Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Tuhan Itu Nyata (2): Sains Itu Terbatas!

Kekeliruan
Sumber: instagram

Pemeluk agama, kata Dawkins, layaknya serdadu yang mematuhi perintah sang komandan, sekalipun perintah yang tak masuk akal. Karena inti agama adalah ketaatan terhadap person yang tidak kelihatan.

Agama dan Pemaksaan

Jadilah agama itu barang yang dibenci Dawkins. Soalnya, jika realitas bertentangan dengan agama, yang dikoreksi adalah realitasnya, bukan agamanya. Mari kita lihat apa yang dikatakan Dawkins pada halaman 375:

“Kebenaran buku suci adalah sebuah aksioma, bukan produk akhir dari proses penalaran. Buku tersebut adalah benar, dan jika suatu bukti kelihatan bertentangan dengannya, maka bukti itulah yang harus disingkirkan, bukan bukunya. Sebaliknya, sebagai ilmuan, apa yang saya yakini (misalnya, evolusi) dan saya percaya bukan karena membaca buku suci tetapi karena saya telah mempelajari bukti. Ini adalah soal yang sama sekali berbeda. Buku-buku tentang evolusi dipercayai bukan karena mereka suci. Mereka dipercayai karena mereka menyajikan sejumlah besar bukti yang saling memperkuat.”

Demikianlah, karena agama, ilmuan terpaksa mengingkari kebenaran riset yang ditemukan, apabila dianggap bertengangan dengan doktrin agama. Begitupula orang beragama berhak menghujat bahkan membunuh orang-orang ateis, karena pengungkapan ketidakpercayaan terhadap Tuhan adalah bentuk lain dari penghinaan.

Kasus-kasus semacam itu banyak diungkapkan Dawkins dalam bukunya. Kasus aborsi menjadi contoh yang konyol. Janin yang belum memiliki saraf untuk merasakan sakit dilarang untuk dibunuh. Sementara, orang dewasa yang menyatakan diri keluar dari agama divonis halal darahnya. Hanya karena berpendapat lain soal agama dan Tuhan.

Anak Belum Beragama

Agama memang sesuatu yang dipaksakan. Anak-anakpun harus dipaksa untuk taat kepada agama. Padahal, agama harus dipertimbangkan secara dewasa, agama adalah urusan orang dewasa. Karenanya, Dawkins di bagian-bagian awal bukunya tidak sepakat jika ada dikatakan ‘anak-anak kristen’, atau ‘anak-anak muslim’. Anak-anak belum bisa dilekatkan dengan agama. Mereka perlu melakukan pencarian kebenaran dan mengakui agama berdasarkan pertimbangan rasional, atau barangkali akan memilih menjadi ateis.

Hampir akhir dari bukunya, memuat satu bab tentang anak-anak yang diawasi oleh otoritas keagamaan lantaran berbeda keyakinan dengan orangtua mereka. Di beberapa tempat, misalnya, gereja berhak mengintervensi pengasuhan anak terkait agamanya, lantaran orangtuanya telah berpindah agama. Supaya anak tetap selamat walau orangtuanya tersesat.

Baca Juga  Beragama di Negara Pancasila

Itulah agama. Atas nama keyakinan kepada Tuhan, membunuh dibolehkan atas orang-orang murtad. Kebenaran logis mesti disingkirkan jika bertentangan dengan doktrin agama. Anak sendiri boleh disembelih jika Tuhan menginginkannya (seperti dalam kasus nabi Ibrahim). Atau anak harus dilindungi walau dengan cara dipisahkan dari orangtua mereka yang telah murtad.

Benarkah Moral Hanya Berasal dari Agama?

