Wabah Covid-19 ternyata tidak saja membuat sains ramai diperbincangkan, tetapi juga turut melahirkan narasi gugatan terhadap agama, yang pada gilirannya terhadap Tuhan. Gugatan itu sesungguhnya tidaklah sungguh-sungguh. Ini hanya sebagai wacana yang dihidupkan dan dimaksudkan untuk menantang kita agar ikut serta memberi sumbangan pemikiran; benarkah agama harus menyerah di hadapan sains?
Salah satu yang sempat mencuat adalah tampilnya kembali buku ‘God Delusion’ (terbit tahun 2013) karya Richard Dawkins ke permukaan. Buku ini diresensi lalu dibincang–salah satunya oleh F. Budi Hardiman, dosen STF Driyarkara. Utamanya karena buku ini tidak saja menantang para teolog, tetapi juga kita semua untuk membuktikan kebenaran keyakinan kita kepada Tuhan.
God Delusion: Sebuah Gugatan
God Delusion menggugat kebiasaan yang berlangsung di masyarakat beragama, yakni yakin dulu baru tahu. Mestinya, sebelum meyakini kebenaran sesuatu–termasuk agama–harus mengetahuinya terlebih dahulu. Inilah sasaran empuk Dawkins, mengapa mesti meyakini hal-hal yang tidak terbukti kebenarannya?
Buku Dawkins itu terdiri dari sepuluh bab. Menurut saya, ada dua bab yang paling menggebuki (penganut) agama dengan begitu keras. Yakni (bab 2) hipotesa-hipotesa Tuhan, dan (bab 4) mengapa hampir pasti tidak ada Tuhan.
Pada bab 2, Dawkins mempersoalkan klaim pembuktian agama, “Demikian juga, sekalipun pertanyaan itu adalah pertanyaan yang nyata, kenyataan bahwa sains tidak dapat menjawabnya tidak mengandaikan bahwa agama bisa menjawabnya.” (hal. 73)
Bab 4 juga mengajukan gugatan serupa: “Perdebatan tersebut bertumpu pada logika salah yang sama sebagaimana strategi ‘Tuhan Gap’ (‘the God of the Gaps‘) yang dikecam oleh teolog Dietrich Bonhoeffer. Kaum kreasionis sangat suka mencari suatu gap yang ada dalam pengetahuan atau pemahaman yang ada sekarang ini. Jika apa yang tampak sebagai suatu gap ditemukan, diasumsikan bahwa Tuhan secara otomatis pasti mengisinya.
Apa yang mencemaskan para teolog yang cerdas seperti Bonhoeffer adalah bahwa gap akan semakin sedikit ketika sains semakin maju, dan Tuhan pada akhirnya terancam tidak melakukan apa-apa dan tidak ada tempat bersembunyi.” (164).
Celah Keberadaan Tuhan
Orang-orang beragama menjadikan ketidakmampuan ilmu pengetahuan dalam mengungkap hal-hal tertentu, sebagai argumentasi kebenaran agama. Misalnya, mengapa ada satu masjid yang kokoh berdiri tak tersapu tsunami di Kelurahan Pantoloan, sebelah utara lembah Palu? Padahal di sekelilingnya rumah-rumah hancur. Sains tak dapat menjelaskannya (atau barangkali belum ada ilmuan yang bisa menjelaskan) mengapa bisa begitu. Lantas kita diharuskan untuk memandang sains bukan segalanya, dan inilah bukti kebenaran agama.
Prof. Philips Liu Li-fan, pakar geologi waktu itu heran, mengapa sesar geser vertikal berlawanan bisa menimbulkan tsunami di Teluk Palu? Walau diguncang gempa yang kencang, sesar seperti itu tak akan menimbulkan tsunami. Di teluk pulak. Biasanya tsunami terjadi di pantai lepas. Mustahil bisa terjadi di teluk.
Baiklah, Prof. Philips mendapatkan jawabannya, yakni terjadi longsoran di bagian luar teluk. Itulah yang menyebabkan tsunami menjilati sepanjang pantai di Teluk Palu yang membentuk leter ‘U’ itu. Tetapi jarak longsoran dengan bibir pantai, jika diandaikan dengan kecepatan air 800 kilometer perjam, niscaya akan memakan waktu antara 8 sampai 13 menit. Begitulah komentar pakar kebencanaan Kota Palu Dr. Abdullah, MT., sewaktu membahas hal ini di salah satu warkop yang ada di Kota Palu.
Kenyataannya, dari video-video amatir yang merekam kejadian, gelombang tsunami sudah menyapu daratan pantai Talise (titik terjauh dari longsoran) hanya berselang 2 atau 3 menit setelah gempa hebat 7,4 Skala Richter mengguncang tanah Pasigala (Palu, Sigi, Parigi-Moutong, Donggala).
Kejadian yang menyelisihi prediksi sains, olehnya disimpulkan bahwa ini bukan lagi fenomena sains biasa. Melainkan Tuhan sudah turut campur tangan dalam musibah itu. ‘Jika Tuhan sudah berkehendak, apapun tak ada yang mampu menghalangi’. Termasuk sains. Benarkah?
Dawkins akan membantah pernyataan itu. Sekali lagi, segala sesuatu yang tampaknya tidak (belum) bisa dijelaskan oleh sains bukan berarti lalu agama bisa menjawabnya. Fenomena yang tidak bisa diungkap oleh ilmu pengetahuan tidak secara otomatis membuktikan keberadaan Tuhan.
Argumen Teleologis
Kita mungkin akan melirik argumen bukti-bukti Thomas Aquinas yang meliputi lima perkara:
Pertama, penggerak yang tak digerakkan. Suatu gerak mustahil terjadi jika tak ada penggeraknya. Gerak itu terjadi sedemikian bersambungnya, berkaitan, dan saling menyebabkan. Hingga nanti ada suatu penggerak yang tak digerakkan, darinyalah segala sesuatu digerakkan.
