memang berbahasa Arab. Itulah absurdnya pandangan ortodoks.” Tulis Mun’im dalam statusnya. Alhasil, pandangan mayoritas umat Muslim yang menyebut lafaz al-Quran berasal dari Tuhan itu dia anggap sebagai pandangan yang absurd, non-sense, dan tidak masuk akal.

***

Sekarang mari kita nilai bersama, siapa sebetulnya yang bernalar absurd itu? Mun’im atau mayoritas umat Muslim? Kalau lafaz Al-Qur’an itu dikatakan dari Tuhan, apakah benar itu berkonsekuensi pada kesimpulan bahwa Tuhan berbahasa Arab, dan karena itu kita harus melihat Al-Qur’an diturunkan maknanya saja? Adakah keterkaitan logis antara kedua pernyataan itu?

Jawabannya, tidak ada. Kenyataan bahwa Tuhan mengilhamkan sebuah lafaz kepada nabi tidak serta merta menjadikan Tuhan itu berbahasa. Mengapa bisa begitu? Harap digarisbawahi bahwa yang sedang kita bicarakan di sini ialah Tuhan, yang secara ontologis berbeda dengan manusia. Cara Tuhan dalam menyampaikan wahyu tentu berbeda dengan pola manusia dalam berkomunikasi.

Dalam berkomunikasi, manusia memang terbiasa menggunakan bahasa. Ketika Anda ingin menyampaikan suatu pesan verbal kepada orang lain, dan Anda ingin pesan itu dipahami dengan baik, maka yang keluar dari mulut Anda adalah lafaz-lafaz, yang berfungsi sebagai wadah bagi makna-makna yang ingin Anda sampaikan itu.

Baca Juga  Ru’yatullah Menurut Sunni dan Mu'tazilah: Kritik Untuk Yasmin Karima

Bagi Tuhan, mengucapkan lafaz seperti halnya makhluk itu suatu hal yang mustahil. Karena secara ontologis dia adalah wujud yang qadīm. Sedangkan lafaz-lafaz, dan perangkaiannya, adalah sesuatu yang hādits. Ketika Anda ingin menyatakan ungkapan “aqīmu as-shalāh” أقيموا الصلاة misalnya. Maka pengucapan kalimat tersebut sudah pasti meniscayakan adanya keberurutan. Huruf qaf tidak diucapkan kecuali setelah huruf hamzah, huruf ya tidak diucapkan kecuali setelah huruf qaf, dan begitu seterusnya.

Dan sesuatu yang ada setelah sebelumnya tiada itu dalam bahasa teologi disebut dengan istilah hādits. Sebagai sesuatu yang qadīm, Tuhan tak mungkin diiringi oleh sesuatu yang hādits itu. Tuhan tidak mungkin berbahasa layaknya manusia. Dan inilah pandangan khas kaum Muslim dalam melihat kalam Ilahi. Tidak ada kaum Muslim terdidik yang mengatakan bahwa Tuhan itu berbahasa Arab.

***

Saya heran, dari mana Mun’im menarik kesimpulan itu? Siapa tokoh Muslim terdidik yang menyebut Tuhan berbahasa Arab itu? Dugaan saya, kesimpulan tersebut terlahir dari ketidakcermatannya dalam menganalisis pernyataan “lafaz Al-Qur’an berasal dari Tuhan”. Pernyataan yang diyakini oleh mayoritas umat Muslim itu. Baginya, itu sama saja dengan menyatakan Tuhan berbahasa Arab!

Di sini Mun’im, dalam hemat saya, sudah keliru dalam memahami kata “diturunkan” itu. Dia membayangkan bahwa kalau lafaz Al-Qur’an itu diturunkan dari Tuhan, maka secara otomatis Tuhan menjadi sosok yang berbahasa. Karena itu tidak mungkin, maka dia tariklah kesimpulan bahwa Al-Qur’an itu hanya diturunkan maknanya saja. Dan itulah yang menjadi klaim utamanya.