Lalu untuk apa beragama? Supaya bermoral. Agama adalah sumber moral, benarkah? Dawkins berupaya membuktikan bahwa moral bukan berasal dari agama. Moral ada di setiap manusia, bahkan manusia tak beragama (ateis) juga bermoral. Pada halaman 270 dst., Dawkins mengajukan hasil eksperimen tentang moral, yang melibatkan responden dari pelbagai agama, termasuk juga yang ateis. Kemudian ia merangkum kesimpulan itu pada halaman 304:

Pertama, dilema denise. Sembilan puluh persen orang mengatakan bahwa diperbolehkan mengalihkan troli itu, dan membunuh satu orang untuk menyelamatkan lima orang.

Kedua, anda melihat seorang anak kecil tenggelam dalam sebuah kolam dan di sekitar situ tidak ada pertolongan lain yang tersedia. Anda bisa menyelamatkan anak itu, namun celana panjang anda akan rusak dalam proses itu. Sembilan puluh tujuh persen setuju bahwa anda harus menyelamatkan anak itu (yang menakjubkan, 3 persen lebih memilih menyelamatkan celana panjang merek).

Ketiga, dilema transplantasi organ yang dijabarkan di atas. Sembilan puluh tujuh persen orang setuju bahwa secara moral dilarang untuk mengorbankan si laki-laki sehat yang ada di ruang tunggu itu dan membunuhnya demi mendapatkan organ-organnya, meskipun itu menyelamatkan lima orang yang lain.

Angka itu sangat tinggi, yaitu kisaran 90-97 persen. Menandakan bahwa moral tidak memandang agama apa yang dipeluk oleh seseorang. Juga tidak memandang apakah seseorang beragama atau tidak. Sebab, bukan agama yang membuat orang menjadi baik, melainkan ada 4 faktor (hal. 294):

“Pertama, hal ini berkaitan dengan persoalan kekerabatan genetik tertentu. Kedua, ada ketimbal-balikan: pembalasan atas kebaikan-kebaikan yang diberikan, dan pemberian berbagai kebaikan “dengan harapan” akan dibalas. Ketika, sebagai akibat poin kedua, terdapat keuntungan Darwinian dengan memperoleh reputasi karena kemurahan dan kebaikan hati. Dan keempat, jika Zahavi benar, ada keuntungan tambahan tertentu dari kebaikan hati yang mencolok sebagai suatu cara untuk mendapatkan pengumuman akan dominasi yang otentik.”

Baca Juga  Tafsir Tematik (1): Bolehkah Mencaci Maki Ajaran Agama Lain?

Jadi, moralitas berdasarkan naluri manusia dalam bertahan hidup. Sesuai perspektif Darwinian, bermoral adalah cara manusia bisa bertahan dari kemungkinan-kemungkinan buruk, dan pada gilirannya bertahan hidup dari kepunahan.

Orang Ateis Lebih Bermoral?

Pada praktiknya, kaum ateis lebih bermoral dari kaum beragama. Olehnya di bab 1 diberi judul ‘Orang Tak-Beriman yang Relijius’. Para ateis melakukan penghormatan secara layak, yakni sesuai dengan baik benar yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Berbeda dengan kaum agamawan, penghormatan dilakukan tidak selayaknya. Seorang pemuka agama dihormati bukan karena dia rasional, tetapi karena imannya kepada Tuhan.

Dengan menjadi ateis, kata Dawkins, seseorang mendapat pelbagai keuntungan; membebaskan diri dari belenggu doktrin yang mengekang. Memperoleh kecerdasan dari perangai saintifik, serta menjadi diri yang autentik. Tidak didikte oleh keinginan orang-orang yang irrasional.

Sebaliknya, F. Budi Hardiman dalam resensinya yang dimuat di grup Facebook “Esoterika-Forum Spiritualitas” menyebut kaum ateis adalah kaum yang melarat. Karena mereka memandang dunia ini sebatas materi, mereka tidak memercayai hal-hal yang immateril. Oleh karenanya mereka akan kurang memaknai hidup, pada akhirnya akan jauh dari kebahagiaan.

Sains Itu Terbatas

Memahami realitas dunia amat sangat terbatas jika hanya memakai kacamata sains. Karena sains hanya akan memercayai hal-hal yang empirik dan rasional. Sementara dalam dunia kita, bukan hanya yang materi (bisa diindrai). Ada banyak hal yang tak bisa dijelaskan dengan logis.

