Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Tuhan Itu Nyata (3): Beberapa Kekeliruan Dawkins

Kekeliruan
Sumber: instagram

Segala yang ada di alam ini memiliki bahan baku. Tak ada sesuatu yang tercipta tanpa bahan baku. Bahan baku adalah sebab dari terciptanya wujud yang lain. Pesawat adalah wujud dari bahan baku besi, plastik, campuran baja dan lain sebagainya. Besi dari mana, dan plastik dari mana? Sains hanya akan melihatnya parsial. Tetapi filsafat akan terus mengejar hubungan sebab-akibat itu sampai ke hulu.

Tiada Adalah Ada

Singkatnya, akibat yang paling bawah biasanya identik dengan yang paling kasar, kasat mata. Hulu dari semua itu adalah yang paling halus. Derajat kehalusan yang paling tinggi, karena tak mampu dijangkau mata manusia, maka manusia hanya bisa menyebutnya ‘tidak ada’. Bahkan, manusia sering keliru melihat cela di antara dua tembok lalu mengatakan “tidak ada apa-apa di cela itu”. Padahal ada ruang kosong, ruang kosong juga adalah ‘ada’.

Sayangnya akan sangat panjang dan berbelit-belit untuk membuktikan Tuhan. Tetapi kita bisa sederhanakan melalui perspektif Sadrian (Mulla Sadra). Begini penjelasannya: tak ada sesuatu yang bisa lepas dari ‘ada’, bahkan ketiadaan adalah ‘ada’. Jadi di mana Tuhan? Tuhan adalah yang ada itu. Kita tercipta dari ada, dari pelbagai bahan baku. Bahan baku itu dari mana lagi kalau bukan dari ‘ada’? ‘Ada’ meliputi yang tampak dan yang tidak tampak.

Kesatuan ‘ada’, yang dapat kita lihat dan dapat kita ketahui adalah “wajah Tuhan”, selebihnya? Adalah zat Tuhan. Jadi, tidak terpisah antara Tuhan dan wajah Tuhan (makhluk), hanya saja ada tingkatan. Kualitas paling rendah adalah yang paling kelihatan, dan paling tinggi adalah yang paling tidak kelihatan.

Mungkin ada yang berpandangan, ini kelihatan seperti panteisme, paham serba Tuhan. Beda, panteisme memahami bahwa alam adalah Tuhan, kehendak alam adalah kehendak Tuhan. Sementara, kita meyakini bahwa alam semesta adalah penampakan wajah Tuhan (namanya saja wajah atau permukaan adalah yang tampak). Selebihnya, zat Tuhan jauh melebihi apapun yang kita ketahui.

Baca Juga  Paulo Freire: Filsafat Pendidikan dan Peradaban Islam (2)

Beberapa Kekeliruan Dawkins

Kalau Dawkins tidak mau menyebut Tuhan, dan menganggap di luar alam semesta tak ada apa-apa, silakan saja. Berarti memang pengetahuan Dawkins hanya sampai di situ, pemahamannya terbatas pada epistemologi indranya. Ia tak dapat mengenal wujud Tuhan karena mentok di wajah Tuhan, mentok di alam semesta.

Maka, Tuhan bukan ilusi (god is not delution). Tuhan itu nyata. Wajah-Nya saja sudah nyata, bagaimana dengan zat keseluruhan-Nya? Di sinilah kekeliruan Dawkins yang pertama.

Kekeliruan yang kedua, Dawkins menyandarkan kebencian agama berdasarkan pemeluk agama. Dawkins tak pernahkah berpikir bahwa pemeluk agama adalah penafsir agama? Ada orang yang memandang agamanya hanya mengajarkan yang baik, ada juga yang memandang agama mengajarkan membunuh orang kafir. Sekali lagi itu adalah penafsiran. Untuk mendapatkan penafsiran yang utuh terhadap agama, mesti mempelajari ilmu tafsir. Sebab, biasanya ada suatu perintah dalam kitab suci hanya berlaku temporal, tetapi oleh pemeluknya diyakini berlaku sepanjang masa.

Kekeliruan ketiga, Dawkins menyamakan semua agama. Ia mengabaikan keunikan dan kekhasan agama-agama. Terlihat beberapa bagian di dalam bukunya yang cenderung menyamakan agama-agama. Sehingga menarik kesimpulan umum: fanatik kristen dan fanatik Islam sama. Karena ajaran yang sama, bela Tuhan dan perangi kekafiran.

Padahal, (dari sudut pandang Islam) Kristen lahir untuk mengoreksi penyimpangan umat-umat Yahudi, dan Islam lahir untuk mengoreksi penyimpangan umat-umat terdahulu: Yahudi, Nasrani, Kafir Quraisy, dll. Penekanannya juga berbeda. Islam mengajarkan jangan melakukan sesuatu yang kita tidak memiliki pengetahuan di dalamnya, serta adanya perintah untuk senantiasa belajar dan membaca (iqro’). Serta menantang segala pendapat yang ingin melawan kebenaran al-Quran secara argumentatif.

Adapun perilaku umat Islam yang fanatik, keras, irrasional, zalim, tak lain adalah bentuk penafsiran yang menyimpang.

Ihwal Penulisan Kitab Suci

Kekeliruan keempat, Dawkins memandang penulisan kitab suci sama seperti penulisan buku-buku di zaman modern. Utamanya serangannya ditujukan kepada Alkitab. Sebab mungkin ia tak mengerti al-Quran. Lalu penilaiannya atas Alkitab umat Kristiani membuatnya menggeneralisir bahwa semua agama sama kekeliruannya.

