Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Tiga Model Umat Islam dalam Kembali Pada Al-Quran dan Sunnah

Kembali pada al-Quran dan sunnah
Sumber: rumaysho.com

Al-Quran dan sunnah mendapat posisi dan kedudukan yang istimewa dalam Islam. Keduanya adalah sumber dan rujukan utama umat Islam dalam berbicara, bertindak dan memutuskan sesuatu. Makanya tidak heran jika banyak dari umat Islam yang dalam melihat dan menilai sesuatu, selalu mencoba mencari keterangannya terlebih dahulu dari kedua sumber di atas. Sebab mereka ingin apa yang mereka lakukan harus sesuai dan benar dalam pandangan Islam.

Pada kondisi yang demikianlah, terkenal satu jargon dalam Islam, yakni jargon “kembali pada al-Quran dan sunnah”.  Jargon tersebut saya yakin tidak asing lagi di telinga kita, khususnya pada hari-hari belakangan. Ini sebenarnya jargon yang baik. Namun yang terjadi di lapangan, jargon ini malah melahirkan ketegangan antar satu kelompok dengan kelompok yang lain. Jargon ini menjadi alasan bagi satu kelompok untuk menegasikan kelompok lain dan menuduh orang lain sebagai “sesat” dan “menyimpang”.

Mendengar jargon ini, rata-rata yang terbayang di benak kita adalah kelompok Salafi-Wahabi. Gerakan yang konon merupakan impor dari Arab Saudi. Sebab mereka lah yang paling sering mendengungkan jargon tersebut. Dengan jargon ini mereka mengajak umat Islam untuk beralih dari tindakan-tindakan yang mereka anggap telah keluar dari ajaran Islam. Namun pertanyaannya kemudian, apakah benar hanya mereka yang kembali kepada al-Quran dan sunnah? Bagaimana dengan yang lain? Apakah mereka tidak kembali kepada al-Quran dan sunnah? Itulah yang akan coba kita jawab.

Pada dasarnya setiap kelompok dalam Islam kembali pada al-Quran dan sunnah. Hanya saja yang membedakannya adalah model atau cara mereka kembali kepada dua sumber ajaran Islam tersebut. Dalam pembagian Fahruddin Faiz, setidaknya ada empat model umat Islam dalam kembali pada al-Quran dan sunnah. Namun di sini kita hanya fokus pada tiga model. Ketiga model tersebut dapat kita klasifikasikan dengan klasifikasi sebagai berikut: model ala Salafi-Wahabi, model ala kaum modernis, dan model ala kalangan mazhabiyah.      

Baca Juga  Makna dan Ragam Amanah dalam Al-Qur’an

Model Salafi-Wahabi  

Sebagaimana disinggung sebelumnya, salah satu kelompok yang cukup getol dan aktif dalam menyuarakan jargon “kembali pada al-Quran dan sunnah” adalah kelompok Salafi-Wahabi. Gerakan ini, menurut Fahrudin, setidaknya diprakarsai oleh Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyah. Lalu dikembangkan secara radikal oleh Muhammad bin Abdul Wahhab. Terlepas dari pendapat yang kontra terhadap posisi Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyah sebagai pemerkasa, hampir semua dari kita sepakat bahwa gerakan ini identik dengan sosok Muhammad bin Abdul Wahhab.  

Cara gerakan ini kembali pada al-Quran dan sunnah adalah dengan kembali pada pengertiannya yang harfiah atau literal. Bagi kelompok ini, satu-satunya jalan yang paling benar untuk mengetahui tentang akidah dan hukum Islam, baik yang pokok atau tidak pokok, termasuk pembuktiannya adalah al-Quran dan sunnah. Pembuktian yang berasal dari nalar atau apa pun di luar itu tidak mendapatkan tempat.

Manusia dengan akal pikirannya dianggap tidak mampu dan tidak kuasa untuk memberi penafsiran, takwil atau uraian terhadapnya, kecuali hanya dalam batas-batas tertentu. Akal manusia sifatnya sangat terbatas. Karenanya ia hanya bisa menjadi pembenar dan penyaksi, serta tunduk pada nash-nash yang ada. Ia tidak berhak untuk memberi keputusan. Konsekuensi dari pemahaman yang harfiah terhadap nash tersebut berujung pada pembersihan kepada seluruh yang dianggap “bid’ah” seperti merokok, minum kopi, berfoto, memakai cincin dan lain-lain. (Fahruddin: 2015)

Model Kaum Modernis

Jargon “kembali pada al-Quran dan sunnah” yang dibunyikan oleh kaum modernis berbeda dengan yang dibunyikan kalangan Salafi-Wahabi. Jika pada genggaman Salafi-Wahabi jargon ini menjadi jargon yang ekslusif dan tekstual, maka di tangan kaum modernis jargon tersebut menjadi inklusif dan kontekstual. Kaum modernis yang banyak menggunakan jargon tersebut sebagai prinsip dari pemikiran dan gerakannya antara lain adalah Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan, Syah Waliyullah, Sayyid Amir Ali dan lainnya.  

