Tanwir.ID Kanal Tafsir Mencerahkan

Tawakal Bukan Diam: Belajar dari Kisah Burung dan Dua Sufi

Burung yang mengajarkan tawakal
Sumber: Muhammadiyah

Dalam kehidupan beragama, banyak orang salah paham tentang makna tawakal. Ada yang mengira tawakal berarti cukup pasrah tanpa perlu berusaha. Mereka berpikir, “Kalau sudah takdir, untuk apa susah payah?” Padahal, Islam mengajarkan bahwa tawakal itu baru benar kalau terdapat usaha sungguh-sungguh yang mendahuluinya.

Melalui kisah dua tokoh sufi terkenal, yaitu Syaqiq al-Balkhi dan Ibrahim bin Adham, kita bisa belajar arti tawakal yang sebenarnya. Mereka menyatakan bahwa tawakal bukan diam menunggu, tapi bergerak sambil yakin pada Allah.

Tawakal Bukan Diam Tanpa Usaha

Sebagian orang menganggap bahwa cukup menyerahkan semuanya kepada Allah tanpa perlu bekerja. Mereka merasa tidak perlu melakukan apa-apa karena Allah telah menentukan semuanya di dunia ini. Cara berpikir seperti ini terlihat pasrah, tapi sebenarnya keliru.

Islam mengajarkan bahwa manusia diberi akal dan tanggung jawab untuk berusaha. Hasil memang di tangan Allah, tapi usaha tetap menjadi kewajiban kita. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ

“Apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal.”(QS. Āli ‘Imrān: 159)

Ayat ini menegaskan bahwa tawakal yang benar datang setelah seseorang menggunakan pikirannya, mempertimbangkan langkah, dan membuat keputusan. Imam al-Baydhāwī juga menjelaskan hal tersebut dalam tafsirnya. Ia menerangkan bahwa maksud dari “apabila kamu telah bertekad” adalah ketika seseorang sudah merencanakan dengan matang dan melakukan musyawarah atau pertimbangan yang serius.

Setelah itu, barulah ia berserah diri kepada Allah, yakin bahwa apa yang ia jalani adalah yang terbaik. Mengapa demikian? Karena hanya Allah yang benar-benar tahu mana jalan yang paling baik untuk hamba-Nya.[1]

Jadi, tawakal menurut tafsir ini bukan sikap pasif, tapi bentuk keyakinan yang muncul setelah berusaha dan berpikir sungguh-sungguh. Dengan kata lain, kita tidak boleh hanya diam lalu berharap hasil terbaik. Kita harus bergerak, lalu berserah kepada Allah atas hasil akhirnya.

Kisah Burung: Pelajaran dari Syaqiq dan Ibrahim bin Adham

Suatu hari, Syaqiq al-Balkhi berencana pergi berdagang untuk mencari rezeki yang halal. Sebelum berangkat, ia berpamitan kepada sahabatnya, Ibrahim bin Adham, seorang sufi yang dikenal hidup sederhana dan bijaksana. Tapi anehnya, hanya beberapa hari kemudian, Syaqiq sudah kembali dan terlihat duduk di masjid.

Baca Juga  Hijrah dan Resolusi Tahun Baru: Jalan Menata Masa Depan

Ketika ditanya kenapa pulang begitu cepat, Syaqiq bercerita bahwa di tengah perjalanan, ia singgah di sebuah tempat sunyi dan melihat pemandangan yang membuatnya terkesan. Ia melihat seekor burung yang buta dan lumpuh, tapi tetap bisa hidup karena setiap hari ada burung lain yang datang membawakan makanan.

Melihat itu, Syaqiq pun berpikir, “Kalau burung yang cacat saja bisa Allah beri rezeki tanpa usaha, maka aku pun bisa hidup dengan hanya berserah diri.” Ia pun membatalkan niat berdagang dan memilih tinggal di masjid.

