Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Terus Berproses: Refleksi Qurani tentang Menerima Diri

Menerima Diri
Sumber: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/

Kegaduhan Diri Manusia di Era Digital

Di era media sosial, tekanan untuk “terlihat sempurna” bukan sekadar ungkapan, melainkan kondisi nyata yang banyak remaja rasakan. Menurut survei UNICEF dan BKKBN (2021), hampir 50% remaja Indonesia mengaku merasa cemas atau stres akibat kritik dan ekspektasi yang mereka terima secara daring.[1]

Selain itu, data dari GoodStats (2024) memperlihatkan bahwa 57,7 % anak muda menggunakan media sosial lebih dari 4 jam per hari. Sebagian besar merasakan kecemasan terkait perbandingan diri. Padahal, seharusnya media sosial memberi hiburan, bukan beban.[2]

Refleksi Al-Qur’an atas Proses Manusia

Al-Qur’an sendiri mengajarkan bahwa nilai manusia tidak terletak pada kesempurnaan lahir, tetapi pada kesungguhan hati dalam berproses. Dalam QS. Al-Zumar [39]: 53, Allah Swt. berfirman:

قُلۡ يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسۡرَفُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُواْ مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًاۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ

“Katakanlah: ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Al-Zumar: 53)

Ayat ini menegaskan bahwa keterbatasan dan kesalahan bukan akhir dari segalanya. Justru, penerimaan dan usaha untuk memperbaiki diri adalah bagian dari ibadah yang mulia. Allah tidak meminta kesempurnaan, tetapi kejujuran dalam bertobat dan tekad untuk bangkit dari keterjatuhan.

Menafsir Ayat Perkembangan Diri

Dalam Tafsīr al-Sa‘dī, dijelaskan bahwa QS. Al-Zumar [39]: 53 adalah seruan penuh kelembutan kepada hamba-hamba yang telah berlebihan dalam dosa. Ayat ini menyeru agar mereka tidak berputus asa dari rahmat-Nya. Allah memanggil mereka yang mengikuti hawa nafsu dan terjatuh dalam kemaksiatan agar mengenal-Nya sebagai Dzat Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

Baca Juga  Mengenal Batas Diri: Refleksi atas Sengkarut Media Sosial

Rahmat-Nya terbuka lebar. Cinta-Nya lebih besar daripada murka-Nya. Ampunan-Nya mencakup dosa-dosa besar sekalipun. Syaratnya, seorang hamba tetap mau mengambil sebab-sebab untuk kembali kepada-Nya dengan jujur dan sungguh-sungguh.[3] Maka, selama seseorang belum menyerah pada dosa dan terus berusaha berubah, Allah tetap membuka ruang rahmat-Nya.

Hal ini diperkuat pula dalam firman Allah dalam QS. An-Nisā’ ayat 28:

يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمۡۚ وَخُلِقَ ٱلۡإِنسَٰنُ ضَعِيفٗا

“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu. Dan manusia diciptakan bersifat lemah.” (QS. An-Nisā’: 28)

Dalam Tafsīr al-Muyassar dijelaskan bahwa ayat ini bermakna: “Allah Ta‘ala menghendaki kemudahan bagi kalian melalui syariat yang Dia tetapkan. Dia tidak menghendaki kesulitan atas kalian; karena kalian tercipta dalam keadaan lemah.”[4]

Maka, kelemahan bukanlah suatu cela, melainkan alasan kasih sayang Allah dalam menetapkan hukum dan kewajiban. Menerima diri adalah bentuk kejujuran spiritual, kesadaran bahwa Allah tidak membebani jiwa di luar batas kemampuannya, dan setiap kekurangan bisa menjadi ladang pahala bila dijalani dengan sabar dan ikhlas.

***

Sementara itu, menurut penafsiran Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, penetapan hukum-hukum Allah yang tampak tegas sejatinya bertujuan memberikan kemudahan, bukan membebani. Rasa berat yang manusia rasakan umumnya lahir dari dorongan hawa nafsu atau kebiasaan yang belum selaras dengan nilai-nilai ilahi.

