Sesungguhnya mendengar istilah tauhid, kita akan langsung menuju pengertian kolektif yakni mengesakan ataupun meniadakan sesuatu yang selain Allah SWT. Kita semua meyakini bahwasanya tidak ada yang berhak disembah dan tempat bergantung melainkan pada satu Tuhan pencipta alam semesta. Ini berkonsekuensi bahwa segala sesuatu tidak mampu menyaingi kekuasaan Allah SWT.
Memurnikan diri sebagai insan yang beragama, maka kita harus dengan tegas menyatakan bahwa tauhid adalah ruh kehidupan. Dalam Islam tauhid meliputi rububiyah (meyakini Allah sebagai satu-satunya pencipta), uluhiyah (meneguhkan keberadaan Allah dengan menggantungkan segala aktivitas kepada-Nya), dan asma wa sifa (memuliakan Allah lewat pengagungan terhadap nama-namaNya). Tauhid adalah inspirasi hidup yang mampu menggairahkan kecintaan kepada Sang Esa.
Merevitalisasi dan Reaktualisasi Tauhid
Loyalitas seseorang pada agamanya bisa dilihat ketika dia mewujudkan pemahaman keagamaanya dalam kehidupan sehari-hari. Tidak lebih jika ada yang berpendapat, baik buruknya suatu agama ditentukan oleh perbuatan umatnya pada orang lain.
Interaksi sosial mengharuskan kita berperilaku dengan mengindahkan norma yang hidup dalam kehidupan. Artinya, hubungan dengan manusia lain disamping mendakwahkan ajaran agama, perlu sekiranya menghormati nilai-nilai yang sedari awal hidup dalam masyarakat. Bagaimanapun adanya, norma/nilai lebih mengakar ketimbang sebatas rangkaian ritual keagamaan. Atas dasar inilah masyarakat cenderung abai pada aturan agama ketimbang adat istiadat. Kehadiran budaya mendahului agama juga menjadi alasan penting lainya.
Pemahaman terhadap tauhid yang kurang mendalam dan mengakar mengakibatkan wujud tauhid tidak tampak dalam kehidupan. Penting sekiranya mengupayakan revitalisasi dan reaktualisasi tauhid sebagai wujud ikhtiar dalam agenda purifikasi iman. Dalam posisi ini tauhid/iman menjadi titik sentral kehidupan.
Memahami Tauhid Sosial
Pemurnian tauhid harus dibarengi penyucian jiwa, sebab jiwa yang suci adalah cermin tauhid yang indah. Berapa banyak teladan bisa kita tiru mengenai pandangan mereka bahwa segala yang tampak didunia merupakan manisfestasi Tuhan. Maka patut sekiranya dirawat, dijaga dan dihormati.
Sedangkan tauhid sosial merupakan dimensi sosial tauhid dalam kehidupan sosial sebagai turunan pengetahuan tauhid kedalam kehidupan dan ralitas sosial secara konkret. Kalau kita perhatikan dengan cermat, segala rangkain aktivitas ibadah mempunyai implikasi sosial.
Maksudnya adalah apapun ritual keagamaan yang kita kerjakan disana terdapan sisi humanis-sosialisnya. Shalat, puasa, zakat dan haji semisal, bukan sekedar ibadah yang dipersembahkan kepada Tuhan semata, melainkan memuat pelajaran yang sarat makna nan bijak. Sebagai contoh, shalat juga mengajarkan pada kita mengenai kepemimpinan, keteraturan dan kedisipilinan.
Dalam konteks kehidupan sosial, tauhid sosial sebenarnya ingin mengajari kita perihal kesatuan iman dan amal sholeh. Sebab amal sholeh adalah tingkatan lanjutan yang lebih tinggi dari sekedar iman. Dalam hubungan kemanusiaan, tidaklah dikatakan beriman apabila sesama saudara dan tetangga masih saling diam-diaman, lebih parah lagi kalau sampai bermusuhan.
Iman tidaklah berarti apa-apa tanpa melanjutkan pemahaman iman dalam perbuatan hidup. Dalam sebuah hadist, Nabi SAW bersabda : “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari kiamat,maka hendaklah ia memuliakan tamunya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR Muslim).