Walaupun Dawkins berpendapat bahwa suatu saat sains akan mengungkap semuanya. Namun dengan adanya pembatasan terhadap hal-hal yang empirik dan rasional, akan ada banyak hal yang sampai kapanpun tak akan bisa dibuktikan oleh sains.

Sains hanya bisa mendeskripsikan apa dan bagaimana benda-benda dan kejadian di alam ini. Tetapi sains–sampai kapanpun–tidak akan pernah mampu menjawab pertanyaan mengapa mereka semua ada, mengapa bisa alam ini demikian?

Pertanyaan ‘mengapa’ hanya bisa terjawab kalau kita naik satu tingkat dari sains, yakni filsafat. Melalui argumen pelacakan dasar-dasar kehadiran materi yang ada di dalam, pertanyaan ‘mengapa’ akan tersingkap sedikit demi sedikit. Jika Dawkins tidak mau beranjak sedikitpun dari sains, maka selamanya pandangannya hanya akan meliputi hal itu-itu saja.

Baca Juga  Isyarat Mengembangkan Ilmu Sains Dalam QS. Al-Ankabut (29): 20

Karena, epistemologi atau cara memperoleh pengetahuan dalam praktik sains begitu terbatas. Menarik jika kita membaca Murtadha Muthahhari tentang epistemologi Islam. Muthahhari membagi tahapan pengetahuan, berbeda dengan para filsuf terdahulu yang mempertentangkan metode memperoleh pengetahuan.

Tidak Hanya Materi

Sains meniscayakan penggunaan epistemologi pada tahap indrawi, kemudian baru pada konklusi pada tahap akal. Dawkins hanya bermain-main pada tahapan ini. Jelas sains dibangun dari pengamatan, tanpa pengamatan tak ada kebenaran. Sementara alat indra yang ada pada manusia terbatas pada bidang-bidangnya. Mata hanya melihat dua macam: warna dan bentuk, selepasnya tidak. Maka akan sangat naif jika mengukur kebenaran dari mata. Jangkauannya sangat terbatas dan lagi pula kadang kala ditipu oleh realitas serupa fatamorgana; dari kejauhan seperti genangan air di permukaan aspal. Saat didekati rupanya tak ada air di sana.

Kausalitas, adalah hukum yang hanya dimengerti oleh akal. Indra hanya menangkap bayangan eksternal yang nanti akan disusun menjadi sebab dan akibat. Sampai di sini, Dawkins perlu membedakan saat akal sudah mengaitkan antara realitas satu dengan yang lain. Itu bukan lagi pada wilayah indrawi, tetapi akal. Ketika akal menjangkau perjalanan kausalitas yang jauh, jangan lagi mengharap mata bisa membuktikannya. Karena tahap indrawi sudah ditinggalkan.

Mata hanya menyeleksi mana yang bisa dilihatnya dan mana yang tidak. Nah, hal-hal yang tidak dapat ditangkap oleh mata, dalam bahasa agama disebut gaib. Sesuatu boleh tidak kelihatan, bukan berarti tidak ada. Melainkan ‘ada yang tidak kelihatan’.

Dengan bantuan mikroskop, atau alat canggih lainnya, ilmuan dapat mengindrai partikel atom. Tetapi bagaimana dengan gaya, atau energi yang membuat atom-atom itu bergerak, bukankah tidak bisa dilihat? Meskipun ilmuan meyakini bahwa gaya itu ada. Artinya, sesuatu yang tidak kelihatan tetap disebut ‘ada’. Karena realitasnya memang ada.

Apakah itu sudah membuktikan bahwa Tuhan ada? Nanti dulu, Dawkins akan cepat-cepat menyebut sebagaimana dalam bukunya dengan, ‘gap yang diisi oleh Tuhan’.

Editor: M. Bukhari Muslim