Penegasan bahwa manusia tercipta dalam keadaan lemah menjadi tanda kasih sayang Allah dalam membimbing manusia melalui syariat-Nya. Pengalaman umat terdahulu pun menunjukkan bahwa ketetapan Allah selalu relevan dan kontekstual. Utamanya dalam menjaga ketahanan moral individu, keluarga, dan masyarakat dari kehancuran.[5]

Makna Hakiki dari Menerima Diri

Menerima diri bukan berarti berhenti berjuang. Justru dalam perjuangan menerima diri, pasti akan ada tantangan yang harus dilalui. Entah itu luka masa lalu, tekanan sosial, atau krisis identitas. QS. Al-Insyirah [94]: 5–6 menyebutkan:

Baca Juga  Meraih Kebahagian Menurut Perspektif Tafsir Al-Jailani

فَإِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرًا  ٥ إِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرٗا  ٦

“Karena sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”

Dalam Tafsīr al-Muyassar dijelaskan bahwa ayat ini merupakan penghiburan dari Allah kepada Nabi Muhammad Saw. agar tidak terhalang oleh gangguan musuh dalam menyebarkan risalah, karena setelah kesempitan akan datang kelapangan.[6] Pesan ini juga relevan secara universal: bahwa setiap perjuangan pasti membawa peluang pertumbuhan. Maka, rasa cukup dan semangat bertumbuh adalah dua hal yang bisa berjalan bersama.

Belajar menerima diri bukan berarti menolak perubahan, melainkan memulai perubahan dengan cinta dan kesadaran. Tak perlu menjadi versi “sempurna” dari orang lain, cukup menjadi versi jujur dan bertanggung jawab dari diri sendiri. Bahkan, jika hari ini kita masih banyak kekurangan, selama hati terus berusaha, Allah tidak akan menyia-nyiakan langkah itu.

Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw. dalam riwayat at-Tirmidzi:

كل ابن آدم خطاء، وخير الخطائين التوابون

“Setiap anak Adam adalah pendosa, dan sebaik-baik pendosa adalah yang mau bertaubat.” (HR. at-Tirmidzi, no. 2499)[7]

“Allah tidak meminta kita menjadi sempurna, tetapi meminta kita untuk terus kembali, memperbaiki diri, dan tidak lelah belajar.”


Referensi

[1] Lia Hutosait, “BKKBN: Tekanan Sosial dan Kritik Bikin Remaja Indonesia Rentan Stres, dalam https://www.idntimes.com/news/indonesia/bkkbn-tekanan-sosial-dan-kritik-bikin-remaja-indonesia-rentan-stres-00-sbfjr-cdlgk5. Tanggal akses: Jum’at, 11 Juli 2025.

[2] Angel Gavrila, “Hiburan atau Beban? Menelusuri Hubungan Media Media Sosial dan Kesehatan Mental Anak Muda, dalam https://goodstats.id/article/hiburan-atau-beban-menelusuri-hubungan-media-sosial-dan-kesehatan-mental-anak-muda-uhSUF. Tanggal akses: Jum’at, 11 Juli 2025.

[3] Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah as-Sa’di, Tafsir as-Sa’di, hal 272. https://quran.ksu.edu.sa/tafseer/saadi/sura39-aya53.html

[4] Majma ‘Ulama, Tafsir Al-Muyassar, Juz 1 hal. 83. http://www.quran7m.com/searchResults/004028.html#google_vignette

[5] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Vol.2, hal 492-493.

Baca Juga  Salat dan Zakat Sebagai Keberpihakan Kepada Kaum Marhaen

[6] Majma ‘Ulama, Tafsir Al-Muyassar, Juz 1 hal. 597. https://quran.com/94:6/tafsirs/ar-tafsir-muyassar

[7] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/33134/%D8%AE%D9%8A%D8%B1-%D8%A7%D9%84%D8%AE%D8%B7%D8%A7%D8%A6%D9%8A%D9%86-%D8%A7%D9%84%D8%AA%D9%88%D8%A7%D8%A8%D9%88%D9%86#:~:text=%D9%88%D8%B9%D9%86%20%D8%A3%D9%86%D8%B3%20%D8%A8%D9%86%20%D9%85%D8%A7%D9%84%D9%83%20%2D%D8%B1%D8%B6%D9%8A,%D8%A3%D9%86%20%D9%8A%D8%A8%D8%AF%D9%84%20%D8%A7%D9%84%D9%84%D9%87%20%D8%B3%D9%8A%D8%A6%D8%A7%D8%AA%D9%87%20%D8%AD%D8%B3%D9%86%D8%A7%D8%AA.

Editor: Dzaki Kusumaning SM