Perlu kita catat, pernyataan bahwa “Tuhan menurunkan lafaz Al-Quran” itu maknanya ialah mengilhamkan atau memberi tahu. Bukan berarti Tuhan berbahasa. Karena cara Tuhan memberi tahu sudah pasti berbeda dengan pola komunikasi manusia. Dengan kata lain, mengilhamkan suatu lafaz tidak berarti bahwa Tuhan “mengucapkan” lafaz itu.

Dalam kitab Manāhil al-‘Irfān, az-Zarqani menyatakan bahwa istilah menurunkan itu perlu dimaknai secara metaforis. Dan makna metaforis dari menurunkan itu, tulis Zarqani, ialah “pemberitahuan dalam arti yang seluas-luasnya” (al-‘ilām fi jamī ithlāqātihi). (Manahil al-‘Irfan, vol. 1, hlm. 41).

Selanjutnya az-Zarqani menjelaskan bahwa apabila penurunan itu berkaitan dengan penurunan di Lauh al-Mahfuz dan Baitul ‘Izzah, maka maksudnya ialah pemberitahuan melalui ukiran-ukiran (an-nuqūsy) yang menjadi penunjuk atas kalam nafsi-nya Allah Swt. Dan apabila penurunan itu berkaitan dengan penurunan kepada hati nabi, maka maksudnya ialah pemberitahuan melalui perantara lafaz-lafaz hakiki (al-alfāzh al-haqīqiyyah) yang juga menjadi penunjuk atas kalam nafsi itu.

Baca Juga  Hermeneutika Derrida: Tidak Boleh Ada Tafsir yang Dominan

Dan semua ulama sepakat bahwa kalam nafsi Allah itu tidak berbahasa! Yang berbahasa itu ialah kalam lafzhi. Yakni firman yang sudah berbentuk lafaz, yang diturunkan kepada Nabi Saw. Dan pernyataan bahwa Allah menurunkan lafaz, dalam arti memberitahukannya, tentu tidak berarti bahwa Allah itu berbahasa Arab.

***

Karena sejak awal kita katakan bahwa Tuhan tidak menyampaikan pemberitahuan layaknya makhluk. Makhluk, misalnya, mendengar dengan telinga. Tuhan mendengar tanpa membutuhkan perantara apa-apa. Kita melihat dengan mata. Dia melihat segala sesuatu tanpa menggunakan alat. Kita berbicara dengan lisan. Dan Tuhan pastilah tidak berbicara dengan cara seperti itu. Laisa kamitslihi syai. Tidak ada sesuatu yang serupa dengan Tuhan. Dan hanya pikiran absdurd-lah yang “memaksa” Tuhan harus berkomunikasi dengan bahasa layaknya manusia.

Alhasil, dua entitas yang memiliki watak ontologis berbeda tentu tak bisa kita pandang sama. Menyatakan bahwa lafaz Al-Qur’an diturunkan oleh Tuhan, sekali lagi, tidak otomatis menjadikan Tuhan berbahasa dengan bahasa apapun. Tuhan mengilhamkan lafaz itu kepada nabi, dengan cara yang tidak kita tahu. Lalu nabi pun menyampaikan lafaz itu sesuai dengan apa yang dia terima. Adakah yang absurd dengan pandangan itu?

Jika Mun’im menuntut kita untuk menjelaskan bagaimana cara Tuhan dalam mengilhamkan lafaz al-Quran itu—dan ketidakmampuan kita itu dijadikan alasan untuk membuktikan bahwa al-Quran hanya diturunkan maknanya saja—maka pertanyaan serupa layak untuk kita tanyakan kepada yang bersangkutan. Bagaimana persisnya cara Tuhan menurunkan makna itu? Makna dari bahasa apa yang dia gunakan? Bisakah dia menjawab pertanyaan itu?

***

Mengapa para ulama Muslim melihat Al-Qur’an sebagai kitab suci yang diturunkan lafaz sekaligus maknanya? Salah satu jawabannya, karena mereka melihat satu fakta yang sulit untuk diingkari bahwa Al-Qur’an punya gaya bahasa yang tak tertandingi oleh kemampuan manusia. Al-Qur’an adalah kalam yang mu’jiz. Berhasil membuktikan kelemahan manusia untuk mendatangkan yang semisal dengan dirinya. Dan itu fakta. Bukan sebatas keyakinan subjektif kaum Muslim belaka.

