Menurut bahasa Tawassul berasal dari fi’il madhiwassala yang mempunyai arti al-qurbah atau al-taqarrub, artinya mendekatkan diri dengan suatu perantaraan (wasilah). Wasilah berarti “perantara”, dalam bahasa Arab adalah isim dari kata kerja “wasala ilahi bikadza, yasilu, wasilatan fahuwa wasilun” artinya, mendekatkan diri dan mengharapkan. Dari kata itu terbentuk kata “ma yutaqarrabu bihi ila al- ghairi” artinya, sesuatu yang bisa mendekatkan diri pada hal yang lain.
Adapun Tawassul menurut terminologi adalah mengadakan perantaraan untuk menyampaikan tujuan kepada sesuatu yang dimaksud dan tidak mungkin seseorang sampai kepada maksud; kecuali melalui perantara atau wasilah yang sesuai dengannya.
Sejarah Tawassul
Tawassul bukanlah istilah atau kata yang baru di dalam masyarakat, melainkan telah ada sejak zaman dahulu, yaitu tawassulnya saudara-saudara Nabi Yusuf kepada ayahnya Nabi Ya’qub As. Sebagaimana telah di jelaskan di dalam al-qur’an;
قَالُوا يَا أَبَانَا اسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا إِنَّا كُنَّا خَاطِئِينَ
Mereka berkata: “Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)”. (Surah Yusuf : 97)
Dari ayat tersebut kita dapat mengetahui bahwa istilah tawassul bukanlah sesuatu kata yang di buat-buat (bid’ah), melainkan telah ada sejak dahulu dan hal itu tidak di larang oleh Nabi Yusuf.
Adapun Tawassul yang menjadikan orang-orang syirik atau menyekutukan Allah swt. adalah Tawassul sebagaimana yang di lakukan oleh orang jahiliyah, yang memalingkan ibadah kepada selain Allah swt, mereka ber-i’tiqad bahwa para wali itu baginya mempunyai pangkat dan kedudukan yang tinggi disisi Allah swt.
Adapun contoh tawassul yang di lakukan oleh orang-orang jahiliyyah adalah Lata yang disembah selain Allah di Thaif, padahal (sebenarnya) sebelum meninggal dunia ia adalah seorang yang memberikan suatu manfaat kepada manusia dan para jamaah haji pada khususnya.
Ketika ia meninggal dunia, maka urusannya menjadi seperti orang besar yang berpengaruh di mana orang-orang beri’tiqad bahwa ia mempunyai kelebihan dan kebaikan. Maka orang-orang yang hidup dizamannya ikut berduka cita lalu mereka berulangkali datang ke makamnya kemudian mereka membangun diatasnya suatu bangunan.
Dari kedua bentuk Tawassul di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan tawassul orang-orang jahiliah dengan orang Islam adalah mereka orang-orang jahiliah menjadikan wasilah itu sesembahan atau berhala. Sedangkan orang-orang Islam mereka bertawassul atau memohon pertolongan kepada Allah swt.
Dengan menyebut wasilah dalam doanya atau meminta wasilah mendoakan dirinya, sebagaimana bertawassul kepada orang soleh, yaitu meminta orang soleh mendoakan apa yang dihajati diri kita. Mereka tidak menjadikan wasilah itu sesembahan, tetapi hanyalah sebagai perantaraan karena kedudukan wasilah itu yang dekat dengan Allah swt. Jika umat Islam menjadikan selain Allah itu sesembahan, maka itu nyata dan jelas adalah sebuah kesyirikan.
Tawassul dalam Al-Qur’an
Dalam al-Qur’an, ayat tentang tawassul yakni kata wasilah hanya terdapat pada dua ayat sahaja yakni QS Al-Mai’dah ayat 35 dan QS Al-Isra’ ayat 57.
- QS Al-Mai’dah ayat 35:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.
2. QS Al-Isra’ ayat 57:
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ ۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.
Hadis Tentang Tawassul
Dalam Sunan Tirmidzi disebutkan bahwa Utsman bin Hunaif berkata, “Ada seorang lelaki tuna netra datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta beliau untuk mendoakannya agar dapat melihat kembali. Pada saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan dua pilihan kepadanya, yaitu didoakan sembuh atau bersabar dengan kebutaannya tersebut.
Tetapi, lelaki itu bersikeras minta didoakan agar dapat melihat kembali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memerintahkannya untuk berwudhu dengan baik kemudian membaca doa berikut:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِي، اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ.
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon dan berdoa kepada-Mu dengan (bertawassul dengan) Nabi-Mu Muhammad, Nabi yang penuh kasih sayang. (Duhai Rasul) Sesungguhnya aku telah ber-tawajjuh kepada Tuhanku dengan (bertawassul dengan)-mu agar hajatku ini terkabul. Ya Allah, terimalah syafa’at beliau untukku“. (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud).
Dalam Shahih Bukhari, Anas bin Malik menceritakan bahwa dahulu jika terjadi paceklik, Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu meminta hujan kepada Allah dengan bertawassul dengan ‘Abbas bin Abdul Muththalib. Sayidina ‘Umar berkata dalam doanya:
اَللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيَنَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
“Ya Allah, sesungguhnya dahulu ketika berdoa kepada-mu kami bertawassul dengan Nabi-Mu, Engkau pun menuruhkan hujan kepada kami. Dan sekarang kami bedoa kepada-Mu dengan bertawassul dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan.” (HR. Bukhari).
Editor: An-Najmi Fikri R
Leave a Reply