Diskursus tentang pluralisme telah menyita perhatian banyak cendekiawan atau pemikir, baik dari kalangan umat Islam sendiri ataupun dari agama lainnya. Baik tentang kesadaran hidup berdampingan dengan yang lain atau komunitas lain. Dalam al-Quran, Allah telah menjadikan manusia terdiri dari beberapa kelompok, terdiri dari berbagai bangsa, dan suku untuk saling mengenal Q.S 49: 13.
Dalam komunitas umat Islam sendiri ada pihak-pihak yang enggan bahkan menolak tentang pluralisme agama, bahkan memfatwakan haram tentang konsep pluralisme agama. Di sisi lain ada pihak yang berusaha untuk mewujudkan atau membuat konsep pularisme agama berdasarkan ayat-ayat yang terdapat dalam al-Quran. Semangat mewujudkan pluralisme agama oleh kalangan muslim progresif didasarkan bahwa kehidupan dunia sudah semakin kompleks dan kesadaran sebagai makhluk sosial.
Pluralisme Agama ala Abdulaziz Sachedina
Salah satu pemikir progresif muslim adalah Abdulaziz Sachedina. Dia adalah seorang profesor dan ketua Institut Internasional Pemikiran Islam (IIIT) Studi Islam di Universitas George Mason, Virginia, Amerika Serikat. Pernah menimba ilmu di India dan di Iran, dan mendapatkan gelar M.A dan Ph.D nya di Universitas Toronto. Karya-karyanya banyak menyinggung soal tentang Islam dan Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan monograf tentang Islam Syiah.
Bagi Abdulaziz Sachdina, pluralisme adalah pengakuan dan penegasan bahwa berbagai jalan spiritual yang mampu membimbing dan menyelamatkan pemeluknya. Argumen dasar tentang hubungan al-Quran dan pluralisme agama adalah; bahwa kitab suci orang Muslim menangkap pengalaman nyata dari komunitas awal ketika berjuang untuk menyeimbangkan toleransi dengan klaim kebenaran eksklusif yang memberikan identitas komunitas Muslim yang baru lahir di antara komunitas umat beriman lainnya.
Dalam komunitas bangsa-bangsa, istilah “pluralisme” telah menjadi salah satu semboyan tatanan dunia baru. Dipuji sebagai realitas dunia tempat kita hidup yang terdiri dari beragam budaya, sistem kepercayaan, dan standar moralitas yang berbeda; dunia dapat hancur jika klaim yang tidak dapat direduksi dan tidak dapat didamaikan yang mengatasnamakan kebenaran eksklusif yang tidak dipelajari sebagai cara untuk hidup berdampingan.
Abdulaziz mengambil contoh beberapa kasus atau realitas yang terjadi seperti konflik yang tak berujung; antara Kristen Muslim, Hindu dan Sikh, Tamil dan Budha, serta kekejaman yang dilakukan terhadap wanita sipil tak bersalah.
Kemanusiaan Sebagai Satu Komunitas
Abdulaziz Sachedina berangkat dari ayat Q.S. 2:213 tentang pluraslime agama. Dalam kacamata pengamatannya terdapat tiga fakta yang muncul, kesatuan umat manusia dalam satu Tuhan; kekhasan agama yang dibawa oleh para Nabi dan peran pewahyuan, yakni kitab. Argumen tersebut menurutnya dapat menyelesaikan perbedaan antara komunitas umat beriman. Ia beranggapan bahwa ketiga keterangan ini sebagai dasar bagi konsepsi al-Quran tentang pluralisme agama.
Di satu sisi, konsepsi itu tidak menyangkal kekhususan masing-masing agama, dan kontradiksi yang mungkin ada di antara mereka dalam hal-hal yang menyentuh kepercayaan dan praktik yang benar. Di sisi lain, ia menekankan perlunya mengakui kesatuan umat manusia dalam ciptaan bekerja menuju pemahaman yang lebih baik di antara orang-orang beriman.
Argumen utama pluralisme agama dalam al-Quran didasarkan pada hubungan antara keyakinan pribadi dan proyeksi publik dalam pemerintahan Islam. Sementara dalam masalah keyakinan pribadi, posisi al-Quran adalah ‘non-intervisionis’; menegaskan bahwa otoritas manusia dalam bentuk apapun harus tunduk pada individu yang bertindak atas keyakinan internal mereka sendiri. Dalam poyeksi publik iman, sikap Quran didasarkan pada prinsip koeksitensi; yaitu kesediaan komunitas terkuat untuk mengakui komunitas yang memiliki pemerintahan sendiri sebagai kebebasan untuk menjalankan urusan internal mereka dan hidup berdampingan dengan umat Islam.