Namun, jawaban Ibrahim bin Adham sungguh tak terduga. Ia berkata, “Kenapa kamu memilih jadi burung yang lumpuh, bukan burung yang memberi makan?”[2]

Jawaban ini memang singkat, tapi sangat dalam maknanya. Ibrahim ingin mengingatkan bahwa seorang mukmin sejati seharusnya aktif dalam hidup, bukan hanya duduk diam menunggu bantuan.

Kisah ini mengajarkan bahwa pasrah kepada takdir bukan berarti kita boleh bermalas-malasan. Justru, Allah lebih menyukai orang yang berusaha dan memberi manfaat bagi orang lain.

Teladan Nabi dan Sahabat: Tawakal Disertai Usaha

Nabi Muhammad Saw. adalah contoh terbaik dalam segala hal, termasuk dalam hal tawakal. Beliau adalah orang yang paling kuat keimanannya dan paling tinggi ketergantungannya kepada Allah. Namun beliau juga dikenal sebagai pribadi yang penuh semangat, perhitungan, dan penuh persiapan dalam setiap urusannya. Tawakal bagi beliau bukan alasan untuk pasrah tanpa usaha, tapi sikap hati yang hadir setelah usaha maksimal dilakukan.

Salah satu hadis terkenal yang menunjukkan makna tawakal dengan sangat jelas adalah kisah seorang laki-laki Badui yang datang kepada Nabi Muhammad Saw. Ia bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah aku harus mengikat untaku lalu bertawakal atau aku lepaskan saja lalu bertawakal kepada Allah?” Nabi SAW menjawab:

اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ

“Ikatlah untamu terlebih dahulu, lalu bertawakkallah kepada Allah.”[3]

Hadis ini menunjukkan bahwa tawakal tidak berarti kita hanya pasrah tanpa usaha. Lelaki itu awalnya mengira bahwa berserah diri kepada Allah berarti membiarkan untanya tanpa mengikatnya terlebih dahulu. Seolah Allah pasti akan menjaganya tanpa ia berbuat apa-apa. Namun, Rasulullah Saw. dengan bijak meluruskan pemahamannya. Beliau mengajarkan tawakal yang benar bukan meninggalkan sebab-sebab keselamatan. Namun, yang benar ialah melakukan apa yang bisa ia lakukan terlebih dahulu, lalu menyerahkan hasilnya kepada Allah.

Baca Juga  Bulan Ramadhan Sebagai Spirit Meningkatkan Wawasan Keislaman

Teladan Sahabat: Bukti Keimanan Bersanding dengan Tawakal

Para sahabat Rasulullah Saw. juga mempraktikkan hal tersebut. Salah satu contohnya adalah Umar bin Khattab ra., khalifah yang dikenal cerdas, adil, dan pekerja keras. Ia pernah melihat sekelompok orang yang tidak mau bekerja dan hanya duduk-duduk sambil berkata bahwa mereka sedang bertawakal kepada Allah. Mendengar itu, Umar menegur mereka dengan keras:

“Janganlah salah seorang dari kalian duduk-duduk (bermalas-malasan) lalu berkata: ‘Ya Allah, berilah aku rezeki,’. Padahal ia tahu bahwa langit tidak akan menurunkan emas dan perak. Sungguh, Allah Ta‘ālā berfirman:

فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ

‘Apabila salat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah.’” (QS. al-Jumu‘ah: 10)[4]

Ucapan Umar ini menunjukkan bahwa tawakal yang benar harus disertai dengan tindakan nyata, bukan sekadar duduk diam menunggu rezeki turun dari langit. Beliau ingin menanamkan kesadaran bahwa Islam tidak memisahkan antara keimanan dan usaha.

Dengan demikian, baik dari teladan Nabi maupun para sahabat, kita belajar bahwa tawakal bukanlah sikap pasif. Ia adalah bentuk kepercayaan kepada Allah yang terbangun atas usaha maksimal. Islam mengajarkan kita untuk berikhtiar sekuat tenaga, dan setelah itu, menyerahkan hasilnya kepada Allah dengan lapang dada.