Jika Anda meragukan klaim itu, kesempatan untuk memenuhi tantangan Al-Qur’an, yang sudah dikumandangkan 14 abad yang lalu, masih terbuka sampai sekarang. Mungkin tidak ada salahnya juga jika kita mempersilakan Mun’im untuk memenuhi tantangan itu.

Kalau memang dia bisa merangkai kalimat yang kepadatan, kefasihan dan kedalaman maknanya setingkat dengan Al-Quran, dan itu disaksikan oleh orang-orang yang betul-betul pakar dalam bahasa Arab, maka klaim kemukjizatan Al-Qur’an dengan sendirinya akan tertolak. Dan ketika itu akan ada ruang bagi Anda untuk mengklaim kalam Al-Qur’an sebagai kalam Nabi Muhammad Saw.

Baca Juga  Tantangan Gender Bagi Perempuan Perspektif Amina Wadud: Bolehkah Jadi Pengemudi Ojek Online?

Namun, jika yang bersangkutan tidak mampu, sikap ilmiah mengharuskan kita untuk menerima fakta. Bahwa Al-Qur’an adalah kitab mukjizat yang susunan lafaznya tidak mungkin berasal dari manusia. Klaim bahwa dia adalah kalam yang mu’jiz hanya akan relevan kalau dia diposisikan sebagai kalam Allah, yang diturunkan lafaz sekaligus maknanya. Karena kalau lafaznya berasal dari nabi, maka gugurlah sudah kemukjizatan itu.

Suka atau tidak suka, jika Anda mengklaim bahwa Al-Qur’an hanya diturunkan maknanya saja, maka Anda harus menolak kemukjizatan bahasa Al-Qur’an. Karena klaim kemukjizatan itu hanya akan terlihat konsisten kalau susunan lafaz Al-Qur’an itu berasal dari Tuhan. Dan, pada akhirnya, pandangan ini juga akan menyejajarkan Al-Qur’an dengan hadis nabi. Pertanyaannya, bisakah Mun’im menerima konsekuensi itu?

***

Mun’im membayangkan pandangan kaum Muslim sebagai pandangan yang sangat absurd. Kata Mun’im: “kenapa hal-hal non-sense seperti ini diimani oleh kebanyakan kaum Muslim? Lalu, bagaimana dengan nabi-nabi sebelum Muhammad yang tidak menggunakan bahasa Arab? Jika Tuhan berbahasa Arab, lalu bagaimana wahyu disampaikan kepada mereka?”

Dalam ilmu logika, apa yang Mun’im tunjukkan ini dikenal dengan istilah straw man fallacy. Satu kekeliruan berpikir yang terjadi ketika seseorang menyerang suatu pandangan, yang ia nisbatkan kepada pihak lain. Padahal yang dia serang itu ialah hasil konstruksi pandangannya sendiri, yang keliru dalam menggambarkan pendapat orang lain itu.

Sesat pikir yang satu ini biasanya terjadi ketika seseorang gagal dalam memahami pendapat lawan bicara yang ingin dia kritik. Mun’im bertanya, “jika Tuhan berbahasa Arab, lalu bagaimana wahyu disampaikan kepada nabi-nabi sebelumnya?” Dan setelah mengajukan pertanyaan ini barangkali dia berteriak kegirangan: “horeeee. Aku berhasil menunjukkan absurditas pandangan kaum Muslim!”

Padahal siapa pula sarjana Muslim terhormat yang menyebut Tuhan berbahasa Arab itu? Menyatakan Tuhan menurunkan sebuah lafaz yang berbahasa tentu tidak berarti bahwa Dia ikut mengucapkan bahasa itu. Membaca pandangan semacam ini, dari orang yang notabene dikenal sebagai professor dalam bidang studi Al-Qur’an, saya cuma bisa mengelus dada. Ya Allah, emang boleh se-absurd itu?

Penyunting: Bukhari

Muhammad Nuruddin
Alumnus Pascasarjana Universitas Al-Azhar Mesir dan Penulis Buku-Buku Logika