Islam sebagai Agama Publik
Bagi syariat, pluralisme agama bukan sekadar masalah mengakomodasi klaim yang saling bersaing tentang kebenaran agama di wilayah keyakinan pribadi seseorang. Hal itu tetap menjadi masalah kebijakan publik di mana pemerintahan Muslim harus mengakui dan melindungi hak yang ditetapkan oleh Tuhan dari setiap orang untuk menentukan nasib spiritualnya tanpa paksaan. Pengakuan kebebasan hati nurani dalam hal keyakinan merupakan landasan dari pemahaman al-Qur’an tentang pluralisme agama, baik pada tataran hubungan antaragama.
Pinsip al-Quran tentang kebebasan hati nurani memberikan pembenaran kritis bagi arah hubungan antaragama dalam masyarakat yang plural secara agama. Hal ini mengharuskan umat Islam untuk mengakui nilai keselamatan dalam agama lain dan bekerja menuju koeksistensi damai. Akibatnya, sejarawan Muslim kontemporer menilai perlakuan terhadap minoritas masyarakat Islam lebih toleran daripada yang diberikan non-Kristen dalam pemerintahan Kristen.
Tradisi Abrahamik dalam Quranic Pluralism
Secara kronologis, Islam memiliki keuntungan menjadi agama yang termuda dalam tradisi Abrahamik dan belajar dari pengalaman pendahulunya tentang perlakuan mereka terhadap minoritas. Sejak lahir pada abad ketujuh, pemahaman diri Islam telah memasukkan kesadaran sadar akan pluralisme agama sebagai konteks asal-usulnya sendiri. Alih-alih menyangkal validitas pengalaman transendensi manusia yang terjadi di luar islam.
Pada ayat QS 2:62, dalam pemahaman penafsir muslim, al-Quran dengan jelas mengungkapkan dirinya sebagai mata rantai penting dalam pengalaman wahyu manusia, sebuah jalan universal yang ditujukan kepada semua. Secara khusus, ia berbagi etos alkitabiah dari Yahudi dan Kristen dan mengungkapkan sikap yang sangat inklusif terhadap “Ahli Kitab”, komunitas-komunitas yang terhubung dengannya terhubung dengan manusia dan wanita pertama yang ada di bumi.
Umat Muslim menegaskan bahwa karakteristik unik Islam adalah keyakinannya bahwa; kepercayaan pada keesaan Tuhan yang menyatukan mereka dengan semua umat manusia, karena Tuhan adalah pencipta semua manusia. Terlepas dari kesetiaan mereka pada komunitas agama yang berbeda.
***
Ayat tentang “manusia itu adalah satu komunitas”, bagi Abdulaziz Sachedina meletakkan dasar pluralisme teologis yang mengambil persamaan dan persamaan hak manusia sebagai sistem yang ditetapkan Tuhan. Q. 2:213 juga menunjukkan bahwa kesatuan ini secara teologis didasarkan pada aktivitas bersifat ketuhanan; hal itu paling baik ditunjukkan dalam bidang etika karena ini berfungsi untuk mempertahankan hubungan antara orang-orang beriman.
Sifat etis adalah wajar bagi ciptaan manusia karena dengan bantuan kemampuan bawaan ini, sifat primordial (fitrah) yang Tuhan berikan pada semua manusia, manusia memperoleh kapasitas untuk berurusan satu sama lain dalam keadilan dan kesetaraan. Orientasi moral ini memungkinkan pengembangan landasan moral bersama yang dapat memberikan dasar untuk mengatur hubungan antaragama di antara orang-orang dengan ikatan keagamaan yang beragam, memungkinkan mereka untuk membangun konsensus nilai fundamental dan tujuan etis.
Bagi Abdulaziz Sachedina, ia berpendapat bahwa Quranic Pluralism bersandar pada moralitas universal yang inklusif yang bekerja untuk kebaikan kepada manusia. Terlepas dari affiliasi seseorang dengan kelompok agama atau budaya tertentu, menurut al-Quran; manusia yang diberkahi dengan kognisi moral harus bekerja sama untuk menciptakan masyarakat yang adil. Karena tradisi Abrahamik dan non-Abrahamik tidak berbeda tentang perlunya menghormati agama lain sambil tidak harus meninggalkan keyakinannya sendiri
Editor: Ananul Nahari
Leave a Reply