Jadilah Orang yang Memberi, Bukan Menunggu Pemberian

Pelajaran penting dari kisah Syaqiq al-Balkhi adalah ajakan agar kita menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Saat Syaqiq memilih untuk hanya berharap kepada Allah tanpa berusaha, Ibrahim bin Adham mengingatkannya dengan sangat bijak. Ia mengatakan bahwa lebih baik menjadi burung yang memberi makan daripada menjadi burung yang hanya menunggu makanan.

Pesan ini sangat dalam. Seorang mukmin seharusnya tidak pasif atau hanya menunggu bantuan. Namun, ia juga perlu aktif dalam hidupnya. Keaktifan tersebut dapat berupa kerja keras, membantu orang lain, dan menjadi bagian dari solusi, bukan malah menjadi bagian dari beban.

Baca Juga  Impak Memaafkan Terhadap Kesehatan Fisik dan Batin

Dalam Islam, orang yang memberi dan berbuat baik bagi sesama memiliki kedudukan mulia. Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”.[5] Maksudnya adalah orang yang memberi lebih utama daripada yang meminta.

Maka, dalam konteks kehidupan sehari-hari, seorang yang benar-benar bertawakal kepada Allah akan berusaha untuk tetap bekerja dan berkarya. Tidak hanya demi dirinya sendiri, tetapi juga agar bisa membantu orang-orang di sekitarnya. Ia ingin menjadi jalan datangnya rezeki dan kebaikan bagi keluarga, tetangga, dan masyarakatnya.

***

Tawakal yang benar justru akan membangkitkan semangat untuk bergerak, bukan menjadi alasan untuk diam. Orang yang tawakal akan terus bekerja dengan penuh semangat, sambil yakin bahwa hasilnya tetap di tangan Allah. Ia tidak mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan, karena ia tahu bahwa setiap langkah dan usaha akan dinilai oleh Allah, meskipun hasilnya belum terlihat.

Dalam masyarakat kita saat ini, sikap seperti ini sangat penting. Banyak orang ingin dibantu, tetapi sedikit yang mau mengambil peran sebagai penolong. Padahal, kalau setiap orang hanya ingin mendapat pertolongan, siapa yang akan menolong? Di sinilah pentingnya semangat memberi, bukan sekadar menerima.

Orang yang benar-benar memahami tawakal akan berusaha semaksimal mungkin agar tidak menjadi beban bagi orang lain. Ia akan bekerja, belajar, dan berusaha agar bisa berdiri sendiri, bahkan mampu mengulurkan tangan untuk membantu sesama. Inilah makna tawakal sejati, yaitu menyerahkan hasil kepada Allah setelah usaha maksimal, sambil tetap menjadi pribadi yang bermanfaat dan ringan bagi orang lain.

Editor: Dzaki Kusumaning SM


Referensi

[1] Nāṣir al-Dīn ‘Abd Allāh ibn ‘Umar al-Bayḍāwī, Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl, juz 2 (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, t.t.), 45.

[2] Yāsir ‘Abd al-Raḥmān, Mawsū‘ah al-Akhlāq wa al-Zuhd wa al-Raqā’iq, juz 2 (Kairo: Muassasah Iqrā’, 2007), 287.

[3] Muḥammad ibn ‘Īsā al-Tirmiḏī, Ṣaḥīḥ Sunan al-Tirmiḏī, juz 2 (Riyadh: Maktabah al-Ma’ārif, 2000), 610.

[4] Muḥammad ibn Aḥmad al-Muqaddam, Fiqh Asyrāṭ al-Sā‘ah (Kairo: al-Dār al-‘Ālamiyyah li al-Nasyr wa al-Tawzī‘, 2008), 304.

[5] Muḥammad ibn Ismā‘īl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār Ibn Katsīr, 2002), 347.

Alumni Ponpes Al-Mursyidul Amin Gambut. Mahasiswa S1 Fakultas Ushuluddin dan Humaniora Prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Antasari Banjarmasin