Kesatuan Iman dan Amal
Pengertian tauhid sosial yang semacam itu, maka tampak sekali pentingnya menyatukan iman dan amal shaleh, iman dan amal serta agama dengan kemanusiaan. Perspektif tauhid sosial berusaha mengharmoniskan antara agama dan kemanusia’an. Hal ini bertujuan menghindari seperti apa yang diutarkan oleh Mohamed Arkoun sebagai “nalar teologis (al-‘aqlul aqa’idy), yakni memusatkan segala persoalan kepada Tuhan, pembahasan problem ketuhanan, sembari merendahkan dan memandang sebelah mata harkat martabat serta problem kemanusiaan.
Kita semua tentu akan merasa risih terhadap pemaknaan tauhid yang sempit dan cenderung sensitiv. Semangat perjuangan menggebu-gebu ketika berhadapan dengan ketidakadilan, penindasan dan diskriminasi. Atau bahkan memaki-maki ketika menemukan perilaku-perilaku amoral dalam kehidupan. Banyak umat Islam yang responsif tampil ingin menumpas, melenyapkan dan melawan hal-hal tersebut. Akan tetapi, semangat tersebut seketika hilang kala bila yang dihadapi adalah kenyataan-kenyataan sosial yang mengakibatkan kesenjangan seperti kemiskinan dan kemelaratan. Hampir sebagian besar umat Islam mengalami hal tersebut.
Tentu sangat diharapkan bahwa prinsip-prinsip tauhid sosial bisa dielaborasikan dalam berbagai dimensi hidup. Namun kita tidak boleh menutup mata bahwa untuk mengaktualisasikan nilai tauhid kita akan menemui hambatan-hambatan yang begitu kejam. Perihal kesejahteraan sosial semisal, perilaku konglomerasi yang sudah mengakar menjadi musuh kita. Sehingga untuk menghadapi hal tersebut, diperlukan keistiqomahan dan kesabaran. Sewaktu perang badar Rasulullah pernah menyampaikan pada pasukanya : “innama turhamuna wa tunshoruna wa turzaquna bi dhuafaikum (kalian akan ditolong oleh Allah, dianugerahi kemenangan dan rejeki. Jika semata-mata untuk membela kaum lemah).”
***
Perkataan tersebut berkesan bahwa kita harus tetap berjuang dan hidup untuk kaum yang lemah dan dilemahkan. Bagaimanapun juga, harta yang kita miliki ada campur tangan mereka dari golongan rendah (mohon maaf). Seorang majikan bisa membeli mobil mewah dan uang miliyaran rupiah, dikarenakan ada banyak buruh yang menyisipkan tenaga dan waktunya dalam produksi.
Bukan sebaliknya, yang berpunya bertindak sewenang-wenang sementara orang-orang miskin menengadahkan tangan berurai air mata memohon pertolongan. Secara tegas Islam memerintahkan agar memperhatikan dengan serius mereka yang kurang mampu. Fungsi tauhid sosial sebenarnya untuk mengatasi hal semacam itu. Karenanya, dimensi sosial tauhid menjadi tugas rumah kita bersama, harus dimasyarakatkan, dibudayakan dan digelorakan bersama. Ruang-ruang akademik dan sosial menjadi basis penggagas.
Artinya, umat Islam memiliki kewajiban keagamaan dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik, sembari mendemonstrasikan tegaknya tauhid sosial. Dalam konteks keanekaragaman yang ada di Indonesia, kita perlu bersabar dalam mengusahakan tegaknya keadilan sosial berbasis tauhid. Keseriusan menjadi ujung tombaknya. Sebab yang dihapai bukan saja masyarakatnya, budaya yang sedari awal telah mengakar pun harus dilawan. Dengan demikian ajaran Islam mengapresiasi mereka yang tulus berkorban dan berjuang untuk keperluan agama.
Oleh karena itu, mari ber fastabiqul khoirat demi mewujudkan iman yang berkeadilan dan ber-peri kemanusiaan. Semaksimal mungkin realisasi tauhid sosial benar-benar menyentuh kehidupan sosial. Iman dan tauhid yang kokoh mampu mengantarkan manusia pada kemulian sebagai insan kamil. Tiada sesuatu pun mampu menghalangi seseorang pada kemulian ketika ketauhidan kepada Tuhan sudah terpatri dalam jiiwanya. Konsep tauhid tidak mengenal klasterisasi maupun diskriminasi. Tauhid memiliki nilai yang komperenshif, sehingga tauhid adalah untuk sekalian umat.
Editor: An-Najmi Fikri R

























Leave a Reply