Baca Juga  Mengenal Tafsir Muyassar Karya Aidh Al-Qarni

Padahal metode penulisan Alkitab (injil) dengan al-Quran ada perbedaan. Injil ditulis berdasarkan riwayat Yesus (Isa As.), lalu riwayat itu disebut bagian dari kitab suci. Sementara yang ditulis dari al-Quran adalah apa yang disampaikan Allah melalui malaikat kepada diri Nabi Muhammad. Tetapi anehnya, mengapa al-Quran bisa berbicara tentang isyarat ilmiah yang bisa dibuktikan oleh sains belakangan ini. Padahal tidak ada riset waktu itu untuk dituliskan di al-Quran.

Kekeliruan kelima, Dawkins keliru jika berharap agamawan meyakini moralitas berasal dari agama. Lalu dia dengan mati-matian ingin membuktikan bahwa moral itu bukan hanya dari agama. Moral itu memang secara fitrawi telah ada di dalam diri manusia. Maka agama diturunkan untuk mengingatkan tentang moral itu.

Dahulu juga ada filsuf muslim bernama Ar-Razi yang berpendapat, jika akal manusia sudah mengenali yang baik dan yang buruk maka tak perlu ada nabi dan kitab suci. Dan di sinilah kekeliruan keenam, yaitu jika Dawkins menganggap nabi adalah orang biasa yang menuliskan kitab untuk diyakini oleh orang banyak dan itu dinamakan agama.

Nabi adalah orang yang mampu menangkap bahasa semesta, bahkan bahasa Tuhan yang diperolehnya melalui perenungan yang mendalam. Hal itu diperoleh karena spiritualitasnya yang tinggi. Ilmuan, juga menangkap bahasa alam, tetapi hanya pada level indrawi dan akali. Jika Tuhan mengirimkan bahasa matematika ke kepala para ilmuan, maka Tuhan mengirimkan bahasa semesta ke kepala para nabi.

Rahasia sebagian alam dibisikkan Tuhan melalui eksperimen, dan jadilah penemuan atas rahasia itu. Sedang nabi, ia dibisikkan lebih jauh soal bagaimana seharusnya memperlakukan manusia dan alam semesta. Sebab kebutuhan nabi jauh berada di atas para ilmuan. Para ilmuan hanya membutuhkan kebenaran indrawi.

Antara Agama dan Pemeluk Agama

Kekeliruan ketujuh, terkait perilaku pemeluk agama, Dawkins di dalam bukunya hanya mencomot contoh-contoh kasus. Dia tidak secara konsisten misalnya dengan menyajikan hasil riset yang bisa membuktikan bahwa pemeluk agama memang secara objektif benar-benar jahat, tidak lebih bermoral dari kaum ateis. Seperti ia selalu menyinggung kelompok muslim militan Taliban. Padahal itu tidaklah mewakili muslim secara keseluruhan. Begitu pun dengan Kristen fanatik di Amerika. Tidak mewakili umat Kristiani secara keseluruhan.

Baca Juga  Memahami Perdukunan dan Hukum Mendatanginya dalam Islam

Kalau saja Dawkins mau meneliti umat beragama di perkampungan-perkampungan di Indonesia. Niscaya ia akan menemukan bahwa agama adalah perekat dan pemersatu umat manusia melalui tradisi-tradisi keagamaan yang dihidupkan di sana.

Kekeliruan kedelapan, Dawkins seringkali bertentangan dengan logika yang dibangunnya sendiri. Misalnya dia membantah kebenaran teori desain, tetapi ia juga menolak teori kebetulan, dan secara tak sadar mendukung desain alam (hal 285). Dawkins tak mengakui agama, tetapi ia menyarankan agar agama jangan dijadikan alat penghisap (hal. 305). Dawkins mengutip Steven Pinker tentang kebrutalan karena tak ada CCTV, lalu mengandaikan kebaikan dilakukan kaum beragama karena Tuhan bagai CCTV raksasa. Tidakkah hal ini membuktikan kebenaran teori pengawasan? (hal. 307). Dawkins mengingkari keharusan agama menjadi penjaga moral tunggal. Masalahnya, jika melepaskan agama, moralitas akan dikontrol oleh salah satu dari aliran ini: deontologis, utilitarian, konsekuensialis, absolutis, dll. (hal. 313), dan lain sebagainya.

Namun, betapapun God Delusion begitu berbahaya bagi pencarian jati diri kaum muda, dan juga menyajikan kekeliruan keyakinan, buku Dawkins ini tetap memiliki manfaat yang besar. Orang-orang beragama akan meninjau kembali sejauhmana perilakunya sehingga berkesan buruk di mata kaum ateis. Juga untuk mempelajari bagaimana cara mematahkan argumen para kaum ateis dengan cara yang lebih beradab, bukan dengan terburu-buru memvonis sesat apalagi sampai dengan menumpahkan darah.

***

Judul Buku: The God Delusion (edisi bahasa Indonesia)
Penulis: Richard Dawkins
Penerjemah: Zaim Rofiqi
Penerbit: Banana
Tahun Terbit: Cet I, Desember 2013
Tebal: vi + 522 halaman

Editor: M. Bukhari Muslim