Kedua, sebab yang tak disebabkan. Segala sesuatu memiliki penyebab. Dunia diliputi oleh akibat-akibat yang pasti ada penyebabnya. Kualitas penyebab harus lebih tinggi dari akibat yang ditimbulkan. Api tentulah lebih tinggi kedudukannya daripada asap. Karena api menyebabkan asap, dan bukan sebaliknya. Pada akhirnya, ada suatu sebab yang tidak disebabkan oleh yang lain. Dia adalah sebab pertama.
Ketiga, argumen kosmologis. Kini kita saksikan dunia dipenuhi oleh realitas fisik. Pasti sebelum realitas fisik tercipta, terjadi kekosongan, dan hanya ada Tuhan. Dialah yang menyebabkan yang lain ada.
Keempat, argumen tingkatan. Realitas yang kita saksikan di jagat ini bertingkat-tingkat. Ada yang tinggi dan ada yang rendah. Sudah pasti ada yang rendah sekali, dan ada pula yang tinggi sekali tak ada yang melampaui. Di sanalah Tuhan.
Kelima, argumen teleologis atau argumen desain. Segala ciptaan tampak menyimpan harmoni keteraturan. Setiap makhluk punya kelebihan, kekhasan, keistimewaan, dan keunikan yang luar biasa. Lebah mengeluarkan madu, laba-laba menganyam jaring, tanaman-tanaman menghasilkan obat, dan lain sebagainya. Tidakkah itu menunjukkan bahwa semua yang ada di alam ini memiliki pendesain cerdas?
Tetap saja, kelima hal itu tidak lantas membuktikan adanya Tuhan. Persoalannya, menurut Dawkins, hanyalah soal sains belum menemukan jawaban tentang segala rahasia itu. Kelak, keyakinan bahwa setiap cela yang tak terjangkau sains berarti ditempati Tuhan, akan terbukti tidak benar seiring penemuan-penemuan baru. Ruang atau gap itu akan terisi argumen sains dan Tuhan akan semakin tergeser dan terdesak. Hingga benar-benar tak ada tempat untuk Tuhan.
Tingkatan Keyakinan Terhadap Tuhan
Dengan cara pandang yang seperti itu, apakah Dawkins yakin bahwa Tuhan pasti tidak ada? Tidak. Di sinilah Dawkins sulit dipatahkan. Dawkins meyakini bahwa kemungkinan di luar sana ada Tuhan, kemungkinan juga tidak ada. Tetapi kemungkinan adanya sangat kecil, dan dia lebih meyakini bahwa kemungkinan Tuhan tidak ada.
Dengan demikian, Dawkins lebih ke agnostik. Meskipun berulangkali ia menyebut dirinya ateis. Agnostik adalah keyakinan tentang keberadaan Tuhan sama mungkinnya dengan ketidakberadaan-Nya. Berbeda dengan ateis yang yakin betul bahwa Tuhan tidak ada. Kebalikannya adalah teis, yakin betul bahwa Tuhan itu ada.
Dawkins membagi 7 kategori keyakinan pada Tuhan, itu semacam garis bilangan (garis keyakinan?). Nomor 1 ditempati oleh teis, dan 7 oleh ateis. Di pertengahan, nomor 4, ditempati oleh agnostik murni (ada Tuhan atau tidak sama saja). Sepertinya agnostik meliputi 2 sampai 6 dengan kadar keyakinan yang berbeda-beda. Dawkins lebih memosisikan dirinya di nomor 6. Dalam pandangannya, kemungkinan kecil ada Tuhan, tetapi dia lebih berharap Tuhan tidak ada.
Mengapa masih agnostik dan bukan menjadi ateis murni? Sebab Dawkins mencoba konsisten dengan keyakinannya terhadap sains, juga teori evolusi. Mengatakan Tuhan ada mestilah dengan bukti-bukti sains. Pun sebaliknya. Mengatakan tidak ada Tuhan mesti ada buktinya. Kehidupan terus bergerak, dan tidak menutup kemungkinan, kelak sains akan membuktikan Tuhan. Tapi dengan bukti-bukti yang ada sekarang, itu mustahil. Rupa-rupanya keyakinan Dawkins inilah yang tergambar di bab 4 bukunya, ‘Mengapa Hampir-hampir Tak Ada Tuhan’.
Pandangan Dawkins tentang Agama
Lalu apa guna agama? Tunggu dulu. Dawkins memandang agama adalah produk sampingan dari sesuatu yang lain. Pada halaman 230, Dawkins memberi contoh perjalanan para hewan ngengat. Kawanan ngengat beterbangan, berpindah mengikuti cahaya rembulan. Di rumah, api sebuah lampu minyak adalah suatu cahaya yang mirip cahaya rembulan yang menjadi petunjuk mereka.
Ngengat-ngengat tadi tertipu. Mereka mengira itulah cahaya yang mereka harapkan. Rupanya itu adalah bahaya, bisa membakar mereka. Pandangan ngengat termanipulasi, jatuhlah mereka pada kekeliruan, dan mereka selesai.
Dawkins menganggap agama seperti lampu minyak tadi, dan pemeluknya bagai ngengat-ngengat yang menuju ke lampu itu. Lampu itu sendiri adalah produk sampingan dari yang aslinya, yakni cahaya rembulan. Saking terpesonanya pemeluk agama akan pesona dan ilusi yang dikhotbahkan oleh pemuka agama, sampai mereka terperangkap terbakar doktrin di dalamnya.
Bersambung..
Editor: M. Bukhari Muslim
Leave a Reply