Baca Juga  Khutbah Idul Adha: Perjuangan Nabi Ibrahim Menuju Suri Tauladan yang Sesungguhnya

Lewat jargon ini, kaum pembaharu Islam menginginkan agar umat Islam terbebas dari belenggu “mazhab” dan mampu menyesuaikan dengan zaman yang kian hari kian berkembang. Dalam angggapan kelompok ini, umat Islam harus mampu membaca al-Quran dan hadis tanpa harus terjebak pada pandangan-pandangan mazhab yang merupakan produk di zaman lampau dan dapat berijtihad secara mandiri dengan mencari soslusi atas permasalahan-permasalahan di zamannya sendiri. (Hermeneutika Al-Qura’n, hal. 55)

Dari sini telah dapat disimpulkan bagaimana perbedaan antara kelompok Salafi-Wahabi dan kaum modernis dalam menggunakan jargon di atas. Jika pada Salafi-Wahabi kembali pada al-Quran dan hadis berarti membawa umat Islam memahami keduanya secara harfiah tanpa harus dicecoki dengan berbagai isu dan metode yang berkembang di zaman modern, maka pada kaum pembaharu Islam kembali pada keduanya adalah dengan sikap terbuka terhadap pelbagai metode-metode dan penemuan-penemuan baru di zaman modern.

Model Kalangan Mazhabiyah

Selesai dari dua model sebelumnya, kita lanjut pada model ketiga, yakni model kalangan mazhabiyah. Bagaimana cara mereka kembali pada al-Quran dan hadis? Kelompok ini memilki cara yang cukup berbeda dengan dua kelompok sebelumnya. Jika dua kelompok sebelumnya kembali kepada al-Quran dan hadis secara mandiri, independen dan bersandar pada kemampuannya sendiri, maka kelompok mazhabiyah tidak. Dalam kembali pada al-Quran dan hadis, mereka menggantungkan diri pada seseorang yang punya ilmu dan kemampuan lebih dalam memahami al-Quran dan sunnah, atau yang jamak kita sebut sebagai ulama.

Menurut kelompok ini, tidak semua manusia diberi kemampuan yang sama. Ada kelompok yang secara khusus oleh Allah dianugrahi akal dan kemampuan lebih, sementara itu ada pula kelompok yang masuk dalam kategori awam dan kurang mampu bernalar sendiri. Mereka yang tidak mampu ini dianggap alangkah baiknya jika mengikuti mereka yang mampu. Karena dengan begitu kemungkinan mereka tersesat dan terjerumus pada kesalahan akan kecil. (Hal. 57)    

Baca Juga  Buya H. Zainuddin Hamidy; Mufasir dengan Gelar "Angku Mudo"

Bagaimana Menyikapinya?

Fahruddin Faiz memberikan cara yang pas untuk menyikapi tiga model di atas (Hal. 60). Pada model pertama, Fahruddin mengatakan bahwa model seperti ini sangat tidak dianjurkan. Cara mereka yang merasa paling benar dalam memahami ajaran Islam dan menganggap kelompok di luar mereka salah hanya akan melahirkan perpecahan di internal umat Islam. Inilah yang kita wanti-wanti.

Adapun pada model kedua, ada yang beberapa kita acungi jempol dan ada pula yang perlu kita kritisi. Di antara yang patut kita acungi jempol dari kelompok pembaharu tersebut adalah revolusi yang mereka lakukan untuk membangunkan umat Islam dari kebekuan dan kejumudannya. Adapun yang kita kritisi dari kelompok ini adalah ekslusifitas baru yang mereka ciptakan. Mereka cenderung merasa bahwa cara bernalar merekalah yang paling maju dalam memahami Islam. Sedangkan di luar mereka dianggap “jumud”, “tradisional”, dan anggapan-anggapan sejenisnya.

Adapun pada model yang ketiga, ia mengkritik sikap ikut-ikutan yang dilakukan oleh kalangan mazhabiyah. Ikut-ikutan yang dimaksud adalah cara mereka yang kembali kepada al-Quran dan hadis dengan mengikuti patron tertentu yang dipandang ahli di bidangnya. Fahruddin mengingatkan, seahli dan sehebat apa pun seorang patron, ia hanyalah manusia biasa yang tidak bebas dari kesalahan. Tidak setiap perkataan dan pendapat mereka harus diikuti mentah-mentah dan tanpa bertanya. Ada kalanya kita juga kritis terhadap apa yang mereka sampaikan.

****

Melihat uraian di atas, maka cara yang paling ideal untuk kembali pada al-Quran dan hadis adalah dengan tetap bersikap inklusif atau terbuka pada perubahan dan perkembangan zaman. Tidak angkuh, merasa diri paling benar, dan merasa cara bernalarnya yang paling maju dalam memahami Islam. Serta tetap kritis pada produk pemikiran Islam yang dihasilkan oleh ulama-ulama terdahulu.  

Alumni Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Jakarta, Mahasiswa Pascasarjana Universitas PTIQ Jakarta dan Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKU-MI), Bendahara Umum DPD IMM DKI Jakarta 2024-2026.