Al-Qur’an memang diturunkan dengan bahasa Arab (QS. Yusuf: 2). Namun demikian, fungsi al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia (QS. al-Baqarah: 185) meniscayakan perlunya penerjemahan terhadap al-Qur’an. Hal ini didasari realitas bahwa tidak semua umat Islam bertutur dengan bahasa Arab.
Pada masa nabi mungkin terjemahan tidak dibutuhkan, sebab saat itu audience al-Qur’an adalah orang-orang Arab yang memang sehari-hari berbicara dengan bahasa Arab. Meskipun pada beberapa kasus ada kata tertentu yang tidak dipahami secara langsung oleh Sahabat, lalu dijelaskan oleh Nabi dengan kalimat lain. Tentunya penjelasan itu pun masih menggunakan Bahasa Arab.
Mengenal Terjemah Al-Qur’an
Imam az-Zarqani dalam Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an menjelaskan bahwa kata tarjamah secara lughawi mengandung empat pengertian. Pertama, menyampaikan pembicaraan kepada orang yang belum mengetahuinya. Kedua, menafsirkan pembicaraan dengan menggunakan bahasa aslinya. Ketiga, menasirkan pembicaraan dengan bahasa lain yang bukan bahasa aslinya. Keempat, pemindahan pembicaraan dari satu bahasa ke bahasa lain.
Namun demikian, Prof. Amroeni Drajat menjelaskan bahwa secara ‘urf (kebiasaan), terjemah berarti pengungkapan makna dari pembicaraan bahasa tertentu ke dalam bahasa lain dengan tetap menjaga keselarasan makna dan maksud yang dikandungnya. Hal ini sejalan dengan Syaikh Muhammad bin Salih al-Utsaimin dalam Ushulun fi at-Tafsir yang menjelaskan bahwa Tarjamah al-Qur’an adalah “at-ta’bir ‘an ma’nahu bi lughah ukhra” (mengungkapkan maknanya dengan bahasa lain).
Terjemah ada dua jenis, yaitu harfiyah dan tafsiriyah. Terjemah harfiyah berarti terjemahan yang tetap menjaga keaslian bentuk dan susunan secara konsisten. Proses ini seperti penggantian kata per kata, maka ada yang menyebutnya dengan terjemah lafziyah.
Sementara terjemah tafsiriyah tidak begitu terikat dangan bentuk dan susunan dari bahasa asli. Penekanannya lebih kepada kesamaan pesan yang dikandung suatu teks. Dinamakan tafsiriyah karena lebih mengutamakan makna dan maksud yang terkandung dengan bahasa yang lugas dan tegas serta menyerupai tafsir. Terjemah ini sering juga disebut dengan terjemah maknawiyah.
Terjemah Al-Qur’an di Indonesia
Haji Aboe Bakar Atjeh dalam bukunya Sedjarah Al-Qur’an bahwa terjemah al-Qur’an di Indonesia telah dimulai sekitar pertengahan abad 17 Masehi. Hal itu dilakukan oleh Abdur Rauf Ali Al-Fansuri, ulama asal Singkel-Aceh yang menyalin Tafsir Al-Baidhawi ke dalam bahasa Bahasa Melayu. Walaupun belum sempurna bila ditinjau dari sudut Bahasa Indonesia Modern, tetapi usaha beliau sangat besar jasanya sebagai perintis jalan.
Pada perkembangannya muncul karya-karya lain, baik berbentuk terjemahan dengan beberapa anotasi maupun berbentuk tafsir al-Qur’an secara keseluruhan atau sebagian. Dalam bentuk terjemah misalnya Al-Qur’an dan Terjemahnya yang disusun oleh Tim Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia. Ada juga Al-Qur’an Al-Karim Tarjamah Tafsiriyah yang disusun oleh Ustadz Muhammad Thalib. Dalam bentuk tafsir misalnya Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka, Tafsir Al-Misbah karya Prof Quraish Shihab.
Contoh Perbedaan Terjemah
Pada bagian ini penulis akan mengemukakan contoh perbedaan terjemah dari empat karya yang disebutkan di atas. Adapun objek ayatnya adalah potongan Surah al-Qasas ayat 24. Ayat tersebut berisi doa yang dipanjatkan oleh Nabi Musa.
Diceritakan sebelumnya bahwa Nabi Musa melerai perkelahian antara seseorang dari Bani Israil dan seseorang dari kaumnya Fir’aun. Tanpa sengaja orang dari kaum Fir’aun pun terbenuh. Merasa dalam bahaya, Nabi Musa melarikan diri tanpa membawa persiapan bekal.
Tibalah ia di negeri Madyan. Dalam kondisi tidak memiliki apa-apa di tempat baru itu, Nabi Musa berteduh di bawah pohon lalu memanjatkan doa. Doa tersebut diabadikan dalam al-Qur’an dengan redaksi berikut:
رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ
Berikut ini adalah empat model terjemahnya.
Pertama, terjemahan dari Departemen Agama Republik Indonesia.
“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.”
Kedua, terjemahan dari Buya Hamka.
“Ya Tuhan! Sesungguhnya aku ini sangatlah memerlukan anugerah kebajikan dari Engkau!”
Ketiga, terjemahan dari Prof Quraish Shihab.
“Tuhanku, sesungguhnya aku terhadap apa yang telah Engkau turunkan kepadaku sangat fakir.”
Keempat, terjemahan dari Ustadz Muhammad Thalib.
“Wahai Tuhanku, sungguh aku lapar, aku sangat membutuhkan rezeki dari sisi Engkau.”
Boleh Berbeda
Dari contoh yang dikemukakan di atas sangat tampak adanya perbedaan. Terjemahan al-Qur’an bukanlah al-Qur’an. Al-Qur’an tidak boleh diubah, sementara terjemahannya sangat mungkin berbeda dan bisa direvisi sesuai perkembangan bahasa.
Terjemahan boleh berbeda selama tetap mengindahkan kaidah-kaidah dalam memahami pesan al-Qur’an. Artinya hal itu tidak dilakukan oleh sembarang orang. Pemahaman ini penting agar umat Islam tidak sempit pandangan ketika melihat terjemahan yang berbeda. Sebaliknya perbedaan itu dipandang sebagai kekayaan ilmu pengetahuan. Wallahu a’lam.
Editor: Ananul